tirto.id - Sejak anak pertamanya lahir pada 2020 silam, Nia (34) memutuskan berhenti bekerja sebagai social media specialist di salah satu agensi di Jakarta Pusat.
Sampai pertengahan tahun lalu, Nia sekeluarga tinggal bersama mertua yang ikut membantu ‘momong’ anak-anaknya.
Ketika akhirnya mereka memutuskan tinggal terpisah dari mertua, Nia otomatis harus menangani kedua anaknya sendirian—keseharian yang baginya terasa menyenangkan sekaligus melelahkan.
“Senang karena masih bisa urus sendiri dan turun langsung urusan tumbuh kembang mereka, capek karena sekalian urus urusan rumah tangga juga," aku Nia.
Nia merasakan betul, semenjak tidak bekerja, memiliki anak, dan menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya, kehidupannya seolah berkutat di situ-situ saja. Mengambil jeda untuk me time, atau berkumpul dengan kawan lama, cenderung sulit dilakukan.
Tak heran, saat merasa lelah dengan rutinitas, Nia cenderung bingung untuk mencari hiburan.
"Paling sering biasanya minta gantian sama suami untuk jaga anak-anak. Aku istirahat dengan minum kopi sambil nonton di teras belakang rumah. Pokoknya enggak keliatan anak-anak atau izin keluar sebentar satu-dua jam buat ngopi di dekat rumah. Intinya, ke luar rumah dan menjauh dari anak-anak," ujarnya.
Ibu Rumah Tangga dan Masalah Kesehatan Mental
Sedari lama, kesibukan sehari-hari sebagai full time mom atau ibu rumah tangga kerap diremehkan dan disepelekan sebagai kegiatan yang “santai-santai saja”.
Terutama di masyarakat yang masih kental dengan kultur patriarki, aktivitas membersihkan rumah, memasak dan membereskan dapur, sampai mengurus anak, acap kali dipandang “bukan pekerjaan” atau tidak setara dengan kerja formal di perkantoran.
Padahal, menjadi ibu rumah tangga maupun ibu yang bekerja di kantor sama-sama melelahkan dengan tantangan masing-masing. Pertanyaannya, tantangan mana yang ingin kita pilih?
Meski profesi ibu rumah tangga maupun ibu pekerja kantoran sama-sama menantang, ibu-ibu yang tidak berkarier di kantor ternyata lebih rentan mengalami stres.
Persentase ibu rumah tangga yang melaporkan pernah didiagnosis mengalami depresi juga cenderung lebih besar (28 persen) daripada ibu pekerja dan perempuan karier tanpa anak (masing-masing 17 persen).
Konsistensi bekerja kantoran bahkan diasosiasikan dengan kesehatan ibu yang lebih baik, sebagaimana disampaikan dalam penelitian di Journal of Health and Social Behavior (2012).
Hasilnya mengungkapkan, ibu-ibu yang meneruskan pekerjaannya sebagai pegawai penuh waktu setelah melahirkan anak pertama dapat diasosiasikan dengan kondisi kesehatan lebih baik saat berusia 40 tahun, dibandingkan mereka yang beralih pada pekerjaan paruh waktu, kerja berbayar tetapi sering jeda, atau melakukan pekerjaan tidak dibayar di rumah.
Melansir Forbes, psikoterapis Stacey Wright menjelaskan banyak ibu rumah tangga yang merasa terisolasi dan kesepian.
Menurut Wright, bekerja dapat memberikan koneksi sosial, bahkan jika dilakukan secara virtual.
Hal inilah yang tidak dirasakan mereka yang sehari-harinya berkutat dengan pekerjaan rumah. Satu-satunya orang yang mereka lihat atau ajak bicara sepanjang hari adalah anak-anak, yang tidak sepenuhnya cocok untuk jenis percakapan dewasa.
Wright juga menyorot adanya potensi “kehilangan identitas”. Bagi perempuan karier yang memang mendambakan menjadi ibu rumah tangga penuh waktu pun perlu waktu untuk menyesuaikan diri karena peralihan kondisi mental yang bisa jadi mengejutkan.
Psikolog di RSK Jiwa Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Mira Damayanti Amir, S.Psi., Psikolog, tidak menampik betapa beratnya beban yang ditopang ibu rumah tangga penuh waktu, “Mereka harus melakukan semua, berperan sebagai istri, sebagai ibu standby segala rupa 24 jam.”
“Tapi,” Mira menambahkan, “tidak ada apresiasi secara formal yang dia peroleh."
Terlepas dari itu, seperti ditegaskan oleh terapis Orlesa Poole kepada Forbes, bukan berarti profesi ibu rumah tangga patut dinomorduakan. Demografi mereka justru perlu perhatian khusus karena rentan mengalami burnout atau stres berat.
“Ketika ibu rumah tangga mengalami burnout, mereka mungkin akan kesulitan bangun tidur di pagi hari, kehilangan kesabaran dengan perilaku anak-anak atau suaminya, merasa marah dan mudah menangis karena hal sepele atau mudah terpicu,” jelas Poole.
Beban Kognitif yang Kasat Mata
Kerentanan ibu mengalami stres juga mustahil dipisahkan dari ketimpangan beban dalam pembagian tugas untuk urusan rumah tangga.
