Menuju konten utama

Anak Perempuan Pertama, Kami Mengerti Beban & Perjuanganmu!

Ya, sebagai anak perempuan sulung, kamu cenderung mudah stres oleh harapan tinggi keluarga untuk memikul tanggung jawab lebih besar sekaligus jadi panutan.

Anak Perempuan Pertama, Kami Mengerti Beban & Perjuanganmu!
Header Diajeng sindrom Anak Perempuan Pertama. tirto.id/Quita

tirto.id - “I’m a big sister, of course my mom is always asking me to bring diapers and wipes.”

“I’m the eldest daughter, of course I co-raised my siblings but my parents don’t recognize it.”

“I’m the oldest daughter, of course I’m type-A perfectionist with a 5 a.m morning routine.”

Hayo, kutipan di atas pasti pernah kamu jumpai dalam klip-klip video yang berseliweran di TikTok atau Instagram. Setelah menyaksikannya, bagaimana perasaanmu?

Mungkin sebagian dari kamu menganggap narasi demikian berlebihan. Atau, jangan-jangan, kamu malah merasa relate dan terwakili karena curhatan tersebut mencerminkan pengalamanmu sendiri.

Evie Sukmaningrum, Ph.D, staf pengajar di Fakultas Psikologi UNIKA Atma Jaya Jakarta sekaligus Psikolog di layanan konseling NIDO, menjelaskan bahwa beban tanggung jawab lebih besar yang dibebankan kepada anak-anak sulung ini sebenarnya hal yang lazim.

“Terlepas dari gendernya, baik laki-laki dan perempuan sulung, secara umum dan normatif, ketika memiliki adik, maka mereka akan diposisikan sebagai anak yang memiliki peran sebagai anak yang menjadi model atau panutan bagi adik-adiknya—menjadi anak yang mandiri, dibanggakan, lebih ‘dewasa’ meskipun kadang kala dari usia biologis dia sebenarnya masih kategori anak-anak—sehingga diberikan tanggung jawab lebih besar seperti ikut membantu mengasuh adik-adiknya dan membantu pekerjaan rumah.”

Evie melanjutkan, “Ketika ia mampu memenuhi tanggung jawab tersebut, maka orang tua akan menaruh kepercayaan, termasuk menambahkan lagi tanggung jawab tidak hanya mengasuh maupun merawat tapi juga sebagai pengganti orang tua.”

Menariknya, selama ini cenderung lebih banyak kalangan perempuan yang menyuarakan pandangannya soal beban tersebut, sampai-sampai muncul istilah first daughter syndrome—sindrom anak perempuan sulung. Apa itu?

Sindrom anak perempuan sulung adalah istilah unntuk menggambarkan pengalaman kompleks menjadi anak tertua yang mengidentifikasi dirinya sebagai perempuan, demikian definisi dari situs Verywell Mind.

Menurut Sanam Hefeez, Psy.D di situs Parents, istilah tersebut juga sering digunakan untuk mendeskripsikan beban emosional yang sering ditanggung oleh anak perempuan tertua dalam keluarga mereka.

Meskipun disebut sindrom, kondisi ini tidak ada di dalam buku manual DSM-V (Diagnostic & Statistical Manual of Mental Disorder-V).

Header Diajeng sindrom Anak Perempuan Pertama

Header Diajeng sindrom Anak Perempuan Pertama. foto/istockphoto

Sindrom anak perempuan sulung pernah dibahas dalam riset selama 15 tahun oleh tim peneliti dari University of California, Los Angeles yang hasilnya terbit di jurnal Psychoneuroendocrinology (2024).

Tim peneliti mendapati, dalam beberapa kasus, anak perempuan sulung cenderung menjadi dewasa lebih awal sehingga memungkinkan mereka membantu ibu mereka membesarkan adik-adiknya.

Temuan tersebut merupakan bagian dari riset besar yang mengungkap korelasi antara tanda-tanda awal pubertas adrenal (perubahan fisik seperti tumbuh rambut pada tubuh, jerawat, dan pematangan kognitif) pada anak perempuan sulung dan ibu mereka yang memiliki tingkat stres prenatal tinggi.

Ibu yang mengalami stres prenatal tinggi berpotensi memicu pubertas adrenal pada anak perempuan sulungnya. Penting diketahui, proses pubertas adrenal disebut-sebut berkaitan juga dengan perubahan sosial dan kognitif di otak, atau pendeknya, berkorelasi dengan kematangan emosional.

Ketika ibu mengalami masa-masa sulit dan stres saat hamil, kepentingan adaptif ibu adalah agar anak perempuannya menjadi dewasa secara sosial lebih cepat, ujar salah satu anggota tim peneliti, Jennifer Hahn-Holbrook, dikutip dari Huffington Post.

