tirto.id - Perasaan sedih biasanya disertai dengan pemikiran yang berujung pada kerugian pada diri sendiri.
Anak-anak yang mengalami situasi tidak menyenangkan mudah terjebak pada pikiran-pikiran negatif, seperti ‘aku nggak disayang’, ‘nggak ada yang suka sama aku’, ‘semua jadi kacau gara-gara aku’ ‘aku memang anak nakal’. Lalu ia akan diam, menyendiri dan tidak mau diajak bicara.
Sebaliknya, perasaan bahagia biasanya disertai dengan pikiran positif, motivasi, senyum, lalu anak akan pergi mencari teman untuk bermain bersama.
Jebakan pikiran negatif sulit dihindari.
Ketika anak diingatkan untuk tidak mengoprek ponsel ibu, ketika anak dilarang bicara kasar, dimarahi karena merendam Ipad di dalam air - mereka mudah terjebak dalam pikiran negatif. ‘Aku anak nakal, tidak patut disayang’. ‘Aku anak bodoh, pantas kalau mama selalu marahi aku.’
Ibarat refrain sebuah lagu yang dinyanyikan berulang kali, mengucapkan sesuatu secara terus menerus - baik atau buruk - akan tertanam di dalam pikiran. Kemudian menjadi bagian dari suara di dalam diri dan membentuk sebuah keyakinan.
Itu sebabnya, afirmasi positif penting diajarkan kepada anak-anak, juga di usia mereka yang masih balita.
“Mengajarkan afirmasi positif kepada balita itu baik, karena kita mengajarkan kepada anak bahwa kehadiran dia itu diinginkan, dia disayang dan dia berharga. Apalagi sampai usia lima tahun itu golden age, kemampuan bicara dan berpikirnya sedang berkembang pesat,” kata Nessi Purnomo, MSi, psikolog yang berpraktek di Unit Konsultasi Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Berpikir Positif untuk Mengubah Cara Pandang
Berpikir positif tidak muncul secara alami pada diri anak. Padahal berpikir positif itu penting bagi kesehatan dan untuk membangun ketangguhan mereka.
Berpikir positif ini juga menjadi kunci bagi munculnya afirmasi positif, yaitu ‘mantra’ yang menjadi alat penting bagi anak untuk mendukung diri sendiri. Melalui afirmasi positif, anak membantu dirinya mengembangkan kesadaran diri yang sehat serta pola pikir mental-sosial-emosional yang positif.
Afirmasi positif dapat diucapkan oleh anak sesederhana ‘aku pasti bisa’, ‘aku kuat’. Ketika anak mengucapkan mantra disertai dengan membayangkan diri sendiri seperti yang dia nyatakan, lama kelamaan pernyataan tersebut akan menjadi keyakinan.
“Hanya saja yang perlu diingat, afirmasi itu tidak hanya dilakukan secara lisan tetapi harus diikuti dengan perilaku yang sesuai."
"Kalau kita mengatakan bahwa dia itu berharga, kita juga harus memperlakukan dia sebagai orang yang memang berharga. Contohnya ketika dia memberikan pendapat, kita harus dengarkan, tidak memotong apa yang dia katakan. Meski kita tidak setuju, kita tetap menunggu sampai dia selesai bicara. Itu menunjukkan bahwa dia berharga."
"Ketika dia melakukan kesalahan, tidak serta merta menyalahkan tapi mendengarkan penjelasannya. Selain itu juga kita memberikan sentuhan fisik yang sesuai. Misalnya anak takut, kita peluk dalam tataran wajar,” papar Nessi, yang juga berpraktek di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta.
Martin Taylor penulis artikel “What to Know About Positive Affirmation” dalam WebMD menyebut, afirmasi positif bertujuan untuk membantu mengatasi pikiran negatif yang membuat seseorang meragukan diri sendiri. Melakukan afirmasi positif setiap hari dapat meminimalkan hal negatif dan membantu seseorang melihat diri secara positif.
Tapi orang tua juga perlu paham bahwa mengucapkan ‘mantra’ positif bukan sekadar mengulang-ulang kalimat-kalimat positif yang sama setiap hari.
Kata Taylor, melakukan afirmasi positif berarti menggantikan pikiran negatif dengan self talk positif. Itu sebabnya orang tua juga harus paham kapan anak diajak untuk mengucapkan ‘mantra’ agar tepat guna.
Sedih Itu Normal, Meski Ada Batasnya
Belum lama ini jagad maya diramaikan oleh sebuah unggahan tentang balita berusia dua tahun yang dituntun oleh ibunya untuk melakukan afirmasi positif untuk mengatasi rasa sedih dan sakitnya akibat jarinya terjepit.
Dalam unggahan itu, tampak seorang anak berusia dua tahun sedang dituntun oleh ibunya yang bernama Shelbee Haderer asal Oklahoma untuk mengucapkan kalimat ‘Saya baik-baik saja. Saya kuat. Saya cantik. Saya dicintai. Saya layak.’ Dalam unggahan itu, gadis cilik berusia dua tahun itu ingin menangis karena tangannya terjepit.
