tirto.id - Apa jawabanmu jika ditanya tentang takaran atau standar perempuan sukses?
Salah satu pandangan yang beredar di masyarakat kerap mengaitkannya dengan kemampuan perempuan untuk menyeimbangkan karier dan kehidupan pribadi atau keluarga—populer disebut work-life balance.
Meski begitu, realitanya tak sesederhana itu—terutama menyangkut perempuan yang sudah berstatus ibu.
Jess Heagren, pendiri layanan daring untuk mendampingi ibu dalam mencari pekerjaan fleksibel, pada 2023 merilis laporan hasil survei terhadap 848 perempuan di Inggris.
Heagren mendapati 98 persen responden ingin kembali bekerja setelah anak-anak mereka sudah besar. Yang menarik, 85 persen responden mengaku sudah meninggalkan pekerjaannya yang bersifat penuh waktu dalam tiga tahun setelah melahirkan atau punya anak.
Kembali ke pekerjaan semula ternyata tak semudah itu. Hanya 24 persen ibu yang dapat kembali bekerja, sementara 57 persen lainnya tidak dapat kembali bekerja karena mengalami pemutusan hubungan kerja, gangguan kesehatan mental, dan kesulitan menjalani peran ganda.
Bagaimana dengan situasi di Indonesia?
Temuan oleh Neneng Goenadi dari perusahaan konsultan manajemen Accenture satu dekade silam menyebut sebanyak 86 persen perempuan di Indonesia sudah memiliki work-life balance.
Biro Pusat Statistik (BPS) mencatat, proposi perempuan Indonesia yang bekerja di level manajerial meningkat sejak 2015 dan mencapai puncak 2020 dengan proporsi 33,08 persen. Sayangnya, proporsi ini berkurang ke kisaran 32 persen pada 2021 dan 2022.
Menghadapi situasi demikian, perusahaan umumnya akan segera mencari tenaga kerja baru karena bisnis harus tetap berjalan.
“Tidak harus perempuan, bisa saja laki-laki. Karena rekrutmen merujuk pada kompetensi si calon pekerja untuk menempati posisinya. Sekarang ini sudah digiatkan kesetaraan gender. Jadi untuk posisi-posisi yang tinggi, yang kompleks, kalau dia kompeten, ya dia berhak menduduki jabatan itu. Tidak memandang gender,” papar Cherry yang kini bekerja di Talent Acquisition & Learning PT Pertamina Hulu Energi.
Lorin (47) adalah ibu dari seorang anak yang sudah kuliah. Sebelum menikah dan punya anak, Lorin adalah jurnalis di sebuah majalah. Ketika anaknya lahir pada tahun 2004, Lorin memutuskan untuk berhenti bekerja—cuti di luar tanggungan perusahaan (unpaid leave).
“Kami tinggal di apartemen yang hanya ada dua kamar, jadi tidak memungkinkan punya pengasuh,” ujar Lorin.
Ia kemudian menitipkan anaknya di daycare saat anaknya berusia dua tahun, dan kembali bekerja di kantor yang lama. Beruntung, posisi Lorin tidak digantikan.
Pertanyaannya, apakah setiap ibu seberuntung Lorin yang dapat bekerja lagi—di posisi sama—untuk melanjutkan mengembangkan kariernya?
“Sangat tergantung kondisi perusahaannya. Kalau kebetulan kursi yang dia duduki saat itu belum ditempati oleh pejabat lain, bisa saja si ibu kembali ke situ karena sewaktu resign itu memang sedang hamil dan ingin fokus pada keluarga. Bukan karena tertarik pada kompetitor atau perusahaan lain,” jelas Cherry.
Selain bertaruh dengan kesediaan posisi kerja lama, ibu yang ingin kembali berkarier juga masih harus “bertarung” dengan bias dalam proses seleksi.
Tahun lalu, platform pencarian kerja Indeed merilis hasil survei terhadap seribu ibu rumah tangga yang berusaha mencari kerja lagi.
