tirto.id - Bagi setiap ibu, kesejahteraan keluarga adalah hal terpenting untuk dipenuhi. Sebegitu pentingnya, sehingga apapun terkait yang dialami anak, bisa menjadi pencetus perasaan bersalah. Ketika anak mengalami gatal-gatal misalnya. Ibu segera mencari-cari kesalahan apa yang telah dia lakukan sehingga anak mengalami gatal-gatal. Apakah sabun cuci pakaiannya yang terlalu banyak mengandung pewangi, ataukah ia memberi makanan yang menimbulkan alergi?
Lebih buruk lagi bila ibu mengaitkan masalah-masalah kesejahteraan keluarganya dengan ketidakmampuannya menjadi ibu yang baik, dan terus menerus menyalahkan diri sendiri.
Rasa bersalah diakui menjadi bagian dari keibuan ketika di akhir abad ke-18, saat Jean-Jacques Rosseau menerbitkan karyanya Émile, yang menjadi tonggak perubahan sejarah pendidikan Barat, dan membawa konsep baru antara pendidikan dan maternity. Rosseau menyoroti pentingnya kehadiran ibu dalam pendidikan anak-anak mereka yang sebelumnya diserahkan kepada pengasuh.
Rasa bersalah seorang ibu muncul ketika ia menyadari bahwa ia tidak mampu menyamai model ideal "ibu yang sempurna" yang dibangun di masyarakat. Membandingkan diri dengan ibu lain, atau merasa tidak memenuhi semua perannya sebagai ibu, juga menjadi faktor lain. Ibu yang bekerja akan merasa tidak memberikan waktu dan perhatian yang cukup bagi anak. Ibu rumah tangga bisa merasa bersalah karena tidak memberikan kebebasan bagi anak untuk menonton, atau bahkan makan makanan kesukaannya.
Rasa bersalah pada ibu biasanya juga diikuti dengan rasa malu. Rasa bersalah sering muncul diperburuk oleh perasaan rendah diri, kelelahan, kebingungan, ketakutan, dan kemarahan.
Rasa bersalah dan kaitannya dengan konsumsi menjadi subjek studi pada awal 1980-an, tetapi hanya pada tahun 1990-an rasa bersalah konsumen menjadi subjek yang menarik dalam literatur ilmiah pada perilaku konsumen.
Studi pemasaran pertama tentang rasa bersalah pernah melaporkan bahwa komunikasi pemasaran dapat meningkatkan perasaan bersalah seseorang, dan peningkatan ini dipengaruhi oleh kerentanan individu terhadap rasa bersalah.
Penelitian ini mengungkap bahwa peningkatan rasa bersalah yang dipicu oleh komunikasi pemasaran akan membuat subjek lebih rentan terhadap daya tarik komunikasi yang persuasif, di mana jika rasa bersalah meningkat melampaui batas yang ditoleransi oleh individu, mereka akan masuk ke dalam keadaan pikiran yang akan mendorong mereka untuk menyelesaikan atau mengurangi rasa bersalah. Dalam pemasaran, resolusi kondisi mental ini adalah dicari melalui perubahan keyakinan, niat, atau sikap.
Rina Raphael dalam bukunya yang berjudul The Gospel of Wellness: Gyms, Gurus, Goop and the False Promise of Self Care, menjelaskan bagaimana industri kesehatan membuat diet dan kesehatan tubuh menjadi tekanan yang berlebihan. Para ibu kelas menengah dianggap rentan, dan menjadi pasar yang didasari kerentanan.
"Para pemasar setuju bahwa ibu adalah pengambil keputusan untuk membeli", demikian ungkap Joe Pinsker dalam tulisannya berjudul "How Marketers Talk About Motherhood Behind Closed Doors" yang dimuat di The Atlantic. Ibu sebagai perawat kehidupan akan membeli apa saja untuk anak-anak atau keluarganya.
