tirto.id - Prevalensi diabetes pada anak pada bulan Januari tahun 2023 sebanyak 2 dari 100.000 jiwa. Jumlah ini disebut-sebut meningkat sebesar 70 kali dibanding prevalensi pada tahun 2010 yang ‘hanya’ 0,028 per 100.000 jiwa.
Angka tertinggi berada pada rentang usia 10 sampai 14 tahun, yaitu sebesar 46,23 persen, yang tersebar di 13 kota di Indonesia. Demikian laporan yang diterima dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Sementara di rentang usia 5 sampai 9 tahun sebesar 31,05 persen. Jumlah tertinggi didominasi oleh anak perempuan, yaitu sebesar 59,3 persen.
Prof. Dr. dr. Aman Bakti Pulungan, Sp.A(K), FAAP, Profesor Kesehatan Anak ahli Endokrin anak, dalam sebuah wawancara yang diunggah di Instagram @amanpulungan mengungkap bahwa peningkatan prevalensi diabetes melitus ini termasuk diabetes tipe 1, tipe 2 dan diabetes pada bayi.
Diabetes tipe 1 adalah yang harus suntik insulin sedangkan diabetes tipe 2 berkaitan dengan gaya hidup, termasuk pola makan. Saat pandemi ketiga jenis diabetes ini meningkat. “Ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi juga di banyak negara,” kata Aman.
Diabetes melitus menjadi epidemiologi dunia. Di seluruh dunia orang mengkhawatirkan peningkatan kasus anak yang mengalami diabetes melitus.
Everyday Health, sebuah laman kesehatan mencatat, sejak tiga tahun lalu jumlah anak dan remaja yang mengalami diabetes melitus tipe 2 pun sudah mengalami peningkatan. Jumlah remaja usia 10 sampai 19 tahun di Amerika terus meningkat.
Saat ini peningkatan anak dan remaja diabetes melitus tipe 2 di Fiji sebanyak 0,1 per 100 ribu anak, Finlandia 37,4 per 100 ribu anak, Jepang, Tiongkok dan Korea kurang dari 5 per 100 ribu anak.
Selama bertahun-tahun kita semua tahu bahwa diabetes melitus tipe 2 adalah penyakit orang dewasa yang disebabkan oleh resistensi insulin, atau tubuh tidak dapat menghasilkan insulin karena tingginya gula darah, seperti dilansir dari National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease.
Resistensi insulin kerap terjadi pada masa pubertas, yaitu mulai usia 10 tahun hingga 19 tahun. Tubuh menjadi kurang peka terhadap insulin selama rentang usia tersebut; suatu rentang usia terjadinya perubahan metabolisme tubuh. Tetapi mengapa perubahan metabolisme tubuh membuat tubuh resisten terhadap insulin, belum ada penjelasannya.
Anak yang Dikondisikan
Berbeda dengan diabetes tipe 1, diabetes tipe 2 dipicu oleh gaya hidup. Gaya hidup tidak sehat disebut-sebut sebagai penyebabnya. Banyak orang menyalahkan gula semata-mata sebagai biang keladi diabetes melitus tipe 2. Dalam wawancaranya dengan CNN, Prof. Aman juga menyinggung soal pandemi Covid yang ikut berperan meningkatkan prevalensi diabetes melitus tipe 2 ini.
Kombinasi konsumsi makanan dan minuman tinggi kalori dengan kurang gerak, mengakibatkan anak-anak menjadi kegemukan bahkan sampai obesitas. Kegemukan dan obesitas inilah pemicu diabetes melitus tipe 2 pada anak-anak saat ini.
Selama masa pandemi covid-19 anak-anak tiba-tiba menjadi sangat kurang bergerak karena sekolah daring. Mereka tidak lagi berlari-larian atau main kejar-kejaran di sekolah. Setelah pelajaran sekolah selesai, mereka masih mengikuti les pelajaran tambahan, juga secara daring. Pelajaran olah raga yang dilakukan secara daring menjadi tidak efektif karena anak-anak kehilangan semangat.
Selama masa pandemi beberapa orang tua mengeluh, sekolah secara daring mengubah pola makan anak. Anak-anak menjadi lebih sering makan, sehingga mau tak mau orang tua menyediakan banyak makanan, atau anak jajan lewat aplikasi daring.
Pilihannya adalah minuman atau camilan tinggi kalori. Mereka yang sebelumnya punya jadwal berenang, latihan sepak bola, basket, gimnastik, otomatis terhenti. Bagaimana dengan anak-anak yang sebelumnya tidak punya jadwal berolahraga sama sekali? Perubahan pola makan tinggi kalori yang tidak diimbangi olahraga tentu meningkatkan risiko kegemukan, obesitas dan diabetes tipe 2 karena tidak ada kalori yang dibakar.
Dr. Michael Triangto, Sp.KO, dokter spesialis Kesehatan Olahraga tidak setuju bila disebut anak-anak malas bergerak. Ia melihat dari sisi lain meningkatnya angka kejadian diabetes tipe 2 ini.
Menurutnya, anak-anak bukannya malas, tetapi dikondisikan untuk kurang bergerak.
Banyak kasus anak-anak yang dibawa orang tua datang ke ruang prakteknya, Michael melihat adanya tekanan masyarakat yang lebih mementingkan pencapaian akademik. Anak-anak tidak diberi kesempatan untuk melakukan olah fisik. Belajar, belajar dan belajar saja supaya pintar, supaya menang dalam persaingan.
