tirto.id - Data kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) per 31 Januari 2023 mengungkap suspek campak sepanjang tahun 2022 meningkat 7 kali lipat dibandingkan periode yang sama di tahun 2021. Sementara, kasus campak konfirmasi laboratorium di tahun 2022 melesat tinggi 36 kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya.
Kasus di Aceh, Sumatera Barat, Riau, Jambi termasuk di urutan atas. Bahkan DKI Jakarta menempati urutan ke-6 dari kasus campak di tahun 2022.
Tahun 2023 dibuka dengan tingginya kasus campak di Papua Tengah, bahkan dari hasil pemeriksaan juga didapati 1 kasus konfirmasi rubella di Kabupaten Mimika.
Sebaran usia kasus suspek campak di Indonesia hingga saat ini tertinggi ada pada anak-anak, terutama usia balita, yakni 54%. Sebanyak 25% kasus terjadi pada anak yang lebih besar, usia 5-9 tahun.
Dibandingkan virus COVID-19 Omicron yang dikatakan sangat menular, virus campak ‘juaranya’, karena jauh lebih menular lagi. Satu penderita campak bisa menulari 17-18 orang di sekitarnya. Terinfeksi campak menjadi pembuka pintu bagi munculnya penyakit-penyakit lain, dan bahkan dampak komplikasinya bisa parah dan menyebabkan penderita meninggal dunia.
Walaupun sangat menular, campak bisa dicegah dengan imunisasi, bahkan pemerintah memberikan imunisasi ini gratis, salah satunya melalui Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN).
Sayangnya, karena masih ada orang tua yang memilih tidak memberikan vaksinasi anaknya akibat hoaks seputar vaksin, terlupa, dan sempat terkendala pandemi beberapa waktu lalu, maka banyak balita yang tidak mendapatkan vaksinasi ini.
Dr. dr. Anggraini Alam, SpA(K) atau akrab disapa dr. Anggi, dari Unit Kerja Koordinasi Infeksi dan Penyakit Tropik Ikatan Dokter Anak Indonesia menyayangkan merebaknya campak akibat cakupan rendah imunisasi. Karena campak sangat menular, maka proteksi atau cakupannya harus ke 95% dari targetnya, makin dekat ke 100% makin baik.
Bagaimana pun vaksinasi ini diperlukan karena kekebalan terhadap campak tidak semata didapatkan janin dari ibunya. “Penelitian menunjukkan bahwa proteksi atau daya tahan tubuh dari ibu ke janinnya tidak besar-besar amat. Oleh karena itu butuh diberikan vaksin rutin, yaitu setidaknya 1 dosis bisa memproteksi 70%, namun kalau 6 bulan kemudian diberikan lagi dosis keduanya, maka dia akan naik 90%,” jelas dr. Anggi.
Waspada Gejala dan Komplikasi Buruk Akibat Campak
Demam tinggi dan munculnya ruam-ruam merah di kulit adalah gejala yang tampak pada penderita campak. Jika tidak segera mendapat penanganan, bahaya komplikasi yang lebih buruk akan terjadi.
Sekira 7-9 dari 100 anak mengalami infeksi telinga yang mengancam anak kehilangan pendengaran. Delapan dari 100 pasien mengalami diare yang jika tidak segera ditangani bisa mengarah pada dehidrasi yang mengancam jiwa, dan 1-6 dari 100 pasien mengalami pneumonia.
Anak-anak penderita campak dengan kondisi gizi buruk dan kekurangan vitamin A dapat mengalami gangguan pada mata dan kebutaan. Ditemukan juga 1 dari 1000 pasien campak mengalami acute encephalitis, atau pembengkakan otak, yang bisa menyebabkan kejang demam, tuli, atau disabilitas mental. Komplikasi langka dan mematikan pada otak yang dikenal sebagai sabacute sclerosing juga menjadi ancaman.
Banyak pasien meninggal karena pneumonia akibat campak. “Campak bisa mengakibatkan infeksi pada paru. Walaupun (kasus kematian) terbanyak di dunia karena diare sampai dehidrasi berat. Karena gizi buruk, (campak) bisa langsung kena ke otak. Tapi, campak tidak pilih-pilih, anak gizi baik juga bisa terkena,” ungkap dr. Anggi.
Lebih jauh dr. Anggi membeberkan komplikasi campak yang sering kali terlupakan. Yakni, adanya kerusakan otak luas, disebut acute demyelinating encephalomyelitis (ADEM) terjadi pada 1 dari 1000 yang mengalami campak. Dalam beberapa hari sampai beberapa minggu, otaknya akan terkena, kerusakannya luas, dan meninggal.
Campak juga dapat menetap di otak, yang disebut measles inclusion body encephalitis (MIDE), dalam satu tahun (setelah mengalami campak). Biasanya terjadi pada anak-anak gizi buruk dan daya tahan tubuh jelek.
“Bedanya, pada kerusakan otak luas, anak dengan gizi baik juga bisa terkena. Sementara MIDE karena gizi buruk. Kondisinya memang kurang sehat, maka virus campak menetap di otak, dalam 1 tahun terjadi penurunan dari seluruh fungsi kepandaian dan perkembangannya, kejang-kejang, hilang kemampuan penglihatan dan pendengarannya, akhirnya koma, dan meninggal,” papar dr. Anggi.
Yang paling menakutkan, adalah subacute sclerosing panencephalitis (SSPE). Satu dari 10 ribu hingga 100 ribu yang kena campak, apakah dia gizi baik atau buruk, ada kemungkinan dia terkena SSPE dalam 5 tahun mendatang.
Dijelaskan dr. Anggi, “Virusnya menetap. Pada saat sekolah, awalnya anak bisa belajar seperti biasa. Lama-lama, kemampuan belajar dan mengingatnya menurun, muncul gerakan-gerakan yang tidak bisa dia tahan, kesadarannya makin turun, dan akhirnya meninggal. Dan, perlu diingat, semua ini belum ada obatnya.”
Jadi jangan bayangkan yang namanya campak hanya ruam-ruam biasa, kalaupun ada diare atau infeksi paru bisa diatasi di RS, tapi bahkan lebih dari 5 tahun kemudian anak bisa mengalami SSPE yang tidak ada obatnya, dan meninggal.
“Belum lagi bila terkena campak, daya tahan tubuh menjadi lupa semuanya terhadap antibodi yang sudah dia punya. Dan, sudah ada penelitiannya, anak-anak yang terkena campak amat sangat rentan selanjutnya untuk mengalami berbagai infeksi,” kata dr. Anggi.
Oleh karena itu IDAI mengeluarkan rekomendasi tata laksana campak. Dikatakan bahwa risiko tinggi campak berat adalah anak tidak pernah mendapat imunisasi campak, malnutrisi, usia di bawah 5 tahun, memiliki komorbid dan imunokompromais (misal leukemia, HIV), sedang dalam terapi imunosupresan, ditemukan keterlibatan mukosa luas seperti stomatis.
Yang menambah buruk risiko adalah tenaga medis tidak dapat memonitor perkembangan pasien dan pasien sulit menjangkau fasyankes, seperti yang terjadi di Papua Tengah.
Pengobatan campak bersifat suportif, yakni untuk mengatasi gejala-gejalanya, misal pemberian obat penurun demam dan tambahan cairan jika diare. Obat utamanya adalah vitamin A dosis tinggi. Gizi anak juga harus diperbaiki. Karena penyebabnya virus, maka tidak diberikan antibiotik.
Pemberian antibiotik pada anak-anak hanya untuk kasus tertentu, yakni anak berisiko mengalami campak berat yang tinggalnya sangat jauh dan tidak dapat dimonitor perkembangannya oleh tenaga kesehatan. Sangat penting dilakukan pemantauan ketat, yang tentu tidak mudah bagi anak-anak di daerah yang sulit dijangkau dan jauh dari fasyankes.
Mencegah tentu selalu lebih baik daripada terkena campak. Komplikasinya bisa bertahun-tahun dan berakibat fatal. Yang terpenting adalah bila anak mengalami demam ruam, segera bawa ke dokter untuk kemudian diambil spesimen serumnya untuk diperiksakan.
Difteri, Tak Kenal Maka Akibatnya Fatal
Penyakit difteri disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheria. Di Indonesia saat ini, kasus kematian akibat difteri juga meningkat. Tahun 2021 tercatat 25 orang, tahun 2022 naik menjadi 46 orang, dan data yang disampaikan dr. Anggi per 31 Januari 2023 sudah ada 11 kematian akibat difteri.
