Menuju konten utama

Galak Soal Snack Anak? Menakar Batas Aman Camilan untuk Si Kecil

Tak perlu takut berlebihan perkara jajanan anak. Kuncinya, sikapi dengan bijak: bagaimana anak mengonsumsinya, kapan, dan berapa banyak.

Galak Soal Snack Anak? Menakar Batas Aman Camilan untuk Si Kecil
Header Diajeng Jajanan Anak. tirto.id/Quita

tirto.id - Momen Idulfitri baru saja usai, namun euforianya masih terasa di hati sebagian anak-anak.

Bagi mereka, Lebaran dan perayaan-perayaan hari besar lekat dengan memori menyenangkan.

Mereka menerima angpao, dibelikan baju baru, dan dapat kesempatan untuk menikmati makanan-makanan enak dan tentunya berbagai jajanan—dari olahan keripik, kue-kue kering, cokelat, sampai minuman manis dalam kemasan kotak atau botol.

Di tengah selebrasi itu semua, muncul pembahasan menarik tentang pentingnya mengawasi kandungan gizi jajanan untuk anak.

Beberapa waktu silam, seorang pemilik akun di platform X dihujani kritik oleh netizen gara-gara membagikan bingkisan ke anak-anak berisi berbagai jajanan ringan dalam kemasan. Menurut para netizen, isi bingkisannya tidak sehat untuk anak-anak.

Sebelum kita menilai suatu makanan itu sehat dan tidak sehat, penting untuk digali lagi, sebenarnya apa kriteria camilan yang sehat buat anak?

“Camilan adalah makanan selingan di antara waktu makan. Pilihannya boleh apa saja, tapi yang perlu jadi pertimbangan adalah; jumlahnya tidak banyak dan mengandung gizi yang baik,” jawab Dr. dr. Luciana Sutanto, MS, Sp.GK, Spesialis Gizi Klinik dari RS Mitra Kemayoran.

Apabila jajanan anak harus memenuhi kriteria itu, apa artinya makanan ringan dalam kemasan seperti yang dipersoalkan oleh para netizen tidak cocok untuk camilan anak?

“Untuk anak saya, Iin (6), makanan ringan dalam kemasan saya berikan untuk rekreasional,” ujar Lela (35), ibu bekerja yang memberikan makanan ringan dalam kemasan sejak Iin berusia tiga tahun.

Makanan kemasan Lela berikan selama berada perjalanan supaya ia tidak terlalu banyak membawa barang.

“Itupun tidak satu kemasan untuk dia sendiri. Misalnya keripik kentang ukuran satu tabung kecil kita makan bersama. Dalam perjalanan selama satu jam Iin hanya bisa makan enam keping,” lanjut Lela.

Untuk snack time buat Iin di rumah, Lela menyediakan buah potong, kue basah, jasuke, puding susu, toast, atau pasta.

Header Diajeng Jajanan Anak

Header Diajeng Jajanan Anak. foto/istockphoto

Lain halnya dengan Bebi. Bebi memiliki alasan tersendiri untuk melarang anak-anaknya mengonsumsi makanan ringan dalam kemasan.

“Makanan ringan kemasan banyak kandungan garamnya, tidak mengandung mikronutrien yang dibutuhkan untuk tumbuh kembang anak,” kata Bebi.

Dari usia nol sampai tiga tahun, anak Bebi betul-betul bebas dari makanan ringan kemasan. “Kalau biskuit boleh, terutama biskuit bayi. Minuman kemasan tidak boleh karena gulanya tinggi.”

Saat anak mulai masuk TK, ada teman yang berulang tahun di sekolah dan bagi-bagi bingkisan berisi makanan ringan. Mereka memakannya bersama-sama. Itu hal biasa.

“Anakku juga mencicipi jelly kemasan, itu boleh. Nggak dilarang sama sekali supaya nggak penasaran,” ujar Bebi yang biasa membuat makanan ringan sendiri. “Kalaupun beli, akan saya baca dulu informasi gizinya.”

Untuk mengajarkan anak memilih makanan yang benar, Bebi akan membaca dulu informasi gizi pada kemasan makanan ringan yang diperoleh dari bingkisan.

