tirto.id - Pola asuh gentle parenting yang memberikan keleluasaan pada anak untuk berekspresi dengan prinsip empati dan saling menghormati, menjadi panutan bagi banyak ibu. Bentuk pengasuhan ini menganggap pentingnya peran anak dalam masa perkembangan, dan bukan hanya menuntut anak untuk menuruti perintah seperti yang dilakukan pada pengasuhan “otoriter” sebelumnya. Walau terkesan moderat bagi pendidikan anak, pengasuhan lembut bagi si kecil ini ternyata tidak senyaman itu bagi ibu.
Pola Asuh yang Terpusat pada Anak
Gentle parenting pada dasarnya adalah pola pengasuhan yang mengutamakan empati, mengakui perasaan serta memotivasi anak. Ibu-ibu praktisi gentle parenting membuat batasan yang jelas dalam pengasuhan ini yakni memberi pilihan pada anak, bukannya perintah. Mereka juga menghindari pemberian hadiah, hukuman, serta ancaman pada anak.
Gaya pengasuhan ini memerlukan disiplin diri yang tinggi. Ibu dituntut untuk lebih proaktif bukan reaktif, membuat keputusan dengan pemikiran matang, dan menjadi panutan dalam hal empati, respek, memahami, serta komunikasi.
Ada banyak hal yang disukai tentang pengasuhan yang lembut ini, karena memberikan perspektif baru tentang pengasuhan anak (yang sangat menghormati emosi, dan anak sebagai pribadi).
Namun, atas dasar pengasuhan lembut ini, anak-anak yang memang belum memiliki kematangan emosi dan memiliki kepatuhan dan pengendalian diri, menjadi tokoh utama. Sehingga, hanya dikatakan adil bila orang dewasa, dalam hal ini ibu, yang harus menunjukkan kesabaran dan empati kepada anak.
Gentle parenting menanggap bahwa seorang anak tidak boleh diberitahu bahwa ia telah membuat ibu sedih, atau tidak boleh menegur padahal ia telah melakukan hal yang kurang baik.
Perilaku buruk anak dalam pengasuhan gentle parenting, dianggap sebagai akibat dari stres atau kecemasan anak — yang disebabkan oleh orang lain.
“Skema pengasuhan lembut ini memandang bahwa setiap tindakan anak harus dilihat melalui lensa kecemasan dan deteksi ancaman bagi anak — yang meningkatkan peran ganda orang tua sebagai psikolog anak dan penjaga keamanan emosional anak,” tulis Jessica Winter dalam artikelnya The Harsh Realm of “Gentle Parenting”.
Christine Organ pada artikelnya The Problem with ‘Gentle Parenting?’ It’s Not Always Gentle on Mothers berpendapat gentle parenting juga mengesampingkan dampak pada kehidupan ibu modern, terutama pada ibu pekerja yang memiliki waktu terbatas antara kehidupan rumah dan kantor. Ibu pekerja yang biasanya bisa menghemat waktu untuk mencapai tujuan tertentu dengan memberi hadiah pada anak, menurutnya menjadi tidak cocok dengan pengasuhan yang membutuhkan waktu cukup lama untuk menuruti kehendak anak ini.
Pada akhirnya, ibu yang menerapkan pola asuh gentle parenting harus menyisihkan semua “saingan” anak, misalnya tugas-tugas rumah atau pekerjaan. Ibu perlu menjadi manusia yang memiliki banyak waktu bagi anak dan penuh ketenangan.
Gentle parenting juga memaksakan figur ibu yang sempurna, seakan ibu tidak bisa mengalami kelelahan, kemarahan, dan harus selalu lembut pada anak.
Pengasuhan yang Realistis
Psikolog Dian K. Partawidjaya, M Psi menegaskan, “Ibu perlu memberi batasan atas apa yang boleh dan tidak boleh anak lakukan. Dengan ini anak belajar untuk mengendalikan dirinya, dan ibu tetap dapat mengawasi tanpa khawatir yang berlebihan.”