Tidak diceritakan dalam unggahan itu, apakah tangan si anak yang terjepit sudah ditangani. Apakah rasa sakit di jarinya dan perasaan sedih yang dirasakannya sudah sempat mendapatkan validasi dari orang tuanya, sehingga unggahan itu pun memunculkan sikap pro dan kontra pada para warganet. Ada yang mengatakan si anak tidak mendapatkan validasi emosinya.
Kristalyn Salters-Pedneault Ph.D dalam artikelnya “What Is Emotional Validation” mendefinisikan validasi emosi sebagai proses belajar tentang, memahami, dan penerimaan terhadap ekspresi pengalaman perasaan orang lain - dalam kasus ini validasi ibu terhadap emosi anaknya. Bahwa perasaan anak sedih karena kesakitan adalah valid, dialami dan dirasakan oleh anak.
“Apa yang dilakukan oleh Shelbee Haderer sebagai ibu itu hal baik. Artinya anak diajak untuk menyadari apa yang terjadi. Jari saya terjepit. Tapi kemudian saya tidak reaktif terhadap kejadian yang saya alami. Anak diajak untuk menenangkan diri terlebih dahulu, dan salah satu yang bisa membuat dia tenang itu adalah dia dicintai, dia anak baik, cantik, berharga. Itu membuat anak menjadi tenang,” kata Nessi.
Lalu kalau sudah tenang bagaimana? Menurut Nessi, hal berikutnya yang harus dilakukan adalah membahas apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang dialami oleh anak yang membuatnya merasa sakit.
“Bagaimana kejadiannya sampai terjepit? Pada kasus anak Shelbee sepertinya tidak diberi kesempatan untuk menangis. Memberi kesempatan anak untuk menangis itu nggak apa-apa. Hanya saja kalau anak sudah menangis memang biasanya sulit berhenti. Padahal menangis itu juga terkadang diperlukan. Di sini memang tricky."
"Di sini kita mengajarkan bahwa hal pertama yang harus dilakukan adalah mencari pertolongan. Setelah anak tenang, kita tanya, di mana yang sakit? Kemudian kita carikan obat, pertolongan yang secara objektif dapat mengurangi rasa sakit atau menyembuhkan bila memang ada luka. Sebetulnya mengajarkan dia untuk menenangkan diri lewat afirmasi positif itu juga mengajarkan dia untuk berpikir pertolongan apa yang dia perlukan,” papar Nessi.
Jebakan Toxic Positivity
Saat anak menghadapi kesulitan, penting bagi orang tua untuk memvalidasi perasaannya dan membantu mereka berpikir positif agar mereka dapat mengatasi perasaannya.
Kristalyn Salters menyatakan, validasi perasaan ini bisa dari orang lain, bisa juga dari dalam diri anak. Penting bagi kita - para orang tua - untuk membantu anak melihat hal-hal positif termasuk hal positif pada orang lain di sekitarnya. Ini penting agar anak dapat mengelola dirinya sendiri.
Orang tua yang dibesarkan dalam lingkungan yang cenderung mengabaikan perasaan negatif, biasanya akan mengasuh anak dengan cara yang sama pula; hanya mau menerima perasaan positif.
Sarah Regan dalam artikelnya “What Is Toxic Positivity? A Deep Dive Into Why You Should Avoid It” dalam laman mindbodygreen mengingatkan kita bahwa melihat segala sesuatu dari sisi positif itu tidak salah. Tetapi ada titik di mana yang sering disebut berpikir positif itu sebetulnya racun, yang disebut toxic positivity.
Toxic positivity adalah pandangan positif terus menerus sehingga emosi buruk disangkal.
“Ini adalah sebuah keyakinan bahwa betapa menyakitkannya situasi atau betapa sulitnya kondisi, kita harus tetap menjaga kepositifan dan mengubah pandangan menjadi bahagia atau bersyukur,” ucap psikoterapis Babita Spinelli yang dikutip oleh Regan.
Toxic positivity muncul dari harapan kita untuk tidak merasakan apa yang sedang kita rasakan. Karena tidak nyaman dengan perasaan yang negatif itu, kita ingin merasakan yang berbeda dengan menegur diri kita sendiri. Jika dilakukan terus menerus akan membuat perasaan kita tidak valid. Demikian penjelasan Regan yang dia kutip dari Jody Kemerer LCSW seorang terapis.
“Supaya tidak menjadi toxic positivity, kita berikan kesempatan pada anak untuk mengekspresikan apa yang dia rasakan. Sebab apa yang sedang saya alami ini memang membuat saya sedih. Boleh saja bahwa kamu sedih, lelah, itu nggak apa-apa. Di saat yang sama saya tetap merasa diri saya berharga, saya cantik, saya bahagia, itu untuk menyeimbangkan,” kata Nessi.
Nessi menegaskan agar kita mengajarkan anak untuk berimbang terhadap apa yang kita rasakan.
“Tidak hanya yang positif yang boleh kita rasakan, tetapi emosi-emosi negatif juga boleh kita rasakan sehingga ia menjadi genuin terhadap yang ia rasakan dan dia lebih bisa menerima apa yang dia rasakan, dan dia menjadi tahu apa yang harus dia lakukan terkait dengan apa yang dia rasakan,” pungkas Nessi.
Penulis: Imma Rachmani
Editor: Lilin Rosa Santi