Sebuah konferensi tahunan Marketing to Moms yang ke-14 di Manhattan yang dihadiri Pinsker mengungkap, gambaran suram tentang peran ibu zaman sekarang. Para pemasar itu melihat bahwa ibu masa kini diliputi keraguan, perasaan bersalah, dan bingung terus-terusan.
Jola Burnett dari perusahaan riset pasar GfK di Amerika Serikat dalam konferensi itu melaporkan bahwa ibu-ibu zaman sekarang lebih stres dibanding ibu-ibu di tahun-tahun sebelumnya. Ia membuat daftar 10 pencetus stres ibu Millenial, 3 yang tertinggi adalah besarnya penghasilan untuk biaya hidup, ancaman kejahatan, dan kurang tidur.
Batas Rasa Bersalah Ibu
Berbagai faktor dapat memicu perasaan bersalah yang muncul pada ibu. Mulai dari apa yang dimakan oleh anak, apa yang dikenakan di tubuhnya, sampai berapa lama screen time, bisa menjadi sumber rasa bersalah para orang tua.
Raoul Lindsay seorang ahli kesehatan mental dan ayah seorang anak, seperti dikutip oleh BBC - mengatakan bahwa rasa bersalah adalah perasaan manusiawi yang kita semua pernah alami. Sebagai bagian dari sifat manusia, kita selalu melihat semua yang telah kita lakukan, terutama yang bisa kita lakukan dengan lebih baik.
Senada dengan Raoul, Anna Surti Ariani, S.Psi, M.Si, Psikolog Anak dan Keluarga mengatakan, bahwa rasa bersalah adalah perasaan yang wajar. Ini adalah salah satu emosi yang perlu dialami. “Rasa bersalah itu penting karena menjadi pengingat kita untuk melakukan hal yang lebih baik,” ujar Nina - sapaan ibu dua anak ini.
Sulit menemukan orang tua yang belum pernah merasa bersalah. Sebagai ibu, ia selalu memikirkan dampak dari semua yang dilakukan pada anak-anak atau keluarga. Ibu hanya fokus pada hal-hal yang belum dikerjakan dengan baik, dan mengabaikan hal-hal yang baik yang sudah kita lakukan.
Menurut Raoul, itulah yang membuat para orang tua kerap dihinggapi perasaan bersalah. Tapi orang tua yang tidak pernah merasa bersalah bukan berarti orang tua yang baik sepenuhnya. “Mungkin kita santai-santai saja melakukan pengasuhan yang sesungguhnya masih banyak salahnya. Rasa bersalah bisa menjadi alarm untuk melakukan yang lebih baik lagi,” jelas Nina.
Meski rasa bersalah itu manusiawi, Nina mengingatkan bahwa orang tua perlu sadar, apakah perasaan bersalahnya sudah kelewatan. “Disebut berlebihan bila sudah ada kondisi yang nggak bener. Apa itu? Muncul tanda-tanda masalah kesehatan mental, seperti sulit tidur, napsu makan berubah, sulit konsentrasi, mudah lupa, sedih, dan mudah tersinggung,” papar Nina.
Rasa bersalah bisa membuat ibu tidak rasional dalam mengambil keputusan - termasuk keputusan berbelanja atau membeli. Otak manusia memiliki bagian-bagian yang memproses informasi dengan cara berbeda.
“Rasa bersalah adalah salah satu jenis emosi, yang diproses di otak bagian sistem limbik, letaknya di bagian otak tengah. Ini memproses berbagai emosi, baik positif maupun negatif. Kalau sistem limbik terlalu teraktivasi oleh emosi-emosi negatif, biasanya area otak yang memproses pikiran rasional atau korteks menjadi kurang efektif berfungsi,” kata Nina.
Kemampuan berpikir rasional terbajak, sehingga sulit konsentrasi, mudah lupa, bingung dan kurang bisa memperhitungkan yang benar dalam mengambil keputusan.
