Menuju konten utama

Terapi Belanja di Kalangan Ibu Muda

Belanja berfungsi seperti halnya alkohol: dalam dosis kecil bisa bermanfaat, tapi membahayakan saat sudah berlebihan.

Ilustrasi terapi belanja. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Namanya Atikah Zata Amani. Saat ia melajang, berbelanja merupakan aktivitas yang jarang ia lakoni. Sejak tiga tahun lalu, setelah melahirkan Aluna, berubahlah semesta dan kebiasaan Atikah.

Ia jadi hobi berbelanja, meski menurut pengakuannya masih dalam batas yang wajar. Atikah tak menampik jatah belanja untuk anaknya kini memakan porsi paling besar. Bahkan, ia seperti mendapat kepuasan batin ketika mampu mendapatkan barang-barang kegemaran putrinya.

“Sering beli buku cerita, mainan karakter, peralatan sekolah. Rasanya ada kedamaian kalau anak suka apa yang kita beli,” katanya.

Menjadi ibu satu anak yang sedang dalam masa pertumbuhan dan sangat aktif, membuatnya tak punya banyak waktu, termasuk untuk sekadar jalan-jalan seperti yang sering ia lakukan saat masih melajang. Sebagian besar waktunya tercurah untuk Aluna. Maka, aktivitas kecil seperti berbelanja pun jadi terasa menyenangkan untuknya.

Kisah lain diceritakan oleh Janice. Setelah satu dekade, pernikahannya terasa hambar, tak ada keintiman. Ia lalu memutuskan bercerai, dan menandai hidup barunya dengan berbelanja! Beragam syal, selimut, dan tempat tidur memenuhi di rumah, menggantikan miliknya yang lama.

“Saya menghabiskan berjam-jam untuk itu [belanja]. Rasanya seperti terapi, seperti membuang kehidupan yang lalu dan bersiap menyongsong yang baru.”

Di antara Anda, mungkin ada juga yang seperti tak sadar sering berbelanja untuk menenangkan diri. Misalnya saat memulai babak kehidupan baru, entah menikah atau memiliki anak. Para ibu, terutama, seringkali menyisipkan waktu berbelanja di tengah-tengah kesibukan mereka mengurus rumah tangga atau bekerja.

Perilaku ini, disebut Kit Yarrow, profesor psikologi dan pemasaran di Golden Gate University in San Francisco, tak ubahnya “terapi”. Belanja berguna sebagai aktivitas persiapan mental. Dengan berbelanja, individu jadi membayangkan masa yang akan datang—ketika produk digunakan. Secara tak langsung, aktivitas itu menguatkan mental mereka menuju babak baru kehidupan. Ia memudahkan individu beradaptasi di masa transisinya.

“Mereka jadi lebih terkendali,” kata Yarrow dalam Psychology Today.

Yarrow melanjutkan, selain membantu saat seseorang beradaptasi dalam masa transisi, berbelanja juga menjadi alat eksistensi. Pepatah yang bilang “jangan menilai buku dari sampulnya” tak sepenuhnya benar. Banyak penilaian penting didapat dari penampilan, sehingga sebagian orang berpikir perlu memperbaharui penampilan. Salah satu jalannya adalah dengan berbelanja.

Berbelanja juga membuat individu merasa puas karena mendapatkan sesuatu yang diidamkan. Bahkan, ia memberikan inspirasi bagi orang-orang tertentu, karena aktivitas ini serupa liburan tanpa perencanaan. Berbelanja adalah kegiatan bersantai yang tak butuh banyak konsentrasi.

Manfaat lain: berbelanja juga memungkinkan seseorang berkenalan dan bergaul dengan orang lain. Pendeknya, berbelanja bisa mendorong banyak hal positif.

“Sekadar melihat-lihat rak atau menggulirkan menu di platform belanja online bisa jadi penyegar mental,” Yarrow melanjutkan.

