Menuju konten utama
Review Diajeng

Renungan Pola Asuh Remaja Era Digital dalam Serial Adolescence

Adolescence menjadi peringatan bagi penonton tentang rumitnya pengasuhan remaja sekaligus menegaskan kuatnya garis batas antara dunia anak dan orang tua.

Renungan Pola Asuh Remaja Era Digital dalam Serial Adolescence
Header diajeng Adolescence II. tirto.id/Quita

tirto.id - Baca bagian pertama dari review Diajeng tentang Adolescence di tautan berikut: Serial Netflix Adolescence: Menyelami Kelamnya Incel & Misogini

Pembunuhan terhadap perempuan dengan mendasarkan intensi karena korbannya perempuan disebut dengan femisida.

Serial terbaru Netflix Adolescence (2025) menggambarkan bagaimana kejahatan femisida mustahil dipisahkan dari praktik misogini—kebencian terhadap perempuan—dan kultur involuntary celibate (incel) yang mekar di dunia digital.

Narasi-narasi misogini dan incel itulah yang ternyata dikonsumsi oleh anak laki-laki berusia 13 tahun Jamie Miller.

Tokoh Jamie, diperankan dengan cemerlang oleh aktor muda Owen Cooper, diceritakan merasakan kemarahan dan kebencian luar biasa terhadap Katie, teman sekolah yang diam-diam dia taksir.

Jamie tidak menyangka, cintanya ditolak mentah-mentah oleh Katie—padahal kala itu kondisi psikologis gadis tersebut tengah rapuh karena foto vulgarnya tersebar di sekolah.

Dalam situasi memalukan tersebut, bukankah Katie seharusnya “bersyukur” atau “berterima kasih” pada Jamie yang tetap bersedia menerimanya jadi kekasih?

Sudah tentu, penolakan Katie merusak ego Jamie sebagai laki-laki. Aksi kekerasan berujung kejahatan menjadi pilihan yang kelak Jamie ambil.

Sebenarnya, apa yang terjadi pada diri Jamie?

Apa yang sudah dilewatkan oleh kedua orang tua Jamie—Eddie (Stephen Graham) dan Manda (Cristine Tremarco)—selama proses pendewasaan putra bungsunya itu?

Bagaimana bisa, mereka yang terlihat seperti keluarga normal, membesarkan seorang pembunuh?

Pertanyaan tersebut menggelayuti episode akhir serial Netflix Adolescence.

Eddie dan Manda, dalam puncak kesedihan ketika sidang vonis Jamie semakin dekat, menyadari bahwa mereka sama sekali tidak memahami dunia semacam apa yang selama ini dijalani oleh sang anak.

“Dia tidak pernah keluar kamar. Dia pulang ke rumah, membanting pintu, naik tangga, dan duduk di depan komputer. Lampu kamarnya sering nyala sampai jam 1 pagi,” kenang Manda tentang keseharian Jamie yang tidak menunjukan tanda-tanda maniak.

Perbedaan antara orang tua dan anak remaja mengenai dunia adalah hal umum yang terjadi di banyak keluarga.

“Kebutuhan atas otonomi dan kebebasan diri membuat remaja membangun batas-batas ketat mengenai informasi yang mereka anggap personal dan rahasia. Semakin dewasa, kecenderungan untuk tidak membagikan aktivitas dan keberadaan kepada orang tua juga semakin besar.”

Demikian pernah ditulis Susan Branje, Willard Andrew Collins, dan Brett Lursen dalam artikel “Parent-Child Communication During Adolescence” dalam The Routledge Handbook of Family Communication (2012).

Menurut Meyran Boniel-Nissim dan Hagit Sasson dalam studi di jurnal Computers in Human Behavior (2018), selama periode ini, remaja menginvestasikan waktu dan tenaga untuk memantapkan posisi mereka dalam lingkar pertemanan sebaya.

Meski begitu, bukan berarti peran keluarga dianggap tidak penting selama masa remaja berlangsung.

Studi yang lebih komprehensif menemukan fakta bahwa sebagian besar remaja korban perundungan di dunia digital maupun dunia nyata memiliki level koneksi sosial yang rendah, terutama dengan orang tua.

Jamie dan kedua teman dekatnya mengalami cyberbullying dan dianggap sebagai outcast atau orang buangan. Namun Jamie ternyata tidak pernah memberitahu kesulitan ini kepada Eddie dan Manda.

Justru di sepanjang serial, Jamie digambarkan memuja dan mengidolakan sang ayah.

Ia bersikap kasar ketika Ariston, psikolog yang mendampinginya, dianggap berupaya mendiskreditkan Eddie—yang di dalam film diposisikan sebagai simbol maskulinitas keluarga.

Secara subtil, Adolescence menunjukan relasi Jamie dan Eddie yang rapuh dan penuh ekspektasi tak terpenuhi.

