Menuju konten utama

Gentle Parenting: Pola Asuh Ideal atau Tanpa Batasan Jelas?

Di mata pengkritiknya, gentle parenting dianggap kurang efektif untuk mendisiplinkan anak dan justru menguras emosi orang tua. 

Gentle Parenting: Pola Asuh Ideal atau Tanpa Batasan Jelas?
Header DIajeng Gentle Parenting. tirto.id/Quita

tirto.id - Jika kita bicara tentang gaya pengasuhan anak masa kini, terutama di kalangan orang tua Milenial, sudah pasti gentle parenting termasuk di dalamnya.

Gentle parenting dikenal sebagai pola asuh yang dilakukan orang tua untuk mendorong anak-anaknya tumbuh dengan bahagia dan percaya diri.

Dikutip dari laman Parents, orang tua pelaku gentle parenting mengasuh anaknya dengan pendekatan yang lebih lembut dan santun, berempati, dan tanpa menyalahkan atau menghukum.

Empati, rasa hormat, pengertian, dan batasan menjadi empat elemen utama yang membentuk gentle parenting.

"Gentle parenting, dikenal juga sebagai pengasuhan yang kolaboratif, adalah gaya pengasuhan orang tua yang tidak memaksakan anak untuk berperilaku baik dengan cara menghukum atau mengendalikan, melainkan dengan menggunakan koneksi, komunikasi, dan metode demokratis lainnya untuk membuat keputusan bersama sebagai suatu keluarga," papar Danielle Sullivan, seorang pelatih pengasuhan dan pembawa acara Neurodiverging Podcast yang berbasis di Lafayette, Colorado.

Anak yang dibesarkan dengan pola asuh gentle parenting, kata Sullivan, akan tumbuh menjadi pribadi yang pandai menetapkan batasan dengan tegas tetapi penuh rasa hormat, memahami kebutuhannya sendiri, dan luwes menyuarakan pendapat.

"Pendekatan pola asuh ini mengurangi kemungkinan mereka dimanfaatkan oleh perilaku bullying," jelasnya.

Di media sosial, narasi gentle parenting dipopulerkan salah satunya oleh pembuat konten Taylor Wolfe (37).

Melalui presentasi video yang jenaka di akun TikTok @thedailytay, Taylor menggambarkan perbedaan gaya komunikasi pengasuhan yang dia lakukan dengan versi ibunya, Sandy.

Misalnya, Sandy memuji anak-anak Taylor dengan kalimat, “I’m so proud of you—Nenek bangga pada kalian.” Taylor bergegas menegur sang ibu karena kalimat tersebut dianggap terlalu berorientasi pada kepuasan dirinya sendiri, alih-alih fokus pada si anak.

Pun ketika sang Sandy menghargai usaha cucu-cucunya dengan pujian “good job—hebat”, Taylor mengoreksinya menjadi “good choice—pilihan yang bagus”.

Meski begitu, pendekatan gentle parenting tidak selalu menarik di mata semua orang tua.

Lauren Barth, Associate Content Director The Bump dalam artikelnya mengakui bahwa gaya pengasuhan tersebut "tidak cocok" di keluarganya.

Menurut Barth, kesabarannya menjalani peran sebagai ibu selalu diwarnai dengan berbagai ujian.

Selama mengasuh anak dan mengurus keluarganya, Barth yakin betul tetangga dan orang-orang yang berlalu-lalang di jalan sudah terbiasa mendengar ingar-bingar keseharian di dalam rumahnya: dari suara tawa, tangisan, ratapan, permohonan, sampai pertengkaran.

"Ternyata aku bukan orang tua panutan. Aku memang punya batas kesabaran cukup tinggi, tapi kalau kesabaranku sudah habis, aku bisa jadi keras. Singkat kata, gentle parenting bukan gayaku,” tulis Barth.

Barth tidak menampik selalu ingin bisa bersikap tenang dan fokus saat marah, termasuk pada anak-anaknya kala mereka tidak kooperatif. Namun, hal itu rasanya mustahil, terlebih ketika dirinya sudah terlalu lelah.

Tentu, Barth paham bahwa gentle parenting tidak selalu indah.

Dia setuju, dalam pola asuh tersebut, memanjakan anak tidak sama dengan berempati dan memvalidasi perasaan anak.

Barth pun berempati pada anak-anaknya yang merasa frustasi, kecewa, dan sedih. Dia sadar pula, terkadang, anak-anak belum matang secara emosional untuk mencerna sesuatu yang tidak sesuai harapannya.