Mari kita ingat kembali, bagaimana perilaku belajar anak-anak kita mengalami perubahan selama pandemi.
“Trennya adalah menggunakan gadget untuk belajar. Gadget itu sekarang berfungsi banyak, apa saja ada di situ sehingga anak tidak bisa lepas. Mereka belajar dengan gadget. Mau tidak mau mereka lebih banyak di kursi daripada beraktivitas fisik. Ini konsekuensi tekanan masyarakat yang ingin anak pandai di bidang akademik saja. Padahal harus berimbang dengan aktivitas fisiknya,” ujar Michael.
Kita tidak boleh menutup mata adanya fakta bahwa tidak sedikit orang tua yang lebih mementingkan menambah jam belajar anak dengan memberinya les mata pelajaran ketimbang berolahraga. Semasa pandemi, les pelajaran tambahan pun dilakukan secara daring. Sehabis sekolah mereka masih mengikuti bimbingan belajar secara daring.
“Banyak les yang harus mereka jalani sampai tidak punya kesempatan untuk berolahraga. Bagaimana kita lalu mengatakan anak-anak malas bergerak? Orangtua gengsi kalau anaknya tidak sepandai anak tetangga,” kata Michael, yang selama masa pandemi - melalui berbagai kanal media mengedukasi para orang tua untuk memberi kesempatan bergerak bagi anak-anak, untuk tetap aktif secara fisik di rumah.
Menurutnya tidak ada alasan bagi orang tua untuk tidak mendorong anaknya berolahraga, sesempit apapun ukuran tempat tinggal mereka.
Di satu sisi orang tua tidak memberi kesempatan bergerak, di sisi lain orang tua mengeluhkan kenaikan berat badan anaknya yang berlebihan sampai obesitas.
“Kalau anaknya disarankan untuk berolahraga, orang tuanya mengatakan, mana sempat? Setelah sekolah anak-anak masih mengikuti pelajaran tambahan. Anak pulang sekolah masih ada les, makannya saja di mobil.”
Di masa ketika anak-anak sudah kembali sekolah tatap muka, menurut Michael, tetap saja waktu berolahraga di sekolah masih kurang. “Dulu ada Senam Kesegaran Jasmani di sekolah, lalu hilang.”
Menurut Medline Plus, gaya hidup kurang gerak atau sedentary lifestyle adalah gaya hidup banyak duduk, rebahan dan tidak berolahraga.
Gaya hidup seperti ini tentu bukan tanpa risiko. Dampaknya terhadap tubuh sangat merusak. Terlalu sedikit kalori yang dibakar, sehingga berat badan mudah naik. Otot melemah, massa otot kian berkurang.
Gaya hidup kurang bergerak dapat mengurangi mineral di dalam tulang sehingga kekuatan tulang berkurang. Dampaknya terhadap metabolisme tubuh adalah ketidakmampuan tubuh mengurai lemak dan gula.
Sederet dampak lainnya adalah sistem imun yang tidak bekerja, sirkulasi darah buruk, dan ketidakseimbangan hormon. Risikonya terhadap kesehatan tubuh sudah pasti buruk; kegemukan sampai obesitas, diabetes tipe 2, penyakit jantung, hipertensi, kolesterol tinggi, meningkatkan rasa cemas dan depresi, tulang keropos dan gangguan metabolik.
Kurang olah raga dengan pola makan tinggi kalori dapat mengakibatkan resistensi insulin.
“Kalau ada makanan masuk, kadar gula akan meningkat. Peningkatan gula diantisipasi oleh tubuh dengan menghasilkan insulin. Karena anak terus tumbuh dan makannya lebih banyak, maka kadar gulanya lebih tinggi, lalu tubuh meningkatkan produksi insulin. Karena terus menerus berkejaran, kelenjar pankreas tidak sanggup memenuhi kebutuhan yang ada,” jelas Michael.
Pembuluh darah, mata, saraf, ginjal dan sistem kardiovaskular adalah bagian tubuh yang paling terdampak ketika kadar gula terlalu banyak dan menetap lama di dalam darah. Komplikasi berupa serangan jantung, stroke, infeksi kaki yang berat dapat mengakibatkan amputasi, gagal ginjal stadium akhir serta disfungsi seksual, akan dialami.
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI mengungkap, dalam 10 sampai 15 tahun pada waktu terdiagnosis, prevalensi semua komplikasi diabetes meningkat tajam.
Bisa dibayangkan, bagaimana anak-anak dan remaja kita yang sekarang sudah terdiagnosis diabetes ini kelak memasuki dunia kerja. Produktivitas dan kualitas kerja seperti apa yang akan mereka hasilkan, dan berapa besar beban negara untuk pengobatan penyakit diabetes lewat BPJS Kesehatan.
“Untuk anak-anak yang kegemukan akan lebih sulit mencari kerja. Misalnya ada dua kandidat yang sama-sama pintar, tapi kalau yang satu obesitas, yang obesitas ini biasanya tidak dipilih. Karena dari segi penampilan juga kurang menarik,” ujar Michael.
Kenyataan ini memang pahit, namun terjadi. Oleh sebab itu, orang tua diharapkan bijaksana dalam mengukur kembali waktu gerak anak dalam kehidupan sehari-hari, sebagai bagian dalam mencegah obesitas dan juga diabetes pada anak.
Penulis: Imma Rachmani
Editor: Lilin Rosa Santi