tirto.id - Pukul 05.30. Matahari baru saja muncul. Sara, siswi kelas 1 SMA swasta di Jakarta Pusat, bergegas menuju halte bus Transjakarta. Sekolahnya cukup jauh, dan dia sudah harus tiba pukul 6.30, karena kelas dimulai pukul 06.50.
Di dalam bus, sudah ada beberapa anak sekolah juga. Sebagian dari sekolah negeri, jam masuk sekolah mereka lebih pagi lagi, pukul 06.30.
Di Indonesia, rata-rata jam sekolah, terutama sekolah negeri dan sebagian sekolah swasta, dimulai cukup pagi, antara pukul 06.30 dan 07.00.
Sara dan anak-anak di dalam bus itu sudah harus bangun setidaknya pukul 04.30. Walaupun sudah menjadi rutinitas, bangun pagi-pagi benar adalah perjuangan untuk mereka, dan tentu saja orang tua mereka.
Bisa dibayangkan, apa yang dialami anak-anak ketika harus lebih pagi lagi memulai aktivitas dan belajar di sekolah, seperti yang terjadi di Nusa Tenggara Timur beberapa waktu belakangan ini. Atas instruksi Gubernur NTT Viktor Laiskodat, jam masuk untuk SMA dan sederajat diubah menjadi pukul 5 pagi, yang kemudian direvisi menjadi 05.30.
Semudah itukah mengubah pola rutinitas anak demi alasan-alasan "mulia" seperti memupuk etos kerja, kedisiplinan, dan membangun sekolah unggulan? Apa saja dampaknya bagi anak-anak?
Imun Tubuh dan Tumbuh Kembang Anak Terganggu
Orang tua yang memiliki anak-anak usia sekolah pasti sepakat bahwa pagi hari kerap menjadi waktu penuh "pertarungan" bagi mereka. Butuh usaha dan kesabaran untuk membangunkan anak-anak mereka.
Semakin mereka besar, usia praremaja dan remaja, ‘pertarungan’ itu belum tentu usai. Bahkan, bisa jadi makin sulit. Saking sulitnya, tidak jarang orang tua sampai melabel anak-anak mereka pemalas, lelet (lamban), tidak punya motivasi belajar. Padahal, kalau ditilik dari sisi biologis dan psikologis, ada penjelasannya mengapa anak-anak perlu waktu tidur yang cukup dan kesulitan mereka bangun pagi-pagi buta.
Tidur memainkan peran penting dalam tumbuh kembang anak-anak hingga usia remaja, yang berpengaruh bagi kesehatan fisik maupun mental. Perkembangan otak dipengaruhi oleh kecukupan tidur.
Di awal-awal kehidupan bayi, tidur memiliki pengaruh penting bagi pertumbuhannya. Di dua tahun pertama, pertumbuhannya akan sangat pesat, yang didorong oleh 2 hal penting: makanan dan tidur. Ketika lapar dan lelah, mereka akan rewel, yang sama terjadi juga pada remaja. Selama pertumbuhan pesat mereka, anak-anak yang beranjak remaja tumbuh seperti batita. Mereka juga menghadapi pubertas, dan pertumbuhan massa otot serta kapasitas paru mereka juga meningkat. Semua itu membutuhkan tidur yang cukup selain makanan dengan gizi seimbang.
Prof. Dr. dr. Rini Sekartini, Sp.A(K), dokter spesialis anak dan ahli tumbuh kembang pediatri sosial, mengungkap bahwa tidur berfungsi untuk pemulihan fisik dan psikososial. “Anak akan lebih sehat karena tidur yang baik dapat meningkatkan sistem imun tubuh. Pada malam hari, terjadi pengeluaran hormon pertumbuhan secara maksimal, yang berperan dalam mengoptimalkan tinggi badan anak,” jelas Prof. Rini.
Mekanisme siklus tidur-bangun, lanjut Prof. Rini, melibatkan irama sirkadian, yakni proses internal dan alami yang mengatur siklus tidur-bangun. Daerah hipotalamus pada otak merupakan pusat pacemaker yang mengatur irama sirkadian, yang berulang tiap 24 jam. Irama spesifik ini dikoordinasikan oleh SCN (suprachiasmatic nuclei) berdasarkan input cahaya dari dunia luar selama siang hari dan oleh sekresi melatonin selama malam hari. Unsur lingkungan yang memengaruhi irama sirkadian adalah cahaya, suhu, stres dan aktivitas fisik, ketersediaan makanan, dan interaksi sosial.
“Irama sirkadian akan terbentuk baik bila pola tidur baik, setiap hari memiliki jam tidur pada malam hari yang sama, demikian pula dengan bangun tidur,” kata Prof. Rini.
Pada dasarnya, anak-anak memiliki kebutuhan tidur yang berbeda-beda dalam tiap fase usianya. Semakin besar, jumlah waktu tidurnya memang semakin berkurang. Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia di laman idai.org.id, jika bayi baru lahir butuh tidur total selama 16-20 jam, maka anak usia 0-1 tahun perlu 14-15 jam, 1-3 tahun selama 12 jam, prasekolah (3-6 tahun) perlu 12 jam, pertengahan masa anak-anak (6-12 tahun) perlu 10-11 jam, dan remaja (di atas 12 tahun) idealnya tidur setidaknya 9 jam.
