tirto.id - Tidak semua perempuan dapat memilih untuk mempertahankan pekerjaan formal kantoran setelah memiliki anak. Sebagaimana diulas dalam laporan terbaru The Economist, karier perempuan dalam satu dekade pertama setelah kelahiran anak pertama cenderung tersendat.
Data yang dihimpun dari 134 negara mengungkap rata-rata 24 persen perempuan meninggalkan pekerjaannya pada tahun pertama anak lahir. Lima tahun kemudian, sebanyak 17 persen perempuan masih absen dari bursa kerja formal. Setelah sepuluh tahun, angkanya berkisar 15 persen.
Di balik tantangan dan beratnya pekerjaan ibu dalam mengasuh anak, peluang untuk mengembangkan karier tetap terbuka luas bagi perempuan yang punya momongan. Yup, salah satunya adalah melalui bisnis atau usaha. Terlebih, teknologi digital kian memudahkan kita untuk berjejaring.
Nah, pertanyaannya, apakah setiap ibu bisa menjadi mompreneur?
Pendiri komunitas Positive Mom sekaligus pembicara TED Talks Elayna Fernandez menuturkan, untuk menjadi mompreneur diperlukan kreativitas, manajemen waktu, pengorganisasian, dedikasi dan ketahanan emosional yang tinggi.
Realitanya, perempuan Indonesia mendominasi sektor usaha berskala kecil dan menengah (UMKM). Data BPS tahun 2021 menyebutkan, perempuan mengelola 64,5 persen atau sekitar 37 juta unit usaha dengan proyeksi mencapai total nilai sebesar 135 miliar dolar AS pada 2025 mendatang.
Mari dengarkan kisah Nuni Isa Edris (44). Ibu dua anak berusia remaja ini mengawali bisnisnya dengan menjual daging sei (daging asap) beku lewat Whatsapp dan media sosial. Produknya disuplai oleh seorang teman yang memproduksi daging sei.
“Tapi pandemi membuat bisnis saya berubah. Tahun 2020 memasuki masa pandemi Covid-19 pekerjaan suami mulai goyah dan sepi job. Suami hanya mendapat lima puluh persen gaji dan tidak mendapat komisi. Ia resign, lalu kami mencari tempat usaha untuk menjual produk frozen menjadi siap saji. Kami membuka rumah makan,” cerita Nuni tentang usaha restoran Asepan di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Selain siap berubah, ketahanan emosional diakui Nuni memang sangat penting. Nuni menerjemahkannya sebagai upaya untuk menjaga mood.
Dengan kedua anak sudah berusia remaja, apakah berarti Nuni lebih mudah menjalani usahanya?
“Tempat usaha kami baru ramai mulai sore sampai malam, kami baru pulang larut malam. Anak saya yang bungsu sekarang berumur 13 tahun. Awalnya dia tidak mau tidur sebelum saya pulang. Akibatnya dia sering bangun kesiangan dan terlambat ke sekolah. Setelah berjalan tiga tahun lebih, dia sudah lebih mandiri mengatur jadwalnya.”
Apa pun kondisi yang melatarbelakangi dibuatnya sebuah usaha, kenyataan bahwa banyak waktu tersita adalah hal penting disadari bagi mompreneur.
Kita juga bisa belajar dari perjuangan Christien Ismuranty (53). Tanpa latar belakang ilmu bisnis, 14 tahun silam Christien memulai usaha kudapan sehat Kainara karena dorongan untuk menolong anaknya yang berkebutuhan khusus.
Sebagai penyedia produk makanan bagi anak berkebutuhan khusus, Christien terpacu untuk terus belajar tentang ilmu gizi. Ia juga berkenalan dengan para petani di desa-desa yang kelak membantunya memasok bahan-bahan makanan yang sesuai kebutuhan bisnisnya.
Christien terus berinovasi dengan resep-resep makanan yang dapat dinikmati langsung oleh orang dengan kebutuhan khusus. Produknya meliputi olahan cake yang dapat dipesan jauh hari dan kue kering seperti rice cookies, saltines, kaastengels, shortbread yang bebas gluten, gula, maupun susu.
Menariknya, Christien awalnya sama sekali tidak dapat memasak. Kini, pasarnya hampir menjangkau seluruh Indonesia.
Ibu dari Zoe (23) dan Kay (18) ini menjelaskan, mentalitas itulah yang membuat Kainara tetap bertahan meski diterpa badai pandemi Covid-19.
Christien gencar memperkenalkan produknya di berbagai bazar, pameran, dan workshop, “Selain juga lewat website, Facebook, dan Instagram. Ya, menjadi pengusaha tidak boleh gaptek. Harus melek teknologi.”
Dengan mempekerjakan sejumlah orang pegawai, waktu Christien untuk anak-anak relatif lebih terjaga baik kualitas maupun kuantitasnya.
Senada dengan Nuni dan Christien, Didiet Mumpuni (56) mengatakan bahwa untuk menjadi pengusaha harus tekun, sabar, dan tidak mudah menyerah.
Tahun 2013, Didiet yang saat itu bekerja sebagai pramugari, memilih pensiun dini karena ingin fokus mengasuh Rafifa (27) putri tunggalnya yang saat itu masih remaja.
Didiet kemudian mencoba membuat aksesori dari kain perca—bisnis yang dinamai Adini Chic Art ini lahir sepuluh bulan lalu.
“Secara profit tidak sebesar Adini Pearl Stone, tapi misi saya adalah mengurangi sampah kain. Di masa pandemi orang tidak belanja perhiasan, saya coba berkreasi dengan kain perca untuk dijadikan bros, kalung, hiasan tas. Untuk Adini Chic Art saya sudah bekerja sama dengan desainer.”
Didiet memanfaatkan media sosial seperti Facebook dan Instagram untuk mempromosikan produknya, di samping juga bazar mancanegara yang diselenggarakan Departemen Luar Negeri dan ASEAN serta UMKM untuk kreasi kain perca.
Didit menyadari, Covid-19 berdampak pada turunnya daya beli peminat perhiasan. “Usaha mutiara agak menurun, saya mulai baking tiga tahun lalu,” ujar Didiet.
Seiring sang putri tumbuh dewasa, Didiet turut melibatkannya dalam bisnis, “Rafifa mulai tertarik untuk bisnis baking. Karena dia suka, dia ambil kursus cake dan pastry. Kami sudah berbisnis bersama dengan ikut bazaar dan open PO.”
Menjalani peran ganda sebagai ibu dan pengusaha seperti Nuni, Christien, dan Didiet memang penuh tantangan dan perjuangan. Sembari menyokong tumbuh kembang anak, perempuan-perempuan pengusaha ini dituntut untuk jeli melihat peluang, gigih berinovasi, dan kreatif demi mempertahankan keberlangsungan usaha.
Apa kamu tertarik mengikuti jejak mereka?
Penulis: Imma Rachmani
Editor: Sekar Kinasih