Menuju konten utama

Saat Anak Mempertanyakan Kematian

Anak melihat kematian sebagai sesuatu yang sementara dan dapat diubah, dan tidak berlaku universal.

Saat Anak Mempertanyakan Kematian
foto/istockphoto

tirto.id - Kematian, menurut Dr. Lauren Knickerbocker, Ph.D, Psikolog anak dari NYU Langone’s Child Study Center menjadi salah satu topik yang menarik bagi anak usia 4 tahun.

Alasannya? “Karena secara umum anak usia 4 tahun berada pada fase ‘mengapa’”, ungkapnya dalam artikel Why Do 4-Years Old Love Talking About Death yang dimuat di The New York Times. Kebanyakan orang dewasa tidak menyadari fase ini. Padahal anak telah terpapar mengenai kematian, misalnya, saat ia menonton film kartun yang tokohnya mati.

Saat bermain di luar rumah atau di playground, anak juga kerap menemukan bangkai binatang. Atau, ketika anak mendengar kabar tentang kerabatanya yang meninggal.

Bagaimana anak usia 4 tahun memahami soal kematian?

“Anak usia 3-5 tahun sulit membedakan realita dan fantasi. Penilaiannya didominasi oleh persepsinya. Anak melihat kematian sebagai sesuatu yang sementara dan dapat diubah, dan tidak berlaku universal. Hanya orang yang sudah tua saja yang meninggal. Karena masih egosentris, anak sering meyakini bahwa ia bisa menyebabkan kematian, atau memandang kematian sebagai hukuman. Kematian adalah kekuatan eksternal yang dapat mendatangimu dan dapat dipersonifikasi, misalkan setan atau tokoh jahat di film,” jelas Amanda Margia Wiranata, M.Si. Psikolog Klinis yang menangani masalah perkembangan anak dan remaja.

Infografik Mati Tuh Sakit Nggak

Infografik Mati Tuh Sakit, Nggak?. tirto.id/Fuad

Belajar dari Pengalaman

Anak usia 4 tahun akan lebih mudah memahami konsep kematian apabila mereka pernah mengalaminya, seperti halnya Demetria Bliss.

“Umur Demi empat tahun ketika saya mengalami dua kematian. Kurang dari satu tahun sebelum suami saya meninggal, anjing kami mati,” kata Bonita Margaret (45) ibu dari Demetria (6), tinggal di Yogyakarta, mengawali kisahnya. Dua tahun lalu peristiwa itu terjadi, dan masih meninggalkan kenangan pada diri Demi.

Demi mengalami proses sejak sakitnya anjing mereka sampai mati dan dikubur di halaman rumah. Ini memberinya pemahaman bahwa makhluk hidup yang sudah mati tidak akan kembali lagi. Ia sudah tidak ada, tidak dapat disayang-sayang.

“Sewaktu ayahnya masuk rumah sakit, situasinya kurang lebih sama dengan pengalaman Demi sebelumnya dengan anjing kami. Ayahnya sakit - kondisi semakin memburuk - meninggal - dikremasi lalu dikubur. Demi hadir di setiap proses, kecuali sewaktu di rumah sakit,” kata Boni.

Bagaimana Demi memahami peristiwa kematian di usianya yang kurang dari lima tahun saat itu? “Dia bertanya, ayahnya sedang diapakan ketika dimandikan dan ketika dikremasi. Dengan melihat prosesnya, Demi bisa memahami apa itu mati.”

Dengan mengikuti proses itu Demi sadar bahwa ayahnya tidak akan tinggal lagi bersama mereka.

Bagi anak usia ini, mengganti kata mati menjadi "meninggalkan dunia" akan sangat sulit dipahami.

“Jangan gunakan gaya bahasa eufimisme. Anak usia ini berpikir sangat konkret. Kata meninggal dunia akan membuat anak berpikir, apakah kakek pergi ke suatu tempat?” papar Dr. Dunya Poltorack, psikolog anak di RS Birmingham seperti dimuat di The New York Times.

Anak-anak punya cara berpikir yang unik untuk memahami peristiwa kematian, yang tentu saja itu bukan kesalahan mereka.

“Anak-anak meyakini bahwa beberapa kelompok manusia seperti guru, orangtua dan anak-anak tidak dapat mati. Seseorang yang cukup pintar atau beruntung, dapat menghindari kematian. Mereka dapat hidup selamanya, dan orang yang sudah mati dapat berpikir dan merasa,” papar Amanda.

Itu yang dipahami oleh Ryan (6), anak dari Paramita Milla (38) ketika ibu Paramita meninggal.

“Ryan mengira meski neneknya sudah dikubur, nenek masih bisa shalat, masih jalan-jalan di dalam kubur,” ujar Paramita. Ibu Paramita meninggal ketika Ryan berumur empat tahun.

“Setelah prosesi pemakaman selesai, muncul pertanyaan, ‘Nenek tadi kenapa? Nenek di dalam tanah nanti bisa shalat?’ Mengapa di dalam tanah nenek nggak bisa shalat, kenapa ngga bisa bernapas, dan seterusnya.”

Kematian Bukan Hukuman

Anak usia balita yang masih berpikir egosentris cenderung menyalahkan diri sendiri ketika terjadi sesuatu yang buruk di dalam rumahnya.

“Ketika anak berperilaku buruk lalu terjadi kematian setelahnya, anak menganggap bahwa perilaku buruknya yang menjadi penyebab kematian,” ujar Amanda, ibu 2 anak yang sudah beranjak dewasa.