“Kebutuhan tidur pada anak usia sekolah antara 8-11 jam pada malam hari. Tidur siang tidak diperlukan untuk anak usia 4 tahun ke atas,” jelas Prof. Rini.
Tidak hanya jumlah waktu, pola tidur biologis anak pun berubah seiring bertambahnya usia. Waktu tidur anak-anak praremaja dan remaja secara alamiah akan mundur menjadi lebih malam dan bangun lebih siang. “Anak remaja atau anak usia sekolah dasar, jam tidur malamnya semakin larut, sehingga untuk memenuhi kebutuhan jam tidurnya anak akan cenderung bangun terlambat pada pagi hari,” kata Prof. Rini.
Itulah mengapa anak-anak usia sekolah, remaja khususnya, banyak yang mengalami kesulitan untuk segera tidur sebelum pukul 11 malam dan tidak mudah bangkit dari tempat tidur di pagi hari.
Walaupun membutuhkan tidur cukup agar dapat berfungsi dengan baik, kenyataannya, banyak di antara mereka yang tidak memiliki kecukupan waktu tidur, dengan berbagai alasan: PR dan proyek sekolah semakin banyak, berkutat dengan gadget dan games. Apalagi jika anak suka mengasup minuman mengandung kafein, maka ini semakin mendukung pola tidur yang tidak baik.
“Bila kecukupan tidur malam hari berkurang, maka akan timbul dampak secara fisik. Pola makan berubah, asupan nutrisi berkurang, dan akan berdampak anak mudah terinfeksi karena rendahnya daya tahan tubuh,” jelas Prof. Rini.
Anak Tangguh, Anak yang Tercukupi Tidurnya
Selain fisik, kecukupan tidur juga berpengaruh pada kondisi psikologis seorang anak. Melansir kidshealth.org, tidur memengaruhi mood atau kebahagiaan seseorang, dan berbagai riset telah membuktikan bahwa tidur berkaitan dengan kewaspadaan dan fokus perhatian, performa kognitif, kekuatan daya lenting (resiliency), penerimaan kosakata baru, kemampuan belajar, dan daya ingat. Pada balita, tidur siang penting bagi konsolidasi memori, atensi untuk eksekusi, dan perkembangan keterampilan motor.
Bagi anak sekolah, kata Prof. Rini, kurang tidur pada malam hari, akan memengaruhi kondisi mental anak di pagi dan siang hari. Anak akan berkurang konsentrasi belajarnya, mudah marah, menjadi ceroboh, dan dampak jangka panjangnya dapat memengaruhi prestasi belajar.
Hal senada disampaikan pula oleh Hanlie Muliani, M. Psi, Psikolog Anak, Remaja dan Pendidikan, Founder of SOA (Psychological & Educational Support Consultant). Menurut Hanlie, kurang tidur akan berdampak pada fokus atensi anak, padahal ini adalah gerbang dari proses belajar dan bekerja. Fokus atensi termasuk dalam kemampuan fungsi eksekutif otak yang berkaitan dengan keterampilan hidup. Jika fungsi eksekutif otak tidak terampil, maka anak tidak bisa terampil menjalani hidup.
“Kalau tidak ada fokus dan atensi, tidak mungkin orang bisa belajar dan bekerja. Buntutnya, belajarnya berantakan, learning capacity anak menurun. Ini berhubungan dengan motivasi. Kalau tidak berperforma baik, akibatnya demotivasi. Jadi, akhirnya anak akan punya masalah perilaku, merembet ke mana-mana, hingga ke konsep diri, prestasi, dan hubungan dengan guru juga orang tua,” papar Hanlie, yang juga Co-Founder of School of ChiLD primary school.
Padahal, seorang anak perlu memiliki konsep diri yang baik. Karena tidak berperforma baik, dia merasa bodoh, apalagi ditambah komentar orang-orang sekitarnya yang perannya sangat signifikan untuknya, seperti guru dan orang tua, yang menganggapnya kurang usaha, tidak bisa fokus, bodoh, tidak sebaik anak lain atau saudaranya. Kepercayaan diri dan harga dirinya akan terhempas, lebih jauh lagi dia juga bisa mengalami trauma belajar, dan ini semua hulunya adalah karena tidur yang tidak cukup baik.
Dampak psikologis berikutnya adalah pada regulasi emosi, karena psychological wellbeing terganggu. “Pasti jadi ‘sumbu pendek’, gampang marah dan kesal,” kata Hanlie.
Karena itu, anak-anak praremaja dan remaja memerlukan tidur cukup untuk mempertahankan kestabilan mood, mendukung kesehatan mental yang positif, dan fokus di sekolah.
Salah satu sekolah yang mempertimbangkan pentingnya kebutuhan tidur dan kesiapan anak belajar di pagi hari adalah Sekolah Kembang di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Sekolah yang memiliki jenjang PAUD hingga SMP itu memulai jam belajar pada pukul 8 pagi.
