Menuju konten utama

Mengasuh Anak Jadi Bahagia dengan Mengenalkan Rasa Kecewa

Rasa kecewa dan tidak bahagia dibutuhkan anak untuk menjadi bahagia. Anak butuh rasa kecewa untuk membuatnya tangguh.

Mengasuh Anak Jadi Bahagia dengan Mengenalkan Rasa Kecewa
Ilustrasi suasana hati. foto/istockphoto

tirto.id - “Kunci mengasuh anak bahagia adalah dengan mengizinkan mereka untuk tidak bahagia. Seperti bertentangan, tapi ini efektif,” kata Tovah P. Klein, dalam sebuah artikel berjudul "The Key to Raising a Happy Child is to Allow Them Unhappy". Tovah Klein adalah Direktur dan Pengajar di Barnard College Center for Toddler Development.

Amy Morin, LCSW penulis "How to Raise Happy Kids to Success in Life" menyatakan hal yang sama. Amy Morin adalah penulis buku-buku best seller, psikoterapis dan pengajar di Northeastern University, Boston.

Ia menyatakan bahwa memberikan kepada anak kehidupan yang sehat dan bahagia berarti menyiapkan mereka untuk meraih kesuksesan di masa mendatang. Tapi mengasuh anak bahagia itu bukan soal memberi mereka kesenangan dan memberinya kepuasan setiap saat. Sebab pada kenyataannya, seringkali justru kebalikannya.

Menurut Amy anak yang bahagia adalah anak yang punya keterampilan yang memungkinkan mereka menikmati kebahagiaan jangka panjang.

Anak yang bahagia adalah anak yang dapat melewatkan kepuasan instan dalam usaha mereka untuk mencapai tujuan. Peran orang tua sangat penting dalam mengembangkan keterampilan itu melalui kebiasaan hidup yang sehat.

Apa itu Bahagia?

Banyak orang punya definisi kebahagiaannya masing-masing. Tapi pada umumnya kita memaknai kebahagiaan sebagai suatu kondisi atau perasaan dalam keadaan puas dan senang (bukan gembira).

Kebahagiaan adalah pengalaman internal dan eksternal. Courtney E. Ackerman, MA dalam jurnal Positive Psychology menjelaskan apa itu kebahagiaan sebagai pengalaman internal dan pengalaman eksternal.

Ketika anak dapat membangun sebuah menara dengan balok mainannya, atau dapat menyelesaikan puzzle, saat itulah anak mengalami kebahagiaan internal.

Sedangkan kebahagiaan eksternal adalah kebahagiaan yang diperoleh dari terpenuhinya keinginan seperti mendapatkan hadiah.

Bahagia, meski sifatnya tidak menetap tetapi lebih stabil dibanding perasaan senang. Rasa bahagia dapat bertahan lebih lama, sedangkan kesenangan datang-pergi dalam hitungan detik.

Banyak orang tua setuju bahwa anak yang bahagia akan menjadi orang yang mudah beradaptasi dan siap menghadapi tantangan.

Maka tak heran ketika orang tua ingin membahagiakan anak-anaknya secara total, ada rasa bersalah ketika anak merasa kecewa, sedih, dan menangis.

Orang tua perlu memahami bahwa yang dibutuhkan oleh anak-anak adalah kebahagiaan internal, kebahagiaan yang diperoleh dari sebuah perjuangan. Bukan kebahagiaan eksternal semata.

Orang tua yang memaknai kebahagiaan melulu sebagai kebahagiaan eksternal, sedang membesarkan anak yang memiliki gaya hidup hedonisme. Yaitu mengandalkan kebahagiaan dari segala sesuatu yang menimbulkan kesenangan.

Pada akhirnya kesenangan itu hanya berada pada tataran fisik seperti seks, hura-hura, narkoba - seperti ditulis dalam jurnal Ethics Unwrapped.

Kebahagiaan Harus Diperjuangkan

Menunda kepuasan yang menimbulkan rasa kecewa dan tidak bahagia sesaat, menjadi topik penting dalam pengasuhan anak. Bahkan sejak 50 tahun lalu, eksperimen tentang hal ini sudah dilakukan oleh Walter Mischel, Ph.D di Stanford University.

Kepada anak prasekolah dilakukan percobaan untuk menunda kepuasan. Mereka diberi marshmallow dengan instruksi: “Kalau kamu makan segera setelah saya pergi, kamu hanya dapat satu, yaitu yang kamu makan itu. Tetapi kalau kamu bisa menunggu sampai saya kembali, kamu berhak mendapat dua.”

Apa pentingnya anak-anak belajar menunda kepuasan, atau keinginannya tidak serta merta dipenuhi? Mengapa anak-anak terkadang harus mengalami kekecewaan?

