tirto.id - Semua orang tua dan guru di dunia ini tentu mendambakan anak serta murid yang disiplin.
Sayangnya, masih banyak yang salah kaprah dalam menerapkan disiplin pada anak.
Masih lekat dalam ingatan kita semua tentang berita viral mengenai puluhan siswi SMA di Cianjur, Jawa Barat, yang menjalani tes urine untuk cek kehamilan.
Langkah ini dilakukan oleh pihak sekolah untuk memastikan apakah pelajar perempuan mereka hamil atau tidak saat kembali ke sekolah memasuki tahun ajaran baru atau setelah liburan.
Aksi yang viral di media sosial pada Januari lalu itu mendapat banyak kritikan, tak terkecuali dari pengamat pendidikan.
Banyak yang menilai bahwa pencegahan kehamilan dini tidak cukup dilakukan dengan meminta siswi melakukan tes urine, melainkan perlu edukasi menyeluruh yang dipersiapkan jauh-jauh hari dan dilakukan secara konsisten.
Aksi ini juga dinilai kurang tepat karena hanya menjadikan perempuan sebagai objek penyebab utama kehamilan dini. Padahal, laki-laki juga memiliki andil yang sama.
Di bagian lain, pun masih banyak siswa sekolah di berbagai daerah yang menerima hukuman "tidak relevan" dengan kesalahan mereka.
Alih-alih didisiplinkan dengan cara yang santun, anak-anak justru diberi hukuman fisik, seperti lari keliling lapangan hingga digunduli.
Memang betul, upaya yang dilakukan para pendidik di atas sebenarnya memiliki tujuan mulia untuk membuat anak jadi disiplin.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disiplin adalah ketaatan atau kepatuhan kepada peraturan dan tata tertib.
Kendati begitu, dari sekian banyak cara mendisiplinkan anak, berteriak dan memukul sering dipilih para orang tua dan pendidik sebagai "jalan pintas" tanpa memedulikan dampak psikologisnya untuk anak.
Padahal, terdapat cara lain untuk menerapkan disiplin yang lebih baik dan ramah terhadap anak, salah satunya disiplin positif. Penerapan disiplin yang satu ini juga tengah banyak diterapkan oleh orang tua milenial.
Melansir Parents, disiplin positif adalah cara pengasuhan yang berfokus pada kebaikan dan kepercayaan.
Menurut dokter anak yang juga penulis buku serial populer Baby 411 dan Toddler 411, Ari Brown, disiplin positif artinya menunjukkan rasa hormat, mendengarkan, menghargai perilaku baik, dan mengingatkan anak bahwa orang tua mencintai mereka sambil mengajarkan tentang yang benar dan yang keliru.
Disiplin positif disebut sebagai teknik afirmatif untuk membuat anak merasa dihormati dan dicintai. Pendekatan ini diharapkan dapat mendorong perilaku positif anak di masa mendatang.
Masih mengutip Parents, penulis seri Positive Discipline dan konselor pernikahan, keluarga, dan anak, Jane Nelsen, menuturkan, “Anak-anak tidak bisa belajar saat mereka merasa terancam.”
Nah, orang tua yang menerapkan disiplin positif cenderung tidak percaya pada hukuman verbal dan fisik untuk anak-anak karena cara-cara tersebut acap kali memicu rasa takut, ketidakpercayaan, dan harga diri yang rendah.
Sejumlah studi ilmiah telah meneliti tentang manfaat penerapan disiplin positif untuk anak dan orang tua.
Salah satu studi di Child Psychiatry & Human Development (2021) meneliti komunitas orang tua yang menghadiri workshop pengasuhan disiplin positif selama tujuh minggu.
Peneliti melakukan penilaian terhadap laporan dari pihak orang tua tentang stres pengasuhan, gaya pengasuhan, dan perilaku adaptif pada awal dan setelah tiga bulan.
Hasilnya mengungkapkan bahwa workshop disiplin positif dapat mengubah gaya pengasuhan dan berdampak positif pada anak-anak dari orang tua yang hadir.
Selain itu, kehadiran orang tua di workshop tersebut dapat dikaitkan dengan penurunan gaya pengasuhan otoriter, penurunan gaya pengasuhan permisif, dan penurunan stres orang tua.
Pada akhirnya, temuan tersebut juga dapat dikaitkan dengan peningkatan kompetensi akademis anak dan perilaku hiperaktif.
Penerapan disiplin pada anak dan remaja memang tak bisa dilakukan secara instan, apalagi menggunakan kekerasan.
Psikolog Anak dan Keluarga RSK Jiwa Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Mira Damayanti Amir, S.Psi., Psikolog, menjelaskan bahwa dalam menerapkan disiplin positif, hal pertama yang harus dilakukan orang tua atau pendidik adalah menentukan tujuan.
Tujuan ini, kata Mira, ditetapkan untuk mencegah cara-cara yang keliru seperti kekerasan dalam membangun kedisiplinan anak.
"Itu perlu ditetapkan sehingga jangan sampai kejadian [buruk], tujuannya apa, caranya bagaimana. Apakah cara yang ditempuh tidak valid atau ibaratnya seperti peribahasa jauh panggang dari api," papar Mira.
Kedua, Mira mengingatkan pentingnya kesabaran dan konsistensi orang tua dan pendidik dalam membangun dan menerapkan disiplin pada anak.
Namun ini tentu bergantung pada kondisi dan situasi anak yang berbeda-beda.
"Pendisiplinan pembentukan perilaku itu bukan seperti kita membangun Candi Roro Jonggrang dalam semalam, itu tidak bisa."
Mira mencontohkan upaya orang tua yang ingin membiasakan anak laki-lakinya untuk salat berjemaah di masjid.
Apabila orang tua konsisten selama 21 hari mengupayakan tujuan, maka akan terbentuk anak yang disiplin untuk salat di masjid.
"Tapi apabila tiba-tiba sanak saudara datang ke rumah dan akhirnya jadi salat di rumah. [Rutinitas salat di masjid] itu perlu diulang lagi dari awal," tegasnya.
Oleh karena itu, dengan kondisi anak dan lingkungan yang berbeda-beda, Mira meminta orang dewasa—orang tua dan guru—untuk bersabar dalam membiasakan disiplin pada anak.
Ketiga, Mira menegaskan pentingnya untuk menerapkan disiplin pada anak sedini mungkin, bukan saat anak sudah mulai besar dan timbul masalah.
"Kenapa? Salah satunya karena otak anak-anak cenderung lebih lentur dibandingkan ketika mereka sudah dewasa. Selain itu, belum ada hal-hal lain yang men-distract mereka—pengaruh teman atau media, misalnya," papar Mira.
"Banyak orang tua yang terlambat menyadari bahwa disiplin ini ternyata mesti dipupuk sedari kecil," imbuhnya.
Jadi, sebelum terlambat, ayo mulai kita coba terapkan disiplin pada anak sedini mungkin. Dan ingat, lupakan cara yang instan. Kuncinya, tetap sabar dan konsisten. Setuju?
Penulis: Putri Annisa
Editor: Sekar Kinasih