Tak hanya itu, Barth mendukung anak-anaknya agar terus berproses dalam menghadapi ujian hidup melalui beragam pengalaman emosional.

"Namun, jujur saja. Di waktu lain, mereka memang berharap untuk bikin ibunya marah. Dan kadang-kadang mereka berhasil,” imbuh Barth.

Maka dari itulah, Barth menganggap pola asuh apapun—bukan hanya gentle parenting—tidak selalu harus menjadi komitmen yang mutlak.

"Jika salah satu pilar gentle parenting adalah mengajarkan anak-anak kita bahwa tidak apa-apa untuk memiliki emosi yang besar, lantas kenapa aku tidak boleh mengakui emosiku sendiri?" tanya Barth.

Mengutip Psychology Today, di mata sejumlah pengkritik, praktik gentle parenting dipandang terlampau lembut, tidak memberikan kontrol yang cukup bagi orang tua untuk mengubah perilaku, menghabiskan banyak waktu, tidak menyediakan strategi yang jelas untuk perilaku tertentu, terlalu menekankan respons perasaan orang tua sampai-sampai merugikan anak, dan menguras emosi.

Terdapat pula kekhawatiran bahwa prinsip-prinsip gentle parenting tidak didukung oleh kajian ilmiah atau penelitian sehingga dianggap kurang validasi.

Selain itu, sudah ada gaya pengasuhan lain yang sudah pernah diteliti dan memiliki kesamaan dengan gentle parenting.

Sebut di antaranya authoritative parenting yang lekat dengan kehangatan dan struktur yang tinggi, emotional coaching yang mengedepankan emosi dan perasaan anak, atau attachment parenting yang menekankan upaya membangun relasi aman.

Nah, elemen-elemen spesifik gentle parenting dipandang sudah tumpang-tindih dengan berbagai aspek gaya pengasuhan di atas.

Masih mengutip Psychology Today, tren gentle parenting diduga muncul sebagai semacam bentuk penolakan terhadap cara orang tua zaman dulu membesarkan anak mereka.

Menurut temuan Pew Research Center pada 2023, sebanyak 44 persen responden ingin membesarkan anak-anak mereka dengan cara berbeda dari cara mereka dibesarkan. Tak sedikit yang mengungkap keinginannya menerapkan pola asuh lebih gentle dan tidak terlalu menghukum.

Di balik kritik-kritik yang ada, pola asuh penuh kelembutan ini penting untuk dipahami sebagai alternatif yang lahir dari perkembangan zaman yang bertujuan baik.

Maka, tidak ada salahnya pendekatan ini dipertimbangkan dalam perjalanan belajar kita untuk menjadi orang tua lebih baik.

Terkait itu, Praktisi Psikologi Anak Usia Dini, Aninda, S.Psi., M.Psi.T., memiliki sejumlah panduan bagi orang tua yang tertarik mencoba teknik gentle parenting.

Aninda mengatakan, orang tua perlu berempati pada emosi dan keadaan yang dialami anak dengan cara memvalidasi perasaan mereka.

Dengan begitu, anak akan lebih mudah belajar meregulasi emosi mereka dan kelak akan menjadi pribadi yang tenang.

"Menemani dan mengarahkan anak menentukan pilihannya sendiri. Dari sini, orang tua bisa mengajarkan anak untuk menyelesaikan masalahnya secara lebih tangguh dan mandiri," papar Aninda.

Selain itu, kata dia, gentle parenting juga perlu menggunakan komunikasi sebagai cara mendisiplinkan anak.

Pada waktu sama, Aninda mewanti-wanti orang tua agar tidak salah-kaprah terkait keinginan untuk berempati yang berujung memanjakan anak.

"Kadang anak perlu juga menghadapi emosi-emosi negatifnya sendiri. Tugas kita sebagai orang tua adalah membantu mereka meregulasi emosi, bukan menyelesaikan masalah mereka."

Orang tua tidak perlu terlalu banyak mengontrol anak, juga terlalu banyak memberikan pilihan.

Aninda mengingatkan efek buruk dari kurangnya komunikasi antara orang tua dan anak, yang malah digantikan dengan memberikan hukuman tanpa adanya penjelasan terlebih dahulu kepada anak.

"Sehingga, memunculkan teknik pendisiplinan yang terlalu keras tetapi tidak jelas arahnya," pungkas Aninda.

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Putri Annisa

tirto.id - Diajeng
Kontributor: Putri Annisa
Penulis: Putri Annisa
Editor: Sekar Kinasih