Di balik beban berat yang dipikul oleh anak-anak sulung, psikolog Evie menuturkan, ternyata ada sisi positif yang bisa diambil.

“Hasil riset menunjukkan bahwa efek positif dari pelibatan pengasuhan pada anak sulung adalah; meningkatkan kematangan emosi dan sosial serta kedewasaan, empati, menumbuhkan kemampuan untuk nurturing yaitu merawat, peduli, ketangguhan, mengembangkan keterampilan dalam berelasi yang pada akhirnya dapat meningkatkan citra diri sebagai pribadi yang kompeten dan handal, dan efikasi diri yang positif,” terang Evie yang juga merupakan ibu dari dua anak laki-laki.

Kendra Cherry, MSEd dalam tulisannya di Verywell Mind juga menjelaskan tentang dampak positifnya. Anak perempuan sulung dipandang mampu menciptakan tekanan yang sangat kuat untuk berhasil, berkontribusi pada kesuksesan keluarga, dan memastikan semua orang diperhatikan, bahagia, dan puas.

Akan tetapi, Evie menambahkan, aspek-aspek positif tersebut ada syaratnya.

“Tentu saja aspek positif ini dapat terjadi bila terdapat pengalaman positif dan menyenangkan antara anak sulung dan orang tua. Pengalaman positif yang dimaksudkan adalah ketika mereka belajar untuk merawat atau mengasuh adiknya, orang tua juga memberikan feedback yang positif bagi mereka seperti memberi apresiasi, validasi, pujian, dan lain sebagainya,” jelas Evie.

Di satu sisi, masih mengutip Cherry, pemberian tugas dengan ekspektasi tinggi dapat menempatkan anak perempuan sulung pada posisi sebagai kambing hitam sekaligus sebagai ‘penjahat’. Anak perempuan sulung kerap digambarkan sebagai tukang perintah dan mendominasi adik-adiknya, pada waktu sama sering disalahkan apabila segala sesuatu tidak berjalan sesuai harapan orang tua.

Header Diajeng sindrom Anak Perempuan Pertama

Header Diajeng sindrom Anak Perempuan Pertama. foto/istockphoto

Ada beberapa hal yang Evie sarankan untuk orang tua agar anak pertamanya terhindar dari beban tanggung jawab yang terlampau besar, misalnya dengan mempertimbangkan kebutuhan tumbuh kembang anak pada masa itu. Artinya, memberikan peran dan tanggung jawab sesuai dengan usianya.

“Berikan kesempatan yang juga berimbang bagi anak sulung untuk bermain—sesuai dengan haknya sebagai anak—dan ketika ia memang diminta bantuan untuk menjaga adiknya,” ujar Evie.

Selain itu, orang tua perlu memberikan tanggung jawab pada adik-adiknya. Misalnya, orang tua dapat mengajarkan bahwa memberikan perhatian atau dukungan, bekerja sama ketika membereskan mainan, mematuhi aturan di rumah, adalah tugas bersama sebagai anak. Dengan demikian, tidak semua hal menjadi beban dan tanggung jawab anak sulung.

Hal negatif berpotensi terjadi ketika poin-poin di atas masih belum dilakukan atau sangat minimal dilakukan oleh orang tua.

Evie mencontohkan, anak sulung dapat mengalami stres ketika ia merasa tidak kompeten karena mendapat feedback negatif atau kritik secara terus menerus pada saat ia mengasuh adik-adiknya. Anak sulung juga dapat menumbuhkan perasaan ragu-ragu atau takut salah karena dituntut menjadi ‘sempurna’ dan menjadi panutan. Mereka juga sangat mungkin dilabeli secara negatif seperti, “Kamu kakaknya, tapi kenapa memberi contoh buruk?” atau, “Kamu kakaknya, tapi kok belum menikah?”

Akibatnya, ketika tidak mampu memenuhi standar diri sendiri maupun standar sosial itu semua, kata Evie, anak sulung berpotensi mengalami isolasi sosial dan merasa frustrasi.

Mereka akan cenderung mudah merasa sensitif pada penilaian orang lain, menjadi dominan sampai terkadang dinilai sebagai ‘bossy’, merasa sebagai pihak yang perlu dipatuhi dan didengarkan oleh adik-adiknya, pungkas Evie.

Nah, bagi kamu anak perempuan pertama, bagaimana kamu menavigasi keseharianmu sebagai harapan dan panutan bagi keluargamu? Terlepas dari segala dinamikanya, kami percaya kamu sudah berjuang dengan luar biasa! Kamu hebat!

Baca juga artikel terkait DIAJENG atau tulisan lainnya dari Imma Rachmani

tirto.id - Diajeng
Kontributor: Imma Rachmani
Penulis: Imma Rachmani
Editor: Sekar Kinasih