Sebanyak 93 persen responden ternyata sudah mengantisipasi pandangan bias oleh rekruter, sementara 73 persen merasa sudah mengalami bias selama proses rekrutmen.
Para korban bias menganggap akar masalahnya adalah celah kosong dalam CV mereka. Sebagian merasa pengalamannya sebagai ibu rumah tangga disepelekan, sementara lainnya merasa kesulitan dapat kerja fleksibel.
Pakar bias gender Kim Elsesser, Ph.D. di Forbesmengutip temuan studi dari Stanford University bahwa rekruter punya kecenderungan 2,1 kali lipat lebih tinggi untuk memanggil kembali pelamar perempuan yang bukan ibu daripada yang sudah berstatus ibu meski kualifikasinya sama.
Tantangan bagi ibu yang kembali ingin bekerja juga mustahil dipisahkan dari kebijakan rekrutmen masing-masing perusahaan.
Psikolog Cherry menuturkan, ada perusahaan yang memberlakukan peraturan bahwa pekerja yang sudah pernah resign harus mengikuti prosedur rekrutmen dari awal apabila ingin kembali bekerja di sana.
“Dan tentu ada catatan tersendiri, kenapa pada waktu itu resign. Tergantung peraturan yang berlaku di masing-masing perusahaan,” ujar Cherry.
Di balik segudang tantangannya, ibu tentu selalu punya peluang untuk meneruskan karier lagi.
“Kalau ibu ingin kembali bekerja, dia harus mengejar kompetensi-kompetensi yang mungkin ketinggalan selama dia tidak bekerja. Dia harus dengan cepat mengejar dan mempelajari tantangan-tantangan di pekerjaannya sekarang ini seperti apa,” saran Cherry.
Cherry mengungkapkan, bidang pekerjaan yang bisa dimasuki ibu yang ingin kembali bekerja tentu perlu disesuaikan dengan kompetensi dan pengalamannya.
Ibu kembali bekerja juga diharapkan mau berkomitmen apabila ditugaskan ke luar kota dan mendapat support kuat dari keluarga.
Pekerjaan dengan waktu fleksibel dapat menjadi pilihan ibu apabila menghendaki anak-anak tetap memperoleh perhatian optimal.
“Sekarang ini kan sudah banyak pekerjaan yang dapat dilakukan secara work from home, yang penting tetap dapat berkomunikasi secara online dan hasil dari pekerjaannya tetap bisa bagus sesuai deadline. Tentu dengan tetap mengutamakan komitmen dan tanggung jawab dan disiplin dalam menyelesaikan pekerjaan tersebut,” pungkas Cherry yang juga ibu tiga anak.
Saran menarik juga disampaikan oleh Amanda Margia Wiranata, S.Psi, M.Si, Psikolog.
Menurut Amanda, alasan kembali bekerja akan mengarahkanmu kepada jenis atau bidang pekerjaan yang akan dicari. Apabila alasanmu bekerja karena faktor ekonomi, maka pilihan pekerjaan akan lebih fokus pada pekerjaan yang menghasilkan paling tinggi.
“Periksa kembali potensi, kompetensi, keterampilan yang sudah dimiliki. Bila perlu, ikuti pemeriksaan psikologis untuk mencari tahu gambaran kecerdasan dan minat yang kamu miliki,” saran Amanda.
Amanda mengingatkan pentingnya mempersiapkan pihak yang akan menjaga dan merawat anak-anak apabila kamu ingin kembali bekerja. Banyak hal yang harus dilakukan berkaitan dengan setiap keputusan yang kamu pilih.
“Soal skill apa yang harus ditambah, tentu berkaitan dengan pekerjaan yang kamu pilih, dan deskripsi tugas seperti apa yang harus dilakukan. Semakin kompleks deskripsi tugas, semakin jauh gap yang harus kamu capai,” pungkas Amanda.
Jadi, teruntuk kalian ibu-ibu yang perkasa, siapkah kembali bertualang di medan karier?
Penulis: Imma Rachmani
Editor: Sekar Kinasih