Menuju konten utama

Mengurai Perfeksionisme: Luka Lama, Harapan, dan Penerimaan Diri

Layaknya pedang bermata dua, perfeksionisme dapat memotivasi kita untuk mencapai tujuan. Di sisi lain, ada beban emosional dan kecemasan yang menghantui.

Mengurai Perfeksionisme: Luka Lama, Harapan, dan Penerimaan Diri
Header DIajeng Perfeksionisme. tirto.id/Quita

tirto.id - Bekerja dengan orang perfeksionis terkadang membuat Nova (35) merasa cepat lelah.

"Ada anggota tim di kantor yang sebenarnya pekerjaannya cemerlang dan teliti, tapi dia sering menunda-nunda pekerjaan dan setor pekerjaan setelah deadline. Itu mengganggu pekerjaan orang lain. Sayalah yang kemudian sibuk mengingatkannya," jelas Nova.

Sementara itu, Indah (36) mengamati bahwa kolega kantornya yang perfeksionis ternyata sangat temperamental.

"Dia curhat terus kalau pekerjaan anak buahnya kurang memenuhi standarnya karena dia selalu set patokan tinggi. Bukan hanya di kantor. Pernah, waktu kami makan di restoran, dia marah besar hanya karena pelayan lupa memberinya sumpit. Padahal dia tinggal minta ke kasir—tidak perlu sampai marah-marah," jelas Indah.

William Hwang, Psy.D dalam artikelnya di Psychology Today menjelaskan perfeksionisme sebagai "kecenderungan untuk menetapkan standar yang terlalu tinggi pada diri sendiri tanpa toleransi yang rendah pada kesalahan—bersikap keras dan kritis pada diri sendiri ketika akhirnya gagal memenuhi standar tersebut".

Orang-orang yang perfeksionis, melansir penjelasan Hwang, biasanya akan kesulitan untuk memulai mengerjakan sesuatu karena sudah telanjur takut atau khawatir menghadapi kegagalan.

Mereka pun berpotensi terjun bebas ke dalam jurang rumination—merenungkan kekurangan dan kesalahan sepele—sehingga sulit merasa puas atau bahagia dengan momen-momen sederhana dalam kehidupan.

Senada disampaikan oleh Arida Nuralita, S.Psi, MA., Psikolog dari RS Jogja International Hospital (JIH) Surakarta.

"Perfeksionis cenderung harus memiliki hidup sempurna. Mereka menetapkan standar tinggi buat diri sendiri atau buat orang lain, tidak mudah puas dengan pencapaian yang sudah diraih."

Lebih lanjut, Arida menjelaskan bahwa perfeksionisme disebabkan oleh berbagai faktor.

"Faktor bawaan masa lalu sangat berpengaruh. Ekspektasi keluarga terlalu tinggi, misalnya. Orang yang tumbuh di keluarga yang menuntut kesempurnaan, harus berprestasi dan lainnya, mereka akan dikritik jika mengalami kegagalan atau kesalahan. Selain itu, bisa jadi ada pengabaian emosional ketika mereka meraih capaian kecil, tetapi tidak diapresiasi. Hal ini dapat membuat mereka trauma karena dituntut selalu sempurna."

Kembali melansir artikel Hwang, perfeksionisme acap kali mengakar kuat sedari tahun-tahun pembentukan diri seseorang.

Satu penelitian pada 2019 berhasil mengidentifikasi korelasi antara perfeksionisme dan pengalaman buruk di masa kanak-kanak.

"Ketika kalian tumbuh besar di lingkungan masa kecil yang kacau, berbahaya, atau penuh tekanan, kalian dapat mengembangkan kebutuhan yang kuat akan kepastian, keamanan, dan kendali. Berusaha melakukan segala hal dengan sempurna bisa jadi berfungsi sebagai mekanisme penanggulangan untuk mencoba mempertahankan agensi dan rasa aman di dunia,” demikian tulis Hwang.

Pada contoh kasus lainnya, perfeksionisme dapat pula dikaitkan dengan cara pengasuhan orang tua yang disebut "toughlove” atau “disiplin."

Menurut riset terhadap anak usia mahasiswa, harapan tinggi dan kritik dari orang tua berasosiasi dengan tingkat perfeksionisme mereka yang tinggi pula. Dalam hal ini, perfeksionisme sering berkembang menjadi strategi agar terhindar dari kritik.