Meski laki-laki atau suami zaman sekarang sudah jauh lebih melek tentang urusan domestik dan berusaha lebih keras untuk memberikan dukungan, tidak bisa dimungkiri bahwa perempuan atau ibulah yang cenderung mengerjakan porsi lebih besar.
Penting diingat, tugas rumah tangga tidak sekadar berwujud fisik, melainkan juga yang bersifat kasat mata atau istilahnya invisible workload atau bisa disebut juga beban kognitif alias “beban mental”.
Sederhananya, tugas-tugas kognitif berfokus pada konsepsi atau perencanaan. Itulah yang wajib dituntaskan sebelum kita melangkah ke tahap pengerjaan atau eksekusi.
Siapa yang harus ingat untuk membeli deterjen, sabun cuci piring, dan kantong plastik sampah? Galon air minum sudah habis, jangan lupa pesan via teks WhatsApp ke warung tetangga agar segera diantar.
Roti cokelat kesukaan anak ternyata sudah tidak lagi dijual di toko A, jadi harus diingat betul untuk membelinya di toko B yang lokasinya lebih jauh dari rumah. Apakah bulan ini guru les renang anak sudah dibayar? Oh, anak diundang ke pesta ulang tahun temannya, perlu memastikan dulu ke orang tuanya hadiah apa yang sebaiknya diberikan.
Terdengar sepele? Tentu tidak.
Darby Saxbe dan Lizzie Aviv dari University of Southern California menjelaskan di The Conversationbahwa ketimpangan gender pada dimensi kognitif jauh lebih besar daripada yang terjadi pada dimensi fisik.
Terlebih dari itu semua, sesuai dengan hasil penelitian mereka, ibu-ibu dengan beban kognitif rumah tangga lebih besar melaporkan tingkat depresi, stres, ketidakpuasan dalam relasi, dan burnout yang lebih tinggi.
Pasangan Jadi Garda Terdepan
Menjadi ibu rumah tangga dan mengurus segala urusan domestik seorang diri bukanlah pekerjaan yang mudah. Apalagi jika keadaan diperkeruh dengan pasangan yang tidak peka dalam memberikan dukungan langsung atau sekadar apresiasi.
Hal ini ditegaskan oleh Isma (29), ibu dari balita berusia 3,5 tahun.
“Mood-ku sangat dipengaruhi oleh suami. Aku hanya burnout tergantung dari sikap suami,” ujar Isma.
Isma yang saat ini masih menyusui anaknya menjelaskan bahwa perasaannya dapat segera membaik setelah suami meminta maaf, memberikan apresiasi dengan word of affirmation, atau membelikan makanan kesukaannya.
Sementara itu, Nia mengaku senang saat suaminya ikut mengurus anak di pagi hari sebelum berangkat ke kantor atau saat pulang cepat. Bantuan seperti memandikan atau sekadar menemani anak tidur sangat berarti bagi Nia. Apalagi jika di akhir pekan suaminya mengajak anak-anak pergi ke luar.
Menurut psikolog Mira, penting bagi ibu rumah tangga untuk mengoptimalkan semua bantuan dan dukungan yang bisa diperoleh dalam mengurus rumah tangga, seperti dari suami, orang tua, mertua, bahkan dari ipar.
"Karena apa? Sesederhana bahwa ibu rumah tangga, kalian butuh istirahat yang cukup. Pastikan kamu cukup tidur," papar Mira.
Selain cukup tidur, pastikan juga untuk memenuhi asupan gizi dari makanan sehari-hari. Menurut Mira, sering kali ibu mengabaikan konsumsi makanan bergizi lantaran terlalu lelah dan tidak adanya bantuan.
Ketika istirahat dan makanan bergizi sudah terpenuhi, Mira mengingatkan pentingnya bagi ibu untuk mengembangkan skill sebagai bentuk aktualisasi diri.
Misalnya, bagi mereka yang suka makeup, bisa mengikuti kursus makeup dan menerima tawaran kerja paruh waktu. Bagi yang hobi menulis, bisa meluangkan waktu menulis blog atau membuat konten.
Terkait hal ini, Nia bercerita dirinya memiliki hobi mencari ide jualan dan membuat konten OOTD (outfit of the day) di media sosialnya.
Mirip dengan Nia, Isma aktif menawarkan jasa jualan daring di akun media sosialnya.
“Me time-ku belanja. Ketika aku jualan online, aku membelanjakan pesanan orang—bukan hanya untuk diriku sendiri saja.”
Keputusan Nia dan Isma untuk berkegiatan di media sosial patut diapresiasi sebagai upaya untuk menyegarkan pikiran sekaligus memberdayakan diri agar senantiasa terpapar dan terkoneksi dengan perkembangan di dunia luar.
Psikolog Mira tidak menyarankan untuk menghabiskan waktu dengan kegiatan yang tidak produktif terlalu lama, seperti maraton drama Korea. "Buat relaks boleh, tapi jangan maraton," imbuhnya.
Yang terpenting, tetap jaga kualitas hubungan dengan pasangan. Sadari dan optimalkan bantuan yang dibutuhkan dari sekitar. Jangan lupa pula untuk selalu memenuhi kebutuhan diri sendiri dan gali setiap potensi, ya!
Sekali lagi, menjadi ibu rumah tangga atau ibu pekerja sama-sama melelahkan. Keputusan ada di tangan kita masing-masing, ingin memilih versi lelah yang seperti apa?
Penulis: Putri Annisa
Editor: Sekar Kinasih