Lima provinsi yang dengan kasus difteri tertinggi dalam kurun 2022-2023 adalah Jawa Timur, Jawa Barat, Kalimantan Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Tapi yang paling buruk adalah kasus di Garut, 7 anak meninggal karena difteri. Dan, lagi-lagi semua ini fenomena gunung es, mungkin masih banyak kasus yang belum terungkap.
Banyak anak usia besar, 10-15 tahun ke atas yang terkena difteri. Namun demikian, kasus tertinggi, lebih dari 50% pasien difteri dari kelompok usia 1-9 tahun.
Gejala awal yang muncul adalah sakit tenggorok, lalu muncul selaput putih di sana. Untuk memastikan, begitu mengeluh sakit tenggorok, sebaiknya anak segera dibawa ke fasyankes, untuk diperiksa apakah ada lapisan putih di tenggorok yang mengarah difteri.
Dijuluki strangling angel for children, difteri memang mengerikan, karena angka kematiannya cukup tinggi. “Jika tidak diobati, kemungkinan sembuh 50-50. Diobati saja 1 dari 5 anak yang mengalami difteri meninggal. Untuk kasus di Garut, pasien tidak sempat diobati sehingga meninggal,” kata dr. Anggi.
Pada kondisi yang lebih berat, leher bisa membesar yang dinamakan bullneck. Anak juga tidak bisa bernapas secara natural gara-gara selaput putih yang menutup saluran napasnya, sehingga dokter akan melubangi leher anak agar ia mampu bernapas.
Sama dengan campak, difteri juga bisa berlanjut dengan komplikasi dan berakibat fatal. Racunnya bisa merangsek ke organ-organ tubuh lainnya dan menimbulkan gangguan, mencapai jantung, langit-langit, mata, ginjal, lambung, hati, bahkan menyebabkan anemia. Jika mengenai sistem saraf, anak bisa mengalami keluhan tidak bisa berjalan. Selanjutnya, bisa sampai beberapa bulan setelahnya anak masih memiliki keluhan-keluhan.
Untuk mematikan kumannya, pengobatan difteri salah satunya adalah pemberian antibiotik. Selain itu adalah pemberian Anti Difteri Serum (ADS). Sayangnya, antitoksin ini belum diproduksi di Indonesia. Jika persediaan langka, maka ini bisa menghambat pengobatan.
“Pengobatan untuk difteri memang bukan main. ADS masih harus didatangkan dari luar negeri. Belum lagi terapi-terapi komplikasi yang mahalnya bukan main. Jika mengenai jantung dan sampai harus menggunakan pacemaker (pacu jantung), hanya 1-2 pasien survive,” tegas dr. Anggi.
Penularan difteri cukup cepat, yakni kepada 6-7 orang di sekitarnya. Karena itu, penanganan bagi pasien difteri juga harus terpisah di ruang isolasi, dan dokter serta perawat yang menanganinya wajib mengenakan APD dan menjalankan protokol kesehatan ketat.
Untuk menghidari penyebaran lebih luas, jika seorang anak menjadi suspek difteri, maka harus dilakukan identifikasi kontak erat. Dokter juga akan memberikan obat untuk semua kontak erat selama 1 minggu.
Tak bisa dipungkiri, imunisasi menjadi pencegahan yang sangat penting bagi campak dan difteri. “Kalau ada 1 orang menolak imunisasi dan menjadi sakit, artinya dia bertanggung jawab kepada 6-7 lainnya (pada kasus difteri), dan 17-18 lainnya (pada campak),” kata dr. Anggi.
Betapa besar risiko yang harus ditanggung anak-anak jika tidak mendapatkan vaksinasi campak dan difteri yang menjadi haknya. Satu anak pun sesungguhnya tidak boleh mengalami penderitaan dan meninggal dunia akibat penyakit ini. Biaya pengobatan yang dikeluarkan orang tua juga tidak sedikit, bisa mencapai ratusan juta rupiah.
Jika sudah KLB, tentu negara harus mengeluarkan biaya penanganan yang sangat besar, karena harus dilakukan outbreak response immunization (imunisasi masal untuk seluruh masyarakat), yang mana untuk difteri, vaksinasinya harus diberikan sebanyak 3 kali.
Kita ingin anak-anak kita selalu sehat, bukan?
Penulis: Gracia Danarti
Editor: Lilin Rosa Santi