Menuju konten utama
Newsplus

Refleksi 'Adolesence' dan Tantangan Mendidik Anak di Era Digital

Memberikan akses ke ranah digital ke anak perlu diimbangi dengan pendampingan dan literasi digital orang tua.

Refleksi 'Adolesence' dan Tantangan Mendidik Anak di Era Digital
Serial Adolescene. FOTO/IMDB

tirto.id - Serial terbaru Netflix, Adolescence, berhasil menarik perhatian publik. Premis soal misteri pembunuhan di awal kisah, nyatanya menggali persoalan yang lebih mendalam mengenai kompleksitas pengasuhan anak di tengah pesatnya perkembangan teknologi.

Mini series dengan empat episode ini mengangkat cerita Jamie Miller (diperankan oleh Owen Cooper), seorang remaja berusia 13 tahun, yang terlibat dengan pembunuhan seorang teman sekolah perempuannya. Di buka, dengan adegan penangkapan Jamie di rumahnya, yang menimbulkan kegaduhan di pagi hari, penonton langsung dibuat bertanya, 'apakah benar bocah ini melakukan pembunuhan?'

Di setiap episode yang berdurasi sekitar satu jam, penonton dibuat terus mempertanyakan kebenaran kasus pembunuhan sambil menyelami isi kepala Jamie dari berbagai sudut pandang. Di dalamnya juga disisipkan pesan tentang bagaimana pentingnya interaksi orang tua dengan anaknya, agar bisa memahami permasalahan mereka.

Serial ini juga menggali lebih dalam tentang tekanan yang dihadapi remaja kiwari, baik dari lingkungan, pergaulan, internet, maupun media sosial. Kesulitan orang dewasa memahami pola pergaulan anak di ranah digital, bahkan sempat mengaburkan upaya penyelidik untuk memahami akar masalah kasus ini.

Di sisi lain, serial ini juga menunjukkan bagaimana rentannya anak terhadap paparan informasi di internet. Upaya orang tua untuk memberi akses informasi dan memenuhi keinginan anak, justru menjadi bumerang. Jamie yang diceritakan sebagai anak baik dan ‘culun’, justru memendam hasrat emosional. Internet tempat pelariannya, justru menjerumuskan dia ke hal yang berbahaya.

Dua Sisi Kemudahan Akses Informasi

Dalam penelitian berjudul Permasalahan Pola Asuh dalam Mendidik Anak di Era Digital garapan oleh Atmojo, Sakina, dan Wantini, disebut bahwa pesatnya arus informasi dan teknologi berpotensi menjerumuskan anak-anak dalam perilaku buruk. Kemudahan akses informasi dan komunikasi justru memicu sikap anak bertanggung jawab, degradasi moral, serta meningkatnya kasus kejahatan di kalangan pelajar.

Sementara Dalam buku terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang berjudul Mendidik Anak di Era Digital, dijabarkan peran penting orang tua untuk mendidik anak. Orang tua harus bisa memahami perangkat digital, mengarahkan penggunaan perangkat media digital, sampai dengan memilah aplikasi yang sesuai dengan usia anak, dan kemudian memantau kegiatan anak di dunia maya.

“Namun yang terpenting dalam era digital ini adalah kemampuan orang tua untuk bisa juga belajar mendampingi anak, yang tidak bisa dipungkiri mereka akan berdampingan dengan kecanggihan teknologi,” ujar Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Diyah Puspitasari, kepada Tirto, Jumat (11/4/2025).

Rangkuman data Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mendapatkan sebanyak 39,71 persen anak usia dini di Indonesia telah menggunakan telepon seluler, sementara 35,57 persen lainnya sudah mengakses internet. Apabila dirinci per kelompok usianya, maka terdapat 5,88 persen anak di bawah usia 1 tahun yang sudah menggunakan telepon genggam/gawai dan 4,33 persen anak di bawah usia tahun yang mengakses internet pada 2024.

Kemudian, terdapat 37,02 persen anak usia 1-4 tahun dan 58,25 persen anak usia 5-6 tahun yang menggunakan telepon genggam, sedangkan 33,80 persen anak usia 1-4 tahun dan 51,19 persen yang berusia 5-6 tahun tercatat telah mengakses internet. Fenomena ini juga cenderung merata di berbagai wilayah, sebab di wilayah tertinggal, anak usia 13–14 tahun sudah kecanduan mengakses media sosial.

Menurut data UNICEF, setiap setengah detik seorang anak di dunia mengakses internet untuk pertama kalinya. Di Indonesia, jumlah pengguna internet telah mencapai 221 juta orang atau 79,5 persen dari total populasi. Menariknya, sekitar 12 persen di antaranya adalah mereka yang berusia 5-12 tahun.

Ilustrasi kecanduan media sosial

Ilustrasi kecanduan media sosial. FOTO/iStockphoto

“Di tengah kondisi saat ini, tentu tantangan dalam mendidik anak semakin kompleks karena anak-anak terpapar berbagai konten dari media sosial, film, dan platform digital sejak usia dini—bahkan sebelum mereka mampu membedakan mana yang nyata dan mana yang fiktif,” ujar peneliti psikologi sosial dari Universitas Indonesia (UI), Wawan Kurniawan, kepada Tirto, Jumat (11/4/2025).

Menurut Wawan, paparan terhadap kekerasan atau perilaku negatif dalam tontonan bisa memengaruhi perilaku anak melalui proses modeling sosial, di mana anak meniru apa yang mereka lihat tanpa menyaring akibatnya.

Dalam konteks ini, pola asuh yang responsif dan partisipatif menjadi kunci: orang tua perlu hadir secara aktif dalam kehidupan digital anak, membangun komunikasi terbuka, menerapkan batasan layar (screen time) yang sehat, serta mengajarkan literasi media agar anak mampu menilai dan menyaring informasi secara kritis.

Selain itu, menurutnya penting bagi orang tua untuk menjadi model perilaku positif dan memperkuat nilai-nilai empati, tanggung jawab, dan kontrol diri sejak dini. Sehingga, anak tidak hanya dibekali dengan aturan yang mengekang, tetapi juga dengan pemahaman yang membentuk integritas moral di tengah arus informasi yang cepat dan tidak selalu sehat.

Pentingnya Pemahaman Literasi Digital Orang Tua

Selain beberapa hal di atas, menurut Pemerhati Anak dan Pendidikan, Retno Listyarti, literasi digital orang tua juga menjadi penting. Sehingga anak-anak ini bisa terlindungi dari keburukan-keburukan penggunaan internet, media sosial dan konten di ranah digital lain-lain.

“Kalau orang tuanya tidak teredukasi kemudian ini juga menjadi sulit,” katanya kepada Tirto, Jumat (11/4/2025).

Karena bagaimanapun, kata Retno, hari-hari si anak itu sangat bergantung pada orang tua. Dan kalau kita tidak ingin anak-anak kecanduan, maka orang tua harus menyediakan kegiatan substitusi atau pengganti agar teralihkan dari kecanduan gadget.

Peneliti Bidang Sosial dari The Indonesian Institute (TII), Made Natasya Restu Dewi Pratiwi, mengatakan untuk melakukan pola asuh yang tepat di era digital, orang tua memang memerlukan pemahaman yang baik akan literasi digital dan perkembangan anak. Literasi digital dapat membantu orang tua untuk membimbing, mendampingi, dan mengawasi anak secara bijak dan tegas ketika mengakses konten digital.

Orang tua, menurut Natasya, juga perlu memahami kebutuhan digital anak. Fitur parental control juga dapat diaktifkan oleh orang tua untuk mencegah paparan konten yang tidak sesuai dengan perkembangan anak, seperti konten yang memuat kekerasan, perundungan, penipuan, hingga pornografi.

“Fitur ini dapat diakses pada pengaturan gadget hingga pengaturan pada aplikasi bersangkutan, seperti pada YouTube, TikTok, dan Google,” ujar dia kepada Tirto, Jumat (11/4/2025).

Ilustrasi Berkomentar di Media Sosial

Ilustrasi Berkomentar di Media Sosial. Getty Images/iStockphoto

Selain itu, orang tua perlu berani dan tegas dalam menetapkan batas waktu screen time anak untuk mencegah anak-anak mengalami ketergantungan dengan konten digital. Upaya ini, menurutnya menjadi hal penting yang perlu diperhatikan oleh orang tua agar anak mereka terhindar dari risiko over-stimulasi yang berdampak buruk pada perkembangan otak dan emosional anak.

Orang tua, lanjutnya, juga perlu secara aktif untuk mendampingi anak ketika mengakses konten digital yang diselipkan dengan diskusi terkait konten yang sudah mereka akses dan menjelaskan kepada anak terkait mana konten yang baik dan buruk, serta bermanfaat sesuai usia dan kebutuhan anak agar penggunaannya relevan dan optimal secara positif, dan membantu anak dalam merefleksikan pesan moral dari konten yang ditonton.

“Kesempatan ini juga baik untuk memperkuat hubungan emosional antara anak dengan orang tua,” tambah Natasya,

Di sisi lain, pemahaman akan perkembangan dan kebutuhan anak juga sangat membantu orang tua untuk mengkreasikan aktivitas permainan yang berdampak positif pada perkembangan anak, baik dari segi motorik, sosial, intelektual, maupun sensorik. Kreativitas orang tua dalam pengasuhan di era digital, dalam hal ini menjadi kunci penting untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak yang sehat dan terhindar dari dampak negatif konten digital.

Beberapa alternatif yang dapat dilakukan, yaitu mendesain permainan yang dapat menstimulasi perkembangan sensorik dan motorik anak, menumbuhkan kebiasaan membaca buku, dan melibatkan anak untuk berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya. Aktifitas seperti berkebun, memelihara hewan, berinteraksi dengan teman sebaya, dan bermain ke alam, bisa jadi pilihan.

“Pendekatan komunikasi dua arah juga penting diingat dalam melakukan beberapa upaya ini agar anak tidak merasa dihakimi, dikontrol, bahkan diancam oleh orang tuanya,” pungkas dia.Ilustrasi terapi digital kesehatan mental

Ilustrasi terapi digital kesehatan mental. foto/istockphoto

Dalam upaya perlindungan anak dari ranah digital nasional, negara juga ikut ambil peran. Pada penghujung Maret 2025, Presiden Prabowo Subianto mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (Tunas).

Pengesahan PP ini didasari oleh laporan yang menjelaskan bahaya dari penyalahgunaan media digital terhadap anak-anak. Prabowo lantas menginstruksikan Menteri Komdigi untuk menindaklanjuti berbagai upaya yang diperlukan untuk melindungi anak-anak Indonesia dari penyalahgunaan media digital.

"Jadi, teknologi digital ini menjanjikan bisa membawa kemajuan pesat bagi kemanusiaan, tapi juga bila tidak diawasi dan dikelola dengan baik justru juga bisa merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, terutama merusak akhlak, merusak psikologi, merusak watak daripada anak-anak kita,” ujar Prabowo.

Baca juga artikel terkait PARENTING atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Alfons Yoshio Hartanto