Lestia Primayanti, Ketua Yayasan Pendidikan Kembang, mengungkap bahwa memulai jam sekolah lebih lambat ke pukul 8 dirasa tepat dari beberapa sisi. Ia mengatakan alasan pertama adalah lalu lintas tidak semacet kalau anak-anak masuk lebih pagi karena bersamaan dengan sekolah lain. Kedua, karena mengutamakan kenyamanan anak-anak, harapannya, anak-anak punya waktu untuk sarapan dan sudah benar-benar bangun.
Benefit ketiga yang tidak kalah penting adalah anak-anak masih punya waktu untuk bertemu dan ngobrol bersama orang tua. “Banyak orang tua mengatakan bisa ngobrol dengan anaknya sambil mengantarnya ke sekolah dan sarapan bersama-sama,” kata Lestia, ibu 2 anak ini.
Ia mengakui, dengan memundurkan jam masuk sekolah, anak-anak terlihat lebih siap, tidak tampak loyo, dan gembira. “Sebenarnya, risiko besar buat remaja jika jam masuk sekolah dimajukan terlalu pagi. Memaksa remaja kerja keras dengan banyak tugas lalu berharap etos kerjanya terbangun, itu hanya mitos, sih. Remaja sedang memerlukan kendali dalam hidupnya, karena dia sedang menumbuhkan identitas pribadi. Dia perlu banyak ruang untuk mengambil keputusan, ruang tanpa supervisi orang dewasa. Ini akan membantu mereka menjadi pribadi yang mandiri,” papar Lestia.
Semua orang butuh tidur cukup supaya bisa berfungsi optimal, apalagi anak-anak yang dalam masa pertumbuhan. Yang dikhawatirkan Lestia, dalam jangka panjang, selain mengganggu pertumbuhan dan kesehatan, anak juga jadi kehilangan kesempatan belajar tentang gaya hidup sehat jika dipaksa belajar terlalu pagi. “Sudahlah kurang tidur, tidak sarapan atau sarapan terburu-buru pula,” lanjut Lestia.
Hanlie pun berpendapat bahwa dengan masuk sekolah pukul 7-8 pagi pun etos kerja dan kedisiplinan anak-anak seperti yang didengung-dengungkan tetap bisa terbangun. “Ketika anak masuk sekolah pukul 8 pagi, semua tugasnya dikerjakan dan diserahkan tepat waktu, anak disiplin, tidak pernah terlambat masuk, tidak suka bolos, performance maksimal, apakah itu bukan etos kerja?” sergah Hanlie.
Ada banyak yang harus dipahami ketika mendidik atau membangun karakter anak, tidak semata memaksa mereka siaga di pagi buta. Perlu mempertimbangkan banyak aspek dan konteks.
Tentu, memupuk etos kerja, mentalitas, dan disiplin bisa dilakukan sejak dini sesuai kemampuan dan usia anak. Ketimbang menyuruh anak masuk sekolah pukul 5 pagi untuk alasan kedisiplinan, saran Hanlie, lebih baik mengajarkan anak membuat jadwal rutin dan tujuan harian mereka. “Bicara etos dan disiplin, untuk anak SMA, misalnya, bisa dengan membimbing mereka membuat goal harian, mingguan, bulanan, tahunan, dan bagaimana mereka membuat, mengatur, dan mencapai perencanaannya,” kata Hanlie.
Yang pasti, anak perlu rasa aman, nyaman, dan tenang saat akan belajar. Sementara, memaksa anak berangkat ke sekolah di pagi buta, hanya akan menimbulkan banyak kecemasan. Bermacam risiko dan potensi dampak negatif pun mengintai.
Hal ini pula yang menjadi kekhawatiran Plan Indonesia, satu LSM yang banyak mengerjakan program untuk anak dan perempuan di NTT. Diungkap Dini Widiastuti, Direktur Eksekutif Plan Indonesia, potensi dampak negatif itu termasuk meningkatnya risiko kekerasan, akses ke sekolah semakin sulit karena jarak yang jauh dan transportasi umum yang belum siap, gangguan kesehatan dan daya konsentrasi anak yang menurun sesuai laporan Kementerian Kesehatan, dan beban lebih besar bagi ibu atau pengasuh di rumah.
“Kami mengharapkan Pemerintah NTT melakukan kaji ulang dan evaluasi kebijakan ini dengan melibatkan berbagai pihak, khususnya anak-anak, karena kebijakan di bidang pendidikan akan sangat berdampak pada kehidupan anak-anak,” tutur Dini.
Jika anak dilingkupi perasaan tidak aman, takut, dan tidak nyaman sejak bangun pagi hingga ke sekolah, dampak buruknya pun akan panjang hingga ke masa depan. Tujuan menciptakan karakter unggul pun sulit tercapai.
Tahukah Anda, otak manusia akan mengerut dalam kondisi stres? Tentu kita tidak mau itu terjadi pada anak-anak kita, bukan?
Penulis: Gracia Danarti
Editor: Lilin Rosa Santi