Meski bicara soal kematian pada anak usia empat tahun itu tidak mudah, Amanda menyarankan sebaiknya kita tidak menghindar bila anak bertanya soal kematian. Jujur mengatakan pada anak bahwa kematian itu bukan hukuman dari Tuhan atau karena ia nakal. Jangan pula mengatakan ‘kalau kamu jadi anak baik, mama nggak akan mati.’

“Ini berarti kita menjanjikan sesuatu yang tidak dapat kita penuhi,” kata Amanda.

Anak harus dijelaskan bahwa kematian tidak terjadi karena pikiran atau perilaku buruk mereka, dan anak akan tetap disayang.

Begitu juga ketika orang yang dicintai anak meninggal, Knickerbocker menyarankan agar anak yang sedang berduka ini diberi kesempatan untuk mengenangnya.

“Begitu keluarga besar sudah pada pulang, terasa sekali sepinya. Setiap kali Demi menangis saya ajak ngobrol, cerita-cerita memori ayahnya. Saya mengusahakan supaya Demi tidak menangis terlalu lama. Saya ajak mengingat hal-hal lucu,” ujar Boni.

Untuk membantu anak mengatasi rasa sedihnya, Amanda menyarankan agar orang tua membuat beberapa perubahan yang memungkinkan di lingkungan sekitar anak, relasi, dan aktivitas sehari-hari. Menjawab pertanyaan dengan sederhana dan jujur, dan mendorong anak membicarakan perasaannya tentang orang yang sudah meninggal.

“Makin hari Demi jarang nangis dan sedih. Kalau ada momen tertentu yang membuat dia ingat ayahnya, dan dia bilang ‘Demi kangen papa’. Saya kasih pengertian bahwa ayahnya ‘ada di udara’ bisa dengar dan lihat Demi meski kita nggak bisa dengar dan lihat papa. Kalau Demi kangen papa, bilang saja Demi kangen papa,” kata Boni. Yang penting menurut Amanda, jangan biarkan anak sendirian menghadapi rasa dukanya.

Kalau anak belum punya pengalaman tentang kematian dan dia terus menerus bertanya karena penasaran, Sally BeVille Hunter dari University of Tennessee menyarankan agar orang tua mengajak anak melihat taman makam.

Berkeliling dan membaca nama-nama di batu nisan, melihat angka-angkanya dan berbicara tentang usia mereka saat mereka meninggal juga menjadi pengalaman baru bagi si kecil. Hal ini membuka ruang bagi anak-anak untuk mendapatkan jawaban atas rasa ingin tahu mereka.

Peningkatan Pemahaman

Pemahaman konsep kematian akan berkembang sejalan dengan bertambahnya usia dan berkembangnya kemampuan berpikir.

Dua anak Cathy Salfera Paais, tinggal di Pamulang, masing-masing berumur 9 dan 7 tahun ketika suami Cathy meninggal 2 tahun lalu.

“Kirani Abinaya berumur 9 tahun dan Kanira Auriska 7 tahun ketika ayahnya meninggal. Saat itu mereka belum paham betul arti meninggal. Mereka menangis ketika saya bilang, papi tidur selamanya dan nggak akan bangun lagi. Kita akan menguburkan papi dan tidak akan pernah melihatnya lagi selamanya. Mereka menangis sejadi-jadinya, terutama si kakak karena ia merasa nggak terima kalau dia nggak sama seperti teman-temannya yang masih punya ayah,” kisah Cathy.

Di usia 5 sampai 7 tahun terjadi pergeseran dari berpikir praoperasional menjadi konkret operasional, “Yaitu ketika konsep sebab akibat semakin matang, sehingga mereka mulai memahami tentang konsep tidak dapat diubah (irreversibility), universal (universality), dan fungsi yang berhenti,” jelas Amanda.

Pada usia 5 – 7 tahun anak mulai menunjukkan pemikiran yang teratur dan logis. Mereka menjadi kurang egosentris - tidak lagi berpusat pada diri sendiri. Anak mulai menyelesaikan masalah secara konkret, menalar secara logis, dan mengorganisasi pikiran secara koheren.

Membantu anak usia 6 sampai 9 tahun memahami kematian menjadi lebih mudah. Anak usia ini paham bahwa kematian adalah final, demikian menurut artikel Helping Children Understand Death yang dimuat di nursing.utah.edu.

“Pertanyaan mereka tentang kematian jadi pekerjaan rumah ketika kami pulang dari pemakaman. Anak-anak bertanya, ‘mami, katanya Tuhan itu baik, penyayang. Tapi kenapa Tuhan ambil papi kita. Berarti Tuhan nggak sayang sama kita, nggak sayang papi karena kita keluarga dipisahkan. Kita nggak punya papi. Di mana rumah papi yang baru? Apakah Tuhan sudah siapkan rumah untuk papi?’” Kata Cathy.

Sejalan berlalunya waktu, Cathy memberi pemahaman pada anak-anaknya melalui pendekatan rohani, lewat film tentang anak yang kehilangan orang tua, termasuk bacaan bertema kehilangan orang yang dicintai.

Hunter menyarankan, agar orang tua menjawab pertanyaan anak tentang kematian dengan jelas tanpa berlebihan.

Amanda mengingatkan, anak mulai usia lima tahun dapat memahami kematian dengan lebih baik, jika mereka diperkenalkan dengan konsep kematian lebih awal dan didorong untuk membicarakannya. Jadi orang tua tidak perlu berusaha menutup-nutupi dengan mengarang mengenai kematian lagi.

Baca juga artikel terkait LIFESTYLE atau tulisan lainnya dari Imma Rachmani

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Imma Rachmani
Penulis: Imma Rachmani
Editor: Lilin Rosa Santi