Ada baiknya orang tua juga berpikir lebih realistis bahwa tidak semua momen pengasuhan bisa dilakukan secara lemah lembut, bisa jadi sesekali ada kemarahan dan omelan. Ibu diharapkan untuk dapat menghargai dirinya sendiri. Sesekali berbuat salah tidak membuat ibu menjadi orang tua yang buruk karena setidaknya ibu telah mencoba untuk menjadi orang tua yang penuh kasih sayang. Mengajarkan empati dan kasih sayang pada anak hanya akan berhasil jika orang tua juga mengasihi dirinya sendiri.
Tidak ada kata terlambat untuk mulai menerapkan pola asuh yang lebih sesuai dan lebih baik. “Pola asuh seyogyanya adalah seni mengasuh dan mendidik anak. Tidak semuanya harus sama persis dengan yang orang lain terapkan, karena itulah dinamikanya. Tidak ada sekolah formal untuk menjadi orang tua, namun jadilah orang tua pembelajar, yang mengasuh anak-anak sesuai zamannya,” tambah Dian.
Saat Beban Ibu Terlalu Berat
Penerapan pola asuh gentle parenting yang berpusat pada anak, tidak hanya kurang memperhatikan profil lain ibu, yaitu sebagai manusia biasa dan bisa saja, pekerja, atau istri. Hal ini yang menjadi faktor semakin membebani ibu dalam pengasuhan anak.
Belum lagi, bila ibu harus menghadapi teman, kelompok, keluarga yang sangat mendukung pola pengasuhan ini. Ibu akan dengan mudah mendapatkan hujatan dan label sebagai ibu yang buruk karena tidak dapat memprioritaskan anak, di atas kebutuhan (emosi) pribadinya.
Tidak heran, pada satu momen tertentu ibu tidak bisa lagi menjaga emosinya. Namun saat ini terjadi, ibu dapat memberi jarak untuk dapat melepaskan emosi tersebut, untuk kemudian kembali menghadapi anak.
Hal yang sama juga dapat diterapkan pada anak. Jika emosi negatif anak muncul, ibu perlu memvalidasi emosi tersebut, terima kondisi anak, kemudian biarkan anak sendirian terlebih dahulu. Misalnya anak diminta untuk silent time, setelah itu baru ajak anak bicara.
Ibu perlu untuk menghentikan kegiatan, menyamakan posisi dengan anak, menanyakan perasaan mereka, memvalidasi perasaan mereka, menawarkan dukungan, dan membiarkan mereka tahu bahwa ibu ada untuk mereka meskipun mereka merasa kesal.
Orang tua juga bisa mengurangi kemungkinan terjadinya emosi yang memuncak dengan lebih melibatkan anak. Misal saat akhir pekan ajak anak bicara, berdiskusi, beri gambaran kondisi aktivitas di pagi hari. Misal, "Besok ibu akan berangkat ke kantor lebih pagi. Jadi, kita siapkan sama-sama hari ini apa yang perlu dilakukan besok, ya".
Jika anak sudah paham konsep waktu, dapat disebutkan jam berapa semua aktivitas tersebut perlu dilakukan dan apa konsekuensinya jika melewati batas waktu. Sehingga di pagi harinya nanti ibu tidak perlu marah-marah atau menekan anak, karena anak cukup diingatkan kembali.
Apabila ibu sudah terlanjur emosi karena beban yang terlalu berat, ibu juga tidak perli khawatir. Yang perlu ibu lakukan adalah meminta maaf pada anak. Namun ibu juga perlu selektif dalam meminta maaf. Ibu tentu tidak perlu meminta maaf ketika melarang anak melakukan hal yang membahayakan dirinya atau orang lain.
Pada akhirnya, tidak ada aturan baku atau, cara "terbaik" untuk menjadi orang tua. Sampai saat ini, pola asuh anak masih terus menyesuaikan sesuai dengan perkembangan zaman. Dan apapun yang ibu lakukan, kesempurnaan sulit dicapai. Kesalahan satu waktu pasti akan terjadi. Dan itupun tidak apa-apa juga.
Penulis: Primanila Serny
Editor: Lilin Rosa Santi