Terapi bagi Para Ibu

Perempuan merupakan sasaran utama produsen untuk memasarkan produknya. Mereka merupakan bendahara yang punya kewenangan mengatur keperluan keluarga. Selain itu, masa transisi perempuan lebih banyak dibanding laki-laki, sehingga mereka butuh lebih banyak “terapi.”

Perempuan menjadi remaja, menikah, memiliki anak, dan harus mempersiapkan tumbuh kembang anaknya. Bedanya, setelah menjadi ibu, mereka lebih banyak berbelanja kebutuhan anak-anaknya. Hal itu ditunjukkan oleh survei The Asian Parent pada Desember 2017 di Jakarta, Surabaya, dan Medan.

Sebanyak 1.093 ibu di Indonesia berusia 20-40 tahun dengan pendapatan di atas Rp3 juta per bulan dimintai pendapat tentang “Digital Moms”. Hasilnya menyatakan belanja keperluan anak mengambil porsi paling besar. Pembelian online para ibu mengambil persentase 78 persen untuk produk pakaian anak dan 61 persen untuk produk bayi/anak.

Perbandingan harga menjadi poin paling penting bagi ibu untuk berbelanja online, selain faktor penjual yang terpercaya dan ongkos kirim gratis. Mereka menyukai kemudahan membandingkan kualitas barang melalui ulasan di internet. Sebanyak 94 persen responden survei ini melakukan pembelian setelah melihat rekomendasi online. Ada pula 28 persen yang melakukan pembelian setelah melihat ulasan dari situs parenting.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/02/20/terapi-belanja--mild--nadya.jpg" width="860" alt="Infografik terapi belanja" /

Belanja online merupakan cara ibu pintar, karena jadi lebih mudah membandingkan harga dan kualitas. Membantu mereka memilih yang terbaik bagi keluarga,” ungkap Nadya Pramesrani, M. Psi, psikolog dari Rumah Dandelion dalam paparan survei tersebut di Kuningan, Jakarta.

Sebanyak 41 persen dari responden juga sudah lebih memilih melakukan pembayaran via ponsel dibanding harus transfer atau transaksi bertemu secara manual. Ditambah kesibukan mereka mengurus anak atau bekerja, belanja online menjadi pilihan karena dianggap lebih praktis. Kemudahan bertransaksi ini menggiring sebanyak 73 persen ibu berbelanja online lebih dari 2-3 kali dalam sebulan.

Sebanyak 6 dari 10 di antara mereka menghabiskan rata-rata Rp100-300 ribu dalam sekali transaksi. Berbelanja online di tengah kesibukan bisa menjadi terapi menjaga kewarasan para ibu. Mereka juga akan merasa puas saat anak-anaknya menyukai barang yang dibeli.

“Belanja kebutuhan anak menjadi 'me time' ibu, membantu mereka tetap sehat secara mental, sehingga memberikan lingkungan positif juga bagi anaknya.”

Hati-Hati Malah jadi "Penyakit"

Namun, seperti halnya terapi lain, belanja juga harus punya batasan dan aturan main. Terapi belanja dianalogikan seperti alkohol: menenangkan dalam dosis kecil, bisa membahayakan ketika berlebihan. Nadya memberi beberapa tips agar terapi belanja tidak kebablasan. Ia berkata, biasakan belanja dalam jumlah kecil dan menghindari utang.

Begitu pula yang disarankan oleh terapis pernikahan ternama di San Francisco, Peggy Wynne, seperti dikutip dalam tulisan Yarrow. Terapi belanja bisa memberikan manfaat selagi konsumen menghindari pemakaian kartu kredit atau laporan bank.

Kesimpulannya, aktivitas ini bisa berubah jadi tak bermanfaat ketika individu mulai berbohong atau menyembunyikan aktivitas belanja mereka. Apalagi jika berbelanja membikin seseorang melalaikan pekerjaan, sekolah, atau kewajiban lainnya. Waspadalah jika Anda mulai merasa malu, bersalah, atau marah sesaat setelah berbelanja.

Baca juga artikel terkait BELANJA atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani