Menuju konten utama

Mengenal Mom Guilt, Mematahkan Mitos "Ibu yang Sempurna"

Nyatanya, mustahil bagi seorang ibu untuk memenuhi semua standar yang dibebankan padanya.

Mengenal Mom Guilt, Mematahkan Mitos
Header Diajeng Mitos Good Mother. tirto.id/Quita

tirto.id - Perasaan bersalah atau mom guilt pernah dirasakan Devia (34) ketika memutuskan untuk bekerja penuh waktu tatkala anaknya masih balita.

"Sejak anak umur 3 bulan sudah saya tinggal bekerja. Kadang ada perasaan bersalah karena tidak bisa bersama anak tiap waktu. Saya pulang, dia sudah tidur—melewatkan momen-momen terbaiknya," jelas perempuan yang berprofesi sebagai akuntan ini.

Emosi yang sama, akan tetapi terkait kondisi yang berkebalikan, juga dirasakan Yenny (36).

"Melepaskan pekerjaan dan jadi ibu rumah tangga ternyata ada perasaan bersalah karena tidak bisa membantu mencari nafkah untuk keluarga," ungkapnya.

Melansir Cleveland, istilah mom guilt dipakai untuk menjelaskan rasa bersalah yang dirasakan sebagian ibu ketika mereka tidak dapat memenuhi harapan mereka sendiri atau harapan orang lain dalam peran mereka sebagai orang tua.

Mom guilt menjadi semacam dialog internal seorang ibu yang memberi tahu dirinya gagal sebagai pengasuh.

Menurut peneliti dalam riset tahun 2015 lalu, rasa bersalah ini didefinisikan sebagai “emosi inti yang mengatur perilaku sosial untuk patuh akan norma sosial atau standar yang ditetapkan sendiri.”

Ya, rasa bersalah merupakan dorongan seorang ibu untuk "bermain" sesuai aturan, menaati hukum, mematuhi norma-norma budaya tentang "apa yang dilakukan orang tua yang baik".

“Ada begitu banyak pemicu halus—atau tidak terlalu halus—di masyarakat yang menekan kita untuk berpikir bahwa kita harus mampu melakukan semuanya,” kata Dr. Mellisa Young.

“Rasa bersalah sebagai ibu adalah pengalaman yang sangat wajar ketika kita mempertimbangkan semua tanggung jawab dan harapan yang saling bertentangan dalam hidup kita."

Setiap ibu memiliki banyak peran dalam hidup. Pada waktu sama, ibu juga mempunyai ekspektasi masing-masing.

Selain memanggul tanggung jawab pada anak, pasangan, teman, kolega, orang tua, saudaranya, ibu juga seorang individu utuh yang memiliki kebutuhan untuk diri sendiri.

Ilustrasi Ibu dan Anak

Ilustrasi Ibu dan Anak. FOTO/iStockphoto

Ima Santika Jayati, S.Psi., M.Psi., psikolog klinis di RSJD Dr. RM. Soedjarwadi, Klaten menjelaskan bahwa perasaan bersalah seorang ibu biasanya disebabkan oleh perbedaan ekspektasi yang muncul sebelum dia punya anak dan sesudah punya anak.

“Dulu ia punya gambaran, jika punya anak ingin menemani 24 jam sehari, tapi kenyataannya harus bekerja dan terbatas bertemu anak. Atau bisa juga ibu rumah tangga yang tinggal dengan mertua, sering berbenturan dalam pengasuhan anak membuat dia merasa gagal. Harapan yang berbeda dengan kenyataan, menyebabkan ada perasaan bersalah," terang Ima.

Rasa bersalah seorang ibu disebabkan oleh beberapa hal.

Dilansir dari Healthline, penyebabnya mulai dari perasaan tidak aman di dalam diri sendiri hingga tekanan luar dari keluarga, teman, atau media sosial.

Ima menambahkan, "Ibu juga bisa mengalami stres karena memprioritaskan keluarga, mengurus rumah dari pagi sampai malam. Mengurus anak, suami dan anggota keluarga lain. Ada hal yang tidak sesuai ekspektasi, misalnya anak telat bicara—membuatnya merasa gagal atau tidak sempurna sebagai ibu. Ketika dihadapkan pada kenyataan, tetapi ia bisa menerima, maka lebih mudah terhindar stres."

Di era digital, hal yang menantang dalam pengasuhan anak adalah media sosial.

Tak terhitung banyaknya konten berseliweran yang seakan-akan mengajak kita berlomba-lomba menjadi orang tua terbaik, pasangan terbaik, kolega terbaik, dengan menetapkan tujuan yang sulit dicapai.

Ambil contoh berikut. Sebuah konten video menggambarkan keseharian seorang ibu yang tidak pernah melewatkan aktivitas olahraga di gym. Setiap pagi ia selalu membuatkan bekal untuk anaknya. Rumahnya bersih dan kinclong.

Coba, siapa ibu yang tidak merasa kewalahan setelah terpapar konten-konten demikian?

Bukan tidak mungkin, muncul perasaan gagal atau bersalah karena kondisi yang tidak memungkinkannya menjalani peran sebanyak dan semenyeluruh itu.

Padahal, unggahan-unggahan di media sosial acap kali tidak mencerminkan realitas utuh kehidupan.

"Di media sosial, semua orang terlihat sempurna. Seorang ibu bisa ke gym dan sempat masak dan beberes rumah, siapa tahu ada asisten rumah tangga?” ujar Ima.

“Penggunaan medsos yang berlebihan tidaklah sehat, karena kita akan selalu membandingkan diri dengan orang lain. Lebih baik fokus pada kehidupan nyata, mengasuh anak, dan tidak menetapkan standar seperti orang lain," imbuhnya lagi.

Mustahil bagi ibu untuk memenuhi semua standar yang dibebankan kepadanya. Ibu yang sempurna itu sendiri ternyata adalah mitos. Begitulah pemikiran Nancy Reddy, penulis buku The Good Mother Myth: Unlearning Our Bad Ideas About How to Be a Good Mom (2025).

Dalam sebuah wawancara dengan Juli Fraga, Psy.D, di Psychology Today pada Januari lalu, Reddy menjelaskan bahwa pandangan umum selama ini menyorot bahwa "ibu yang baik" selalu memprioritaskan anak dan keluarganya di atas kebutuhannya sendiri.

“Gagasannya, setiap perempuan memiliki ‘naluri keibuan’ sedari masa kehamilan dan persalinan, dan ibu yang baik mampu melakukan semuanya sendiri, didukung oleh cinta tanpa pamrih,” kata Reddy.

“Kalau dijabarkan satu per satu memang kedengaran ketinggalan zaman, tetapi nyatanya gagasan tersebut masih sangat hadir di dalam narasi-narasi keibuan di ranah media dan dunia digital. Butuh waktu bertahun-tahun bagiku untuk menyadari bahwa aku sudah bergelayut pada harapan-harapan yang mustahil dan saling bertentangan,” akunya lagi.

Reddy bercerita, ketika dia tidak dapat memahami apa yang dibutuhkan bayinya, hal tersebut tidak hanya membuatnya merasa kesulitan untuk merawatnya. Dia juga merasa gagal karena tidak tahu harus berbuat apa.

“Kehebatan” atau “kesempurnaan” pada ibu, menurut Reddy, adalah standar yang mustahil. “Selalu ada ibu lain yang melakukannya lebih baik," katanya.

"Apabila kita terlalu fokus pada validasi eksternal, maka hilanglah kegembiraan sebagai ibu. Namun, jika kita bisa mengubah cara pandang—bahwa menjadi ibu bukanlah tentang berusaha menjadi ‘ibu yang baik’, melainkan tentang mengenal sosok baru yang unik sekaligus menemukan kembali diri kita dalam perjalanan tersebut—di situlah letak keajaibannya.”

Reddy berpendapat, patriarki telah menjadikan peran ibu sebagai sebuah institusi yang sangat penting bagi budaya dan ekonomi. Meski begitu, pada waktu sama, patriarki tidak melihat ibu-ibu sebagai manusia atau tidak memberikan dukungan material cukup.

"Kita bergantung pada kaum ibu untuk sejumlah besar tenaga kerja yang tidak dibayar dan diremehkan, dan kita berharap mereka melakukan semuanya itu tanpa mengeluh karena mereka sangat mencintai anak-anak mereka."

Reddy mengutip temuan sosiolog Jessica Calarco dan ekonom Nancy Folbre bahwa ekonomi Amerika Serikat mustahil berjalan baik tanpa tenaga kerja dari kaum ibu.

Folbre bahkan menyuarakan tentang perhitungan nilai ASI ke dalam Produk Domestik Bruto (PDB).

“Bayangkan jika setiap jam yang dihabiskan untuk menyusui dan memompa ASI bukanlah waktu yang terbuang, melainkan sebagai kontribusi vital bagi perekonomian!" ungkap Reddy.

Psikolog Ima menimpali pentingnya untuk mengubah mindset patriarki.

“Seharusnya, masyarakat mulai bisa memberi pengakuan hak-hak ibu. Jika istri sudah menyusui dan mengasuh anak, suami bisa membantunya memasak atau membereskan rumah. Laki-laki memasak, kenapa tidak? Memasak salah satu keterampilan dasar hidup," ujar Ima.

Ilustrasi ibu dan anak

Ilustrasi ibu dan anak. FOTO/Istockphoto

Dalam pemaparan tentang poin-poin penting bukunya di situs Next Big Idea Club, Reddy menegaskan bahwa kaum ibu, terutama ibu baru, membutuhkan lebih banyak bantuan nyata daripada sekadar saran.

Di masa kini, semakin banyak ibu yang mencari jawaban dari pakar pengasuhan anak daripada menceritakan kesulitannya kepada teman atau keluarga.

Padahal, bantuan praktis dari orang lain seperti menggendong bayi, melipat cucian, atau sekadar ngobrol santai bersama akan sangat membantu perjalanan ibu baru menjadi lebih mudah dan menyenangkan.

Reddy juga memaparkan, alih-alih menjadi sosok yang sempurna, jadilah ibu yang hangat dan menyenangkan bagi anak-anak.

Keluarga dari berbagai budaya di seluruh dunia, dari Filipina, Kongo, hingga Swedia, membesarkan anak dengan cara berbeda-beda. Namun, yang perlu diingat, tidak ada satu pun yang ibunya melakukan pekerjaan sendirian.

Reddy mengutip antropolog Margaret Mead, "Apa yang paling dibutuhkan anak-anak bukanlah seorang ibu yang sempurna, melainkan perhatian dari banyak orang yang hangat dan ramah.”

Sepemikiran dengan Reddy, Amber Thornton, Psy.D, psikolog klinis dan Founder Balanced Working Mama, menyampaikan di Psychology Today bahwa mengasuh anak tidak boleh dilakukan seorang diri oleh ibu.

Ibu memerlukan bantuan pasangan, anggota keluarga lain, atau teman untuk mempermudah tugas pengasuhan anak. Ingat pepatah Afrika: it takes a village to raise a child.

"Seorang ibu tentu boleh meminta bantuan orang lain jika ia merasa kewalahan dalam menjalankan perannya. Suami yang peka akan tahu jika istrinya butuh bantuan, atau memberikan waktu istrinya untuk merawat diri atau me time, sehingga membuat seorang ibu lebih tenang," pungkas Ima.

Setuju!

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Daria Rani Gumulya

tirto.id - Diajeng
Kontributor: Daria Rani Gumulya
Penulis: Daria Rani Gumulya
Editor: Sekar Kinasih