“Saya jelaskan ke anak-anak misalnya dia lagi batuk, nggak boleh makan ini karena terlalu manis. Saya batasi, jelly dia boleh makan sehari tiga kalau tidak batuk. Yang asin boleh nyicipi lima butir atau lima keping saja. So far 80 persen mereka taat, sisanya kalau terbawa teman-teman di sekolahnya dan sulit menolak.”

Bebi meneruskan, “Kalau dikasih teman dan tidak langsung dimakan, mereka akan bilang mau dimakan di rumah. Sampai di rumah mereka akan tanya, apakah ini boleh dimakan.”

Kandungan gizi pada jajanan anak turut menjadi perhatian pakar di belahan bumi lainnya.

Dikutip dari CNN, hasil riset Dr. Christine Mulligan dari University of Toronto pada 2023 menyatakan bahwa 6.000 makanan kemasan yang ditargetkan untuk anak-anak sangat tidak sehat dan kandungan gizinya buruk.

Bahkan, kandungannya berbeda dengan produk yang tidak ditargetkan untuk anak-anak. Jajanan untuk anak-anak justru mengandung kadar gula tinggi.

Makanan ringan dalam kemasan biasanya terbuat dari bahan-bahan yang lazim kita temui di dapur, seperti kentang, jagung, singkong, tempe, kacang-kacangan. Menariknya, mereka sudah melalui sederet tahapan panjang sampai akhirnya dapat dikategorikan sebagai ultra-processed food atau disingkat UPF.

“Yaitu makanan yang dibuat di pabrik, yang berasal dari makanan alami atau dibuat dari senyawa organik lainnya. Produk yang dirancang agar ekonomis, mudah atau praktis, dan disukai. Umumnya mengandung bahan tambahan pangan misalnya perisa, perasa, pewarna, dan pengawet,” papar Luciana.

Pertanyaannya, apakah makanan ringan hasil UPF ini berdampak buruk bagi kesehatan?

“Jika makanan tersebut sudah mendapat izin edar dari badan POM dan dikonsumsi sesuai kebutuhan, bisa kita simpulkan makanan itu aman,” jelas Luciana.

Header Diajeng Jajanan Anak

Header Diajeng Jajanan Anak. foto/IStokcphoto

Luciana juga mengingatkan orang tua yang biasa memilih atau membuat camilan sendiri untuk anak-anak. Bukan tidak mungkin kita terlena dengan camilan yang tinggi kalori.

“Seringnya memilih camilan yang tinggi kalori seperti cake, minuman manis, dan makanan yang digoreng tepung akan mengakibatkan obesitas pada jangka panjang,” kata Luciana.

Obesitas dapat memicu penyakit degeneratif seperti diabetes melitus, hipertensi, dan jantung.

Orang tua sebenarnya tak perlu takut berlebihan perkara camilan dan makanan ringan dalam kemasan untuk anak. Kuncinya, kita perlu menyikapi dengan bijak: bagaimana anak mengonsumsinya, kapan, dan berapa banyak.

Lela tidak merasa risau jika anaknya mendapat bingkisan berisi makanan ringan kemasan dari orang lain.

“Kalau yang ngasih sudah pergi, saya jelaskan ke Iin isi bingkisannya nggak bisa semua dimakan. Akan saya pilih. Kalau tulisan pada label kemasannya terlalu kecil dan nggak terbaca tidak akan saya pilih. Kalau pemberian dari keluarga biasanya mereka sudah tahu apa yang boleh,” kata Lela.

Luciana menambahkan, “Cek pada label makanannya, yaitu nama pangan olahan, berat bersih atau isi bersih, daftar bahan yang digunakan, nomor pendaftaran pangan, keterangan kadaluarsa, kode produksi, keterangan kandungan zat gizi, logo halal, dan petunjuk penyimpanan.”

Apabila kamu sebagai orang tua tak ingin memperkenalkan anak pada makanan ringan kemasan ini, tak masalah. “Tidak perlu diperkenalkan, tapi kalau anak meminta boleh mencicipi,” pungkas Luciana.

Pendeknya, kita tak perlu cemas berlebihan soal makanan ringan kemasan. Kendali masih ada pada orang tua sampai anak cukup dewasa untuk memutuskan sendiri apakah dia menghendaki makan makanan ringan dalam kemasan atau tidak.

Baca juga artikel terkait DIAJENG atau tulisan lainnya dari Imma Rachmani

tirto.id - Diajeng
Kontributor: Imma Rachmani
Penulis: Imma Rachmani
Editor: Sekar Kinasih