tirto.id - Para peneliti di dunia sudah lama menyimpulkan bahwa stres pada ibu mampu memengaruhi interaksi anak-orang tua dan gangguan kepribadian pada anak. Kondisi tersebut dapat terjadi karena ternyata otak ibu dan anak saling berkorelasi.
Jika ditanya aktivitas apa yang paling menguras energi dan menguji emosi, “mengasuh anak” mungkin jadi jawaban peringkat wahid dari para ibu. Apalagi ketika beban kerja domestik (plus pekerjaan kantor) masih lebih besar dibebankan pada perempuan.
Kondisi itu tak ayal membikin banyak perempuan mengalami stres pengasuhan sehingga kadang kala melampiaskannya pada anak. Perilaku kasar, seperti mencubit atau memukul anak—yang mestinya tidak dibenarkan, jadi punya rasionalisasi atas beban pengasuhan tersebut.
Mirisnya, stres pengasuhan pada ibu ternyata memiliki efek negatif jangka panjang terhadap “hubungan” ibu dan anak, termasuk juga sinkronisasi otak keduanya. Ya, meski sudah tidak berada di perut ibu, otak anak ternyata masih terus terhubung dengan otak ibunya.
Fakta tersebut dikemukakan oleh penelitian Nanyang Technological University Singapura (NTU Singapore). Para peneliti menganalisis aktivitas otak pada 31 pasang ibu dan anak berusia 3 tahun asal Singapura.
“Ibu dengan tingkat stres pengasuhan yang lebih tinggi punya sinkronisasi aktivitas otak yang lebih sedikit dengan anaknya,” tulis peneliti dalam laporan risetnya.
Sebelum memulai eksperimen, para ibu mengisi kuesioner untuk menentukan tingkat stres pengasuhan.Peneliti kemudian mengukur hubungan aktivasi otak berdasar tingkat konsentrasi darah di otak. Caranya, masing-masing pasangan ibu dan anak menggunakan “helm” yang saling terhubung.
Mereka lalu menonton bersama video animasi dari Brave, Peppa Pig, dan The Incredible. Si anak duduk di pangkuan ibunya dan “helm” koneksi akan merekam aktivitas otak kedua orang tersebut.
“Peneliti menganalisis otak bagian korteks prefrontal keduanya. Wilayah tersebut terkait dengan kemampuan memahami orang lain (empati),” kata peneliti.
Peneliti mengambil kesimpulan ketika aktivitas otak ibu dan anak di area otak yang sama secara umum terlihat mirip. Itu artinya terjadi sinkronisasi lebih besar dan keduanya memiliki keselarasan emosi satu sama lain.
Studi tersebut menunjukkanstres pengasuhan membuat komunikasi dan koneksi ibu-anak menjadi lemah. Peneliti berasumsi bahwa stres pengasuhan mengebiri kemampuan ibu untuk memahami anaknya.
“Ketidakmampuan untuk menghargai sudut pandang anak inilah yang mengurangi kualitas hubungan dan merusak hubungan ibu-anak dalam jangka panjang.”
Stres pengasuhan terjadi ketika tuntutan pengasuhan melebihi sumber daya dan sistem pendukung yang dimiliki ibu. Stres pengasuhan berlebihan menghalangi kepekaan ibu, membikin rasionalisasi pengasuhan kasar, serta berdampak negatif pada hubungan ibu-anak dalam jangka panjang.
Mengasuh Anak Balita Jauh Lebih Stres
Para ibu dituntut sempurna oleh lingkaran sosialnya. Namun dengan kehidupan yang kompleks, mereka jarang ataubahkan tak pernah mendapat celah waktu untuk berpikir dan memanjakan diri.
Maka tak perlu heran banyak perempuan jadi merasa kehilangan diri dan kehidupannya yang dulu ketika menjadi ibu.Mereka lalu menjadi lebih rentan mengalamistres dan gangguan psikologis lain. Lembaga konsultan analitis global Gallup pernah melakukan survei terkait fenomena itu pada 2012.
Dalam survei itu, Gallup mewawancarai lebih dari 60 ribu perempuan di Amerika terkait risiko gangguan mental akibat kerja pengasuhan anak di bawah 18 tahun. Gallup membagi para perempuan ini menjadi tiga kelompok: ibu rumah tangga, ibu pekerja, dan perempuan pekerja tanpa anak.
“Ibu rumah tangga yang melakukan kerja domestik penuh punya skor emosi marah, sedih, dan depresi lebih tinggi dari dua kelompok lain,” demikian tulis Gallup.
Urutan kelompok berdasar peringkat emosi tertinggi adalah ibu rumah tangga, ibu pekerja, dan perempuan pekerja tanpa anak. Kelompok ibu dengan anak di bawah 18 tahun cenderung jarang tersenyum, jarang tertawa, hanya merasakan sedikit bahagia, dan menganggap dirinya tidak berkembang.
Skor kecemasan pada ibu rumah tangga berada di 47 persen, berbanding 39 persen pada ibu pekerja, dan 37 persen pada perempuan pekerja tanpa anak.
Sementara itu, ada 54 persen ibu rumah tangga yang terdeteksi mengalami stres, berbanding 49 persen ibu pekerja, dan 48 persen perempuan pekerja tanpa anak.
Bahkan, survei lain oleh Harvard Medical School dan Universitas Michigan mengatakan bahwa 10 persen perempuan dengan anak di bawah usia 18 tahun terdeteksi mengalami gangguan depresi mayor.
Tim survei dari dua kampus itu juga mendapati temuan semakin kecil usia dan jumlah anak, maka peluang depresi pada ibu juga semakin besar.
Stres atau depresi pada ibu juga bukan berarti perempuan tak mau bersyukur atas anak yang lucu lagi pandai. Namun, rasa sayang dan letih pengasuhan adalah dua hal yang berbeda. Ibaratnya seperti bonus lemburan di tengah tumpukan pekerjaan. Perlu sistem pendukung yang baik untuk mengurai kerja-kerja letih tersebut.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi