Menuju konten utama

Cerita Para Ibu Menyiapkan Bekal demi Pola Makan Sehat Anak

Bekal sekolah bisa menjadi solusi pemenuhan kebutuhan gizi anak.

Cerita Para Ibu Menyiapkan Bekal demi Pola Makan Sehat Anak
Ilustrasi bekal sekolah

tirto.id - Coba tengok jajanan di daerah Bulungan, Jakarta Selatan. Di sana ada tempat-tempat nongkrong anak-anak SMA yang menyediakan berbagai makanan camilan sore; roti bakar dengan topping susu kental manis, kacang, coklat dan keju.

Tepat di depan gerbang sekolah, ada penjual minuman yang dikerumuni anak-anak saat bubaran sekolah.

Masih di Jakarta Selatan, di daerah Setiabudi, ada soto gebrak di depan sebuah SMA negeri. Di jalan Lombok di daerah Menteng ada dua sekolah. Di pinggir jalan ada penjual mie ayam, somay, dan minuman dengan banyak pilihan. Jalan sedikit ke arah Utara, ada Sarinah yang juga memiliki pusat-pusat jajan.

Tengok pula berbagai jajanan seperti cilok, es mambo, telur gulung, somay, batagor, sosis bakar, martabak mini, cilor dan lain-lain di depan gerbang sekolah-sekolah dasar di berbagai wilayah Jakarta. Pedagang ramai dikerumuni anak-anak yang berjongkok dengan sabar menanti sate sosis dibakar.

Pedagang ini menjadi pilihan anak-anak untuk mengisi perut di saat mereka lapar dan kehausan.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan anak usia sekolah adalah anak-anak berusia antara 7 sampai 15 tahun. Sementara Kemenkes RI (2014) menyebut anak usia sekolah adalah anak berusia di atas 6 tahun hingga 18 tahun kurang.

Kesehatan bagi anak-anak usia ini tidak terlepas dari pengertian kesehatan pada umumnya. Di usia ini pertumbuhan mereka sangat pesat. Aktivitas fisik meningkat, aktivitas yang membutuhkan daya ingat dan konsentrasi juga meningkat. Tetapi kelompok usia ini juga merupakan kelompok yang rentan gizi, mudah mengalