Menuju konten utama

Diam Bukan Emas: Saat Self-Silence Menggerus Kesehatan Perempuan

Jika mau hidup lebih sehat, jangan pendam emosi atau perasaanmu sekadar demi memuaskan orang lain. Sebab, dirimu sangat berharga dan patut bahagia. 

Diam Bukan Emas: Saat Self-Silence Menggerus Kesehatan Perempuan
Header Diajeng Self Silence Perempuan. tirot.id/Quita

tirto.id - Silence is golden.

Pepatah lama yang sering kita yakini dapat melindungi kita dari ingar-bingar masalah itu ternyata tidak selalu relevan.

Bagi beberapa perempuan, keputusan untuk diam atau bungkam, terutama dalam kondisi penuh tekanan, justru berpotensi menjadi silent killer.

Sebut saja Mentari, perempuan karier yang sukses. Dari perkawinannya yang sudah beranjak tahun kesepuluh, Mentari dan suaminya belum jua menghadirkan buah hati.

Ternyata, suami Mentari malah berselingkuh dengan perempuan lain. Hubungan terlarang yang membuahkan seorang anak laki-laki itu tak butuh lama untuk diketahui oleh Mentari.

Enggan menimbulkan keributan dan mempermalukan diri sendiri, Mentari menyimpan rasa sakit yang menggerus hatinya. Tanpa berkonsultasi dengan psikolog, ia memutuskan bercerai diam-diam.

Seiring waktu, fisik Mentari tidak mampu menanggung tekanan mental yang dia alami. Perlahan-lahan tubuhnya mulai rentan penyakit, dan yang terakhir, sel kanker telah menyebar ke seluruh badan.

Apa kamu pernah mendengar cerita orang-orang di sekitarmu yang menyerupai pengalaman Mentari? Betulkah memendam perasaan dan emosi dapat memengaruhi kondisi fisik kita?

Sejumlah studi sudah mencoba menjelaskan korelasi antara risiko kesehatan dengan keputusan perempuan “diam” atau menahan diri untuk tidak mengekspresikan suara hatinya.

Riset pada 2007 silam mengungkapkan, istri yang cenderung bungkam berpeluang empat kali lipat untuk meninggal dunia daripada istri yang mengemukakan pendapatnya secara bebas saat berargumen dengan suaminya.

Menurut studi tinjauan terhadap berbagai temuan penelitian di International Journal of Social Psychiatry(2019), diamnya perempuan dapat dikaitkan dengan chronic fatigue syndrome, irritable bowel syndrome (IBS), depresi, gangguan makan, sampai pre-menstrual dysphoric disorder.

Selain itu, riset pada 2021 menunjukkan bagaimana aksi diam di kalangan perempuan usia paruh baya dapat diasosiasikan dengan risiko penyakit jantung.

Pengalaman Mentari berikut rangkuman riset-riset di atas dapat dijelaskan dalam kerangka Silencing the Self Theory (STS) yang diperkenalkan lebih dari tiga dekade silam oleh psikolog didikan Harvard bernama Dana C. Jack.

Pada penelitiannya kala itu, Jack ingin tahu kenapa perempuan cenderung mengalami depresi mayor daripada laki-laki.

Melalui pertanyaan inilah Jack dapat menelusuri kaitan antara depresi pada perempuan dengan relasi-relasi personal yang dijalinnya sehari-hari, dan menemukan aksi bungkam atau self-silence di dalamnya.

Pemaparan lebih detail tentang self-silence dituangkan oleh Jack dan Alisha Ali dalam esai pengantar buku Silencing the Self Across Cultures: Depression and Gender in Social World (2010).

Mereka menuliskan, riset menunjukkan bagaimana perempuan memutuskan untuk bungkam dan menekan pikiran serta perasaan-perasaan yang mereka anggap bertentangan dengan harapan suami atau pasangannya. Hal tersebut dilakukan agar mereka dapat menghindari konflik, menjaga hubungan tetap baik, atau bisa juga untuk memastikan keamanan fisik dan psikologis mereka sendiri.

Self-silence, sederhananya, adalah kecenderungan untuk menahan diri dari mengekspresikan emosi atau perasaan karena ingin membahagiakan orang lain—seperti pasangan—agar relasi tetap berjalan baik-baik saja.

Pada akhirnya, pelaku self-silence menyadari bahwa aksi bungkam suara ini membuat mereka jadi kehilangan jati diri dan tersesat dalam hidup.

Header Diajeng Self Silence Perempuan

Header Diajeng Self Silence Perempuan. foto/istockphoto

Sekilas, pengalaman self-silence terkesan personal, dan tentu saja dapat dialami siapa saja terlepas gendernya. Meski begitu, sebagaimana disorot oleh Jack, fenomena self-silence tidak bisa dipisahkan dari faktor sosial dan budaya, terutama masyarakat patriarki.

Selama ini, seperti sering kita dengar, kultur patriarki gencar mendikte perempuan agar senantiasa tulus mencintai, tidak mementingkan diri sendiri atau mendahulukan kepentingan orang lain.

Berdasarkan dialog mendalam yang Jack lakukan dengan perempuan-perempuan yang mengalami depresi, ditemukan adanya pertentangan antara diri sendiri versus ekspektasi sosial budaya.