Ibu sebagai Konsumen
Raphael menyebut, selama satu abad terakhir ini perusahaan-perusahaan melakukan pendekatan yang membesar-besarkan bahaya; apa yang dimakan atau disentuh oleh anak, yang menyebabkan kecemasan ibu.
Ia juga menjelaskan bahwa kenyamanan adalah kebutuhan mendasar. Sebagai konsumen yang selalu siap melindungi orang-orang yang dicintai dari bahaya, setiap ibu pasti punya aturan standar untuk menjaga keselamatan diri dan keluarga. Kemudian timbul pertanyaan, berapa yang harus saya bayar untuk menjaga keluarga saya?
Menurut Peter Noel Murray, Ph.D dalam artikelnya "How Emotion Influence What We Buy", dalam beberapa kasus, tidak sedikit perusahaan yang memanipulasi ketakutan orang dan kebiasaan mereka yang paling tidak sehat. Konsumen dapat membuat keputusan terburu-buru berdasarkan kecemasan, logika yang salah, atau keinginan sesaat untuk status sosial.
Pooja Lakshmin, MD, penulis buku Real Self Care mengatakan bahwa setiap saat kita mendengar atau menemukan kata ‘perawatan diri’. Sebuah frasa yang mampu membuat otak kita langsung mengarah pada pilihan produk gaya hidup. Mulai dari juice pembersih, workshop yoga dan apapun itu - kata ‘perawatan diri’ ini sudah merasuki kesadaran kolektif kita sebagai obat ampuh untuk semua persoalan kita sebagai perempuan atau ibu.
Banyak ibu tidak menyadari bahwa usahanya untuk merawat keluarga dan diri sendiri dengan sebaik dan seaman mungkin kerap menjebak mereka untuk berperilaku konsumtif; berlebihan dalam membeli sesuatu, atau membeli tanpa rencana.
Dilandasi perasaan bersalah karena belum melakukan yang terbaik, para ibu mudah tergoda oleh produk-produk yang ditawarkan dengan janji-janji dapat segera mengatasi persoalan yang sedang dihadapi.
Memilih produk dengan kualitas terbaik, memang tidak salah. Ibu boleh saja memilih sabun cuci pakaian non-deterjen atau memilih sampo non-paraben untuk menjaga kesehatan kulit seluruh keluarga. Walau pada akhirnya produk dengan kualitas baik seringkali harganya jadi lebih mahal, dan hal ini menimbulkan logika terbalik, bahwa yang mahal pasti baik.
Seorang ibu yang punya anak remaja dengan wajah penuh jerawat misalnya, pastilah merasa sedih dan merasa bersalah karena merasa gagal merawat anaknya. Lalu ibu memilih obat jerawat secara terburu-buru, yang kata iklan ampuh menghilangkan jerawat tanpa bekas, lalu membelinya dengan harga yang mahal.
Padahal kalau ibu mengajak anaknya ke dokter lebih dulu, mungkin saja dokter memiliki solusi lebih gampang; rajin mencuci wajah dengan sabun, atau memberikan resep obat yang bisa dibeli di apotik dengan harga yang jauh lebih murah dan ampuh.
Pamela Li, MS, MBA dalam artikel "An Easy Way to Overcome Mom Guilt Using a Strategic Change" menulis bahwa memiliki informasi yang akurat dan terpercaya untuk dapat memutuskan sesuatu hal tentang parenting penting. Namun, di saat ibu sudah memutuskan dengan kapasitas pengetahuan yang dimiliki saat itu, sebenarnya ibu sudah melakukan hal yang terbaik bagi anak. Sehingga, ibu tidak perlu merasa bersalah dengan keputusan yang diambil saat itu.
Karena pada dasarnya, tidak ada keputusan parenting yang sempurna. Selama ibu masih terbuka pada segala informasi dan dapat mengontrol diri, ibu tidak perlu takut terpengaruh pada berbagai tawaran produk yang kini mengalir deras di pasaran.
Penulis: Imma Rachmani
Editor: Lilin Rosa Santi