Sebuah riset berjudul "Can the Kids Wait? Today’s Youngsters May Be Able to Delay Gratification Longer Than Those of 1960-s" dalam Jurnal American Psychological Association (APA), melaporkan bahwa kemampuan menunda kepuasan di masa kanak-kanak awal diyakini mampu membentuk perilaku yang baik di masa remaja, dewasa, dan seterusnya.

Perilaku baik itu termasuk kemampuan akademik yang baik, mendapatkan berat badan yang sehat, mampu mengelola stres dan rasa frustrasinya secara efektif, memiliki tanggung jawab sosial, dan memiliki relasi yang baik dengan teman-teman sebayanya.

Sayangnya, menurut Tovah Klein, orang tua kerap bermasalah untuk dapat menerima bahwa anak boleh marah, sedih, dan kadang-kadang tidak bahagia.

Saat anak kecewa, orang tua secara naluriah segera menghibur atau mengalihkan rasa kecewa anak. Anak tidak diberi ruang dan waktu untuk mengelola rasa kecewanya.

Misalnya dengan membiarkan anak mojok di suatu tempat dan menangis meraung-raung sampai ia mampu menenangkan diri. Meski menghibur dan mengalihkan rasa kecewa anak itu tidak salah, tetapi sikap orang tua yang demikian ini tidak dapat memulihkan atau menyentuh sumber rasa kecewa anak. Yang dapat memulihkan rasa kecewa anak justru anak sendiri.

Masih menurut Tovah, saat merasa kecewa anak-anak merasa yakin bahwa reaksi negatif mereka itu wajar, lalu mereka belajar mengelola dan menyentuh perasaan itu. Kekuatan untuk mengelola rasa kecewa dan tidak bahagia sesaat ini tumbuh dari memiliki emosi yang kuat seperti rasa marah, lalu anak berusaha mengatasinya.

Penting anak tahu bahwa ayah dan ibunya tidak marah. Anak-anak yang diberi kesempatan untuk kecewa dan mengelola emosi negatifnya lebih suka membangun sikap tangguh; bertahan dan memulihkan diri dari kesulitan - yang akan dibutuhkan untuk menjadi orang dewasa yang bahagia dan sukses.

Infografik Ajarkan Anak untuk Bahagia

Infografik Ajarkan Anak untuk Bahagia. tirto.id/Ecun

Anak Bahagia, Anak yang Tangguh

Rolla adalah perempuan muda berusia 26 tahun. Ia baru saja pindah ke kantor yang baru, bekerja sebagai sales. Sebagai seorang sales, prestasinya dinilai bagus. Dalam tiga bulan masa percobaan ia mampu menjual dua produk yang akhirnya deal dengan nilai jual yang tinggi. Dalam tiga bulan masa percobaannya, perusahaan menilai Rolla memiliki kemampuan komunikasi yang masih harus disesuaikan dengan iklim perusahaan. Perusahaan memberinya kesempatan tiga bulan berikutnya untuk menjalani masa percobaan sekali lagi.

Namun Rolla merasa tersinggung dengan keputusan perusahaan. Bagi Rolla, mampu menjual dua produk dalam waktu tiga bulan sudah seharusnya ia diangkat menjadi pegawai tetap. Harusnya perusahaan tidak menilainya di luar skill yang diperlukan untuk menjadi sales. Tidak ada yang dapat menahan Rolla ketika ia memutuskan untuk tidak melanjutkan masa percobaannya.

Rolla bukan satu-satunya contoh seseorang yang tidak tangguh. Contoh lainnya bisa kita lihat dari kisah Caca.

Ia seorang first jobber berusia 24 tahun. Hari itu ia harus melakukan presentasi di hadapan atasannya untuk sebuah project. Di pertengahan presentasi, atasannya berkata, “Aduh Caca, presentasi-mu kok begitu. Harusnya kamu punya inisiatif melengkapi dulu datanya, dan saya akan memberikan koreksi. Bukan presentasi blank macam ini. Semua ditanyakan pada saya. Saya mau dua hari lagi sudah lebih baik.”

Gemetar dan ingin menangis, Caca keluar dari ruang atasannya, menghampiri karyawan senior dan bertanya apakah atasannya memang sekejam itu. Sang senior menjelaskan bahwa cara kerja di perusahaan itu memang dituntut efisien, karena klien tidak mau menunggu terlalu lama. Caca, yang tidak senang ditolak, merasa kecewa, dan tidak cocok bekerja di perusahaan tersebut. Ia mengatakan pada senior-nya bahwa ia ingin resign saja karena tidak dapat memenuhi ekspektasi perusahaan.