Lebih jauh tentang trauma masa kecil dan perfeksionisme dipaparkan oleh Kaytee Gillis, LCSW.

Gillis menegaskan dalam tulisannya di Psychology Today, perfeksionisme kerap muncul sebagai mekanisme penanggulangan terhadap rasa malu akibat trauma masa kecil.

Rasa malu tersebut bisa berakar dari perasaan takut akan kegagalan atau ditinggalkan oleh orang-orang terdekat.

Maka dari itulah, menjadi perfeksionis perlu dimengerti sebagai upaya seseorang untuk merengkuh kembali rasa kendali dan keamanan di lingkungannya.

Nah, yang perlu diwaspadai dari perfeksionisme adalah potensi untuk mengalami stres, kecemasan, atau kritik diri (self-critic).

Melansir Very Well Mind, beberapa ciri orang perfeksionis, selain super kritis terhadap diri sendiri, adalah cenderung menetapkan tujuan yang tidak realistis, suka fokus pada hasil saja, dan mudah down karena keinginan tidak tercapai.

Selain itu, mereka sering menunda-nunda pekerjaan karena takut gagal. Mereka juga cenderung defensif, selalu membela diri setiap menerima saran atau kritik yang konstruktif.

Pada akhirnya, kebiasaan kritis terhadap diri sendiri membuat kepercayaan diri orang yang perfeksionis merosot.

Karakter yang kritis dan kaku ini pun kerap menjadikan mereka mudah merasa kesepian, dan pada waktu sama, dijauhi orang lain.

Apabila kamu menyadari dirimu adalah orang yang perfeksionis, kamu perlu belajar mengelola diri agar tidak kewalahan oleh ekspektasimu sendiri.

Menurut Arida, langkah pertama yang dapat dilakukan adalah berlatih menetapkan batasan dan tujuan yang lebih realistis.

"Terbaik bukan berarti melebihi capaian orang lain, karena capaian setiap orang berbeda-beda. Cobalah menjadi lebih realitis pada diri sendiri atau orang lain."

Selain itu, seorang perfeksionis perlu belajar menerima ketidaksempurnaan.

"Sadari bahwa kesalahan itu proses belajar, kemajuan kecil harus diapresiasi oleh diri sendiri," jelasnya.

Arida menambahkan, "Beri jeda buat diri sendiri. Perfeksionis, yang biasanya juga workaholic, cenderung tidak akan berhenti sampai tujuannya tercapai. Mereka akan mengoreksi diri terus menerus. Maka, berilah jeda pada otak, pikiran, dan tenaga untuk istirahat agar tidak mengalami kelelahan mental."

"Siapkan ruang untuk gagal, karena kegagalan bisa menjadi kesempatan diri untuk tumbuh dan berkembang,” kata Arida.

Melansir situs layanan psikologi dari Maple Canyon Therapy, terdapat beberapa langkah lain yang dapat dilakukan untuk mengelola diri dengan kepribadian perfeksionis.

Salah satunya adalah melatih self-compassion, memperlakukan diri sendiri dengan penuh kebaikan dan pengertian sebagaimana diri sendiri memperlakukan teman yang disayangi.

Selain itu, usahakan untuk memprioritaskan self-care dengan mencoba lebih relaks dan menikmati hal-hal yang dapat membantu mengurangi stres.

Upaya lainnya adalah membiasakan istirahat dan tidur cukup, berlatih pernapasan, berolahraga secara teratur, dan konsumsi makanan dengan gizi seimbang.

Jika ada teman atau keluarga yang perfeksionis, bagaimana kita menyikapinya?

Saran Arida, hindarilah memberikan kritik yang berlebihan dan tidak membangun karena mereka sudah cukup banyak mengkritik diri sendiri.

"Sebaiknya, beri dukungan emosional, jadilah seseorang yang mendengarkan, berilah sudut pandang dan perspektif lain yang lebih luas. Bantu mereka untuk mensyukuri capaian yang sudah mereka raih," pungkas Arida.

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Daria Rani Gumulya

tirto.id - Diajeng
Kontributor: Daria Rani Gumulya
Penulis: Daria Rani Gumulya
Editor: Sekar Kinasih