Kebingungan tentang ‘suara’ siapa yang seharusnya diikuti—diri sendiri atau masyarakat—itulah yang akhirnya membuat perempuan kebingungan sehingga memilih untuk memendam perasaannya.

Ratih Ibrahim, psikolog sekaligus founder dan CEO layanan konseling berbasis di Jakarta, Personal Growth, mengakui cukup sering menghadapi klien yang self-silencing. Ratih pun setuju dengan temuan Jack bagaimana fenomena self-silence mustahil dipisahkan dari nilai-nilai yang tumbuh di dalam masyarakat.

“Perempuan memang tidak biasa, tidak dibiasakan, atau memang tidak dididik untuk memiliki sikap asertif. Sikap asertif itu tidak menjadi bagian dari karakteristik perempuan yang diterima sebagai karakteristik yang lazimnya ada pada perempuan. Perempuan yang baik adalah perempuan yang diam.”

Ratih menambahkan, bahkan dalam beberapa ajaran agama disebut bahwa perempuan yang baik adalah perempuan yang diam dan penurut, menempatkan suaminya sebagai wakil Tuhan, menyimpan segala sesuatu di dalam hatinya. Perempuan yang bijaksana adalah perempuan yang tidak banyak omong.

“Asertivitas adalah bagian dari karakteristik maskulin. Sementara perempuan diidentifikasi dengan sikap feminin. Feminin itu submisif, sementara asertivitas itu bagian dari nonsubmisif,” ujar Ratih .

Dampaknya, menurut Ratih, perempuan mengalami kesulitan dalam mengungkapkan dirinya baik ide, pikiran, perasaan, gagasan—apapun itu—bukan karena kurang pandai melainkan karena memang tidak terbiasa.

“Saya melihat di sini ada konstruksi sosial, bahkan oleh perempuan sendiri. Dasarnya adalah karena kita lahir dan dibesarkan dalam masyarakat yang patriarki,” jelas Ratih.

Penting bagi kita, yang terikat dalam relasi romantis atau pernikahan, agar lebih berani mengemukakan pendapat pada pasangan. Terkait ini, Ratih memberikan saran.

“Pertama, punyailah harga diri yang sehat. Yakin bahwa perempuan punya posisi setara bukan soal gendernya melulu, tetapi pada ‘sama-sama manusia’. Bahwa ada yang berbeda itu justru memperkaya dan menggenapkan kebersamaannya. Tentu saja ini berangkat dari dalam keluarga.”

Lebih lanjut menurut Ratih, kalau kita memiliki mindset minder, attitude yang terbangun akan menuju pada upaya-upaya kompensasi untuk menyamakan posisi. “Misalnya diam untuk ngambek, diam untuk sabotase meski sering menggunakan istilah ‘yang waras ngalah’—menempatkan diri sebagai korban dan bukan mitra.”

Header Diajeng Self Silence Perempuan

Header Diajeng Self Silence Perempuan. foto/istockphoto

Kedua, bersikap rasional. “Rasional dan emosional adalah dua hal yang memperkaya satu sama lain yang dimiliki oleh laki-laki maupun perempuan. Jadi ketika kita terperangkap dalam stigma perempuan nggak rasional, kita memenjarakan diri kita sendiri. Kedepankan saja rasionalitas.”

Mengedepankan rasionalitas dapat dilakukan dengan cara memperluas wawasan.

“Perluas wawasan lewat bacaan, pergaulan, intinya jadilah orang pandai dan bijaksana. Gunakan rasionalitas dan aspek emosi yang tetap rasional di dalam mengukur apapun juga dan di dalam bersikap dan menampilkan perilaku.”

Masih dalam kerangka bersikap rasional, Ratih menegaskan pentingnya bersikap selektif. Perempuan sering menempatkan target-target irasional bagi dirinya sendiri. Ketika target tersebut sulit dicapai, tak sedikit yang kemudian menyerah.

“Misalnya, ketika kita belum menikah di usia sekian, kita merasa gagal dalam hidup. Yang ada lalu kejar setoran, pokoknya terima saja siapa aja yang mendekati kita, seolah-olah kita nggak punya alternatif lain. Lalu kita turunkan standar.”

Apabila kita memaksakan hal tersebut, Ratih mengingatkan dampaknya akan jadi kurang baik, “Karena kita menempatkan diri dalam hubungan yang submisif, kita tidak mampu menempatkan hubungan kita yang setara dengan pasangan.”

Poin penting lainnya dari bersikap rasional adalah memperjuangkan nilai hidup yang tepat.

“Berani perjuangkan hal-hal yang prinsip dengan rasional agar bisa bersikap objektif dan mempertimbangkan the worse case scenario, bukan untuk menjadi anxious tetapi untuk menjadi lebih siap.”

Terakhir, apa jurus jitu dari Ratih agar kita dapat berkomunikasi yang sehat dengan pasangan?

“Fokuslah pada masalahnya agar nggak bleberan. Klarifikasi perlu, dan musti relevan. Sebisa mungkin tenang, agar pikiran juga jernih dan logis. Jangan pakai dendam,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Imma Rachmani

tirto.id - Diajeng
Kontributor: Imma Rachmani
Penulis: Imma Rachmani
Editor: Sekar Kinasih