Rolla dan Caca tentu bukan karyawan yang bodoh. Terbukti mereka diterima di perusahaan setelah melewati serangkaian tes. Tapi mengapa mereka berdua begitu mudah putus asa dan memutuskan untuk keluar dari perusahaan? Padahal Rolla hanya diminta menyesuaikan gaya berkomunikasi, sementara Caca hanya diminta untuk punya inisiatif.

Prof. Rhenald Kasali menulis sebuah buku berjudul Strawberry Generation. Generasi stroberi adalah istilah untuk menggambarkan sebuah generasi yang cerdas, punya banyak ide dan memiliki kreativitas yang tinggi, tetapi mereka mudah menyerah, mudah tersinggung, lamban, dan pesimis terhadap masa depan.

Zarlina Mohd Zamari adalah dosen di Universiti Teknik Mara, Perak, Malaysia yang menulis di New Strait Times tentang mahasiswa generasi stroberi, Helping Teachers Deal with Strawberry Generation’s Mental Health Issues.

Menurut Zarlina, generasi stroberi sangat mudah tersinggung. Salah memilih kata saat mengajar mereka di kelas, dapat membuat mereka sangat stres, membangkitkan emosi negatif.

Alih-alih mencari bantuan psikolog, banyak dari mereka melakukan diagnosis diri. Tren yang muncul di kalangan generasi muda adalah merujuk pada konten buatan tiktoker untuk mengidentifikasi gangguan mental mereka.

Cek Cara Anda Mengasuh Anak

Generasi stroberi pertama kali muncul di Taiwan pada tahun 2014 - 2015. Orang-orang yang lahir setelah tahun 1980 digolongkan dalam kelompok generasi stroberi; tidak dapat berdiri tegak, dan hidup sangat mudah.

Mereka digambarkan seperti stroberi yang mudah memar; tidak mampu menahan tekanan sosial atau bekerja keras seperti orang tua mereka. Secara lebih umum, istilah generasi stroberi mengacu pada pemuda Taiwan yang dianggap tidak patuh, egois, sombong, dan lamban dalam bekerja.

Siapa yang berperan dalam pembentukan kepribadian rapuh seperti stroberi, tentu orang tua menjadi tersangka utama.

Menurut Prof. Kasali, pengasuhan orang tua berperan dalam membentuk generasi stroberi. Orang tua yang terlalu memanjakan, terlalu melindungi, terus menerus mencampuri yang dilakukan oleh anak, membuat anak tergantung pada orang tua sehingga sulit menentukan baik buruk bagi dirinya.

Alih-alih terlibat dan "menyetir" anak, orang tua dapat berperan sebagai orang dewasa yang mampu memberikan pendapat atau pencerahan suatu masalah atau keputusan. Misalnya menceritakan suatu akibat dari perbuatan dilihat dari berbagai sisi.

Ajarkan anak menghargai kerja keras dengan cara tidak langsung memberikan apa yang dia minta, membuat mereka mengerti bahwa segala sesuatu butuh proses dan perjuangan. Terapkan kebijakan atas konsekuensi yang dilakukan anak, jangan terus menerus menetralisir kesalahannya karena hal ini dapat membuat anak bersikap sewenang-wenang, egois, dan ingin selalu dimengerti.

Kesalahan lain dalam mengasuh anak dan secara tidak sadar dilakukan oleh orang tua menurut Prof. Kasali adalah memberi label pada anak. ‘Si pemalas’, ‘si lamban’ ‘sulit diatur’ adalah contoh-contoh label.

Kata-kata itu bila sering diucapkan dapat memberi dampak yang luar biasa pada anak. Anak akan mengembangkan perilaku sesuai nama yang diberikan padanya.

Kata-kata baik yang ditempelkan pada anak seperti ‘princess’, ‘anak hebat’ pun akan membuat anak besar kepala dan merasa mereka selalu benar. Sehingga sulit bagi mereka untuk menerima kenyataan bahwa ada anak lain yang lebih hebat. Label positif ini dapat membuat anak percaya diri berlebihan dan menjadi egois.

Meski istilah generasi stroberi memiliki konotasi negatif, generasi stroberi memiliki banyak hal positif. Mereka sangat mahir di bidang teknologi dan mudah beradaptasi dengan teknologi baru. Generasi stroberi dapat menjadi individu yang lebih baik jika diberikan stimulus dan dukungan yang tepat.

Kuncinya adalah biarkan mereka merasakan kecewa untuk kemudian mengalami kebahagiaan internal.

Baca juga artikel terkait LIFESTYLE atau tulisan lainnya dari Imma Rachmani

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Imma Rachmani
Penulis: Imma Rachmani
Editor: Lilin Rosa Santi