Eddie Miller lahir dari keluarga maskulin tradisional dengan seorang ayah yang punya kebiasaan memukul anak.

Selama menjadi kepala keluarga, Eddie pun telah berupaya untuk memutus rantai abusif yang berpotensi mewariskan trauma kepada anak-anaknya.

Meski begitu, tanpa disadari Eddie sesungguhnya tidak pernah melepaskan nilai-nilai maskulinitas, terutama saat membesarkan Jamie.

Ia, misalnya, memaksa anak laki-lakinya untuk bergabung dalam tim sepakbola dengan dalih latihan untuk mendidik Jamie menjadi laki-laki yang kuat.

“Ayah menyertakanku dalam klub sepakbola. Ada pertandingan sepak bola setiap Sabtu dan dia menyemangatiku. Tapi jika permainanku payah, dia akan berpaling begitu saja. Mungkin dia cuma tidak mau kalau aku melihatnya tampak kecewa,” tutur Jamie kepada Ariston dengan suara tersendat.

Sepakbola, seperti dijelaskan dalam studi oleh Ruth Jeanes dan Jonathan Magee di jurnal Annals of Leisure Research (2011), merupakan kegiatan yang memungkinkan laki-laki untuk dapat mengakses dan melegitimasi aspek-aspek tradisional dan ideal dari maskulinitas—meliputi kompetisi, agresi, kekerasan, kekuatan, dan subordinasi perempuan.

Alih-alih olahraga, sejak kanak-kanak Jamie telah menunjukkan kecintaan pada dunia menggambar.

Pertanyaannya, apakah Eddie dan Manda tidak mengetahui hobi tersebut?

Oh, jelas mereka tahu.

Sayangnya, mereka memutuskan untuk abai alih-alih menyediakan ruang bagi Jamie menjalani apa yang ia suka.

Sebelum pembunuhan terjadi, kedua orang tua Jamie pun tidak menganggap hal tersebut sebagai isu.

Di episode terakhir, serial ini berhasil menunjukkan kontras derajat ketidakpahaman Eddie dan Manda mengenai pribadi Jamie.

Dibandingkan Eddie, Manda lebih bisa menerima dan mencerna apa yang terjadi dengan si bungsu.

“Terkadang, kukira kita bisa mencegahnya. Tahu, dan menghentikannya,” tutur sang ibu sembari menitikkan air mata.

Penuturan ini mengimplikasikan bahwa ada pemahaman yang hilang mengenai Jamie, yang membuatnya kedua orang tuanya harus membayar dengan harga lebih mahal.

Itulah mengapa Brooke Keels, psikolog dari Light House Recovery Texas, menyoroti keputusan Jamie memilih Eddie dibandingkan Manda sebagai pendamping dewasa selama proses penahanan dan penyelidikan.

Dalam wawancara dengan The Tab, Brooke menilai salah satu alasan Jamie memilih Eddie justru karena ia merasa bahwa ayahnya tidak lebih memahami dirinya dibandingkan sang ibu.

"[itu] adalah upaya bawah sadar Jamie untuk membuat ayahnya menyadari betapa retaknya hubungan mereka berdua, sembari menghindari penerimaan emosional yang lebih menyakitkan dengan ibunya," tutur Brooke.

Namun demikian, tetap saja ketidakmampuan Eddie dan Manda mengakomodasi nilai-nilai nonmaskulin menutup kesempatan bagi Jamie untuk terhindar dari relasi buruk dengan orang tuanya.

Keinginan Jamie untuk kembali menggambar mengiringi keputusannya untuk mengakui kejahatan yang ia lakukan.

Tentu, ada banyak keluarga yang berhasil melewati fase periode remaja pada anak-anaknya dengan mulus.

Dalam kasus Adolescence, absennya keberadaan orang tua di dunia internet dan nihilnya pemahaman mereka mengenai dunia keseharian anak berkontribusi dalam kenekatan Jamie membunuh Katie.

Akhir dari serial ini mengungkap penerimaan seusai rasa sedih berkepanjangan atas tragedi yang menimpa Miller. Ini termasuk pengakuan Eddie bahwa ia telah mengambil langkah yang keliru dalam pengasuhan anak.

“Maafkan aku, Nak. Aku harusnya lebih baik lagi,” tutur Eddie sembari menyelimuti boneka beruang yang menjadi representasi sosok Jamie.

Pada akhirnya, Adolescence menjadi peringatan bagi penonton tentang rumitnya mengasuh remaja sekaligus menegaskan kuatnya garis batas antara dunia anak dan orang tua.

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Erika Rizqi

tirto.id - Diajeng
Kontributor: Erika Rizqi
Penulis: Erika Rizqi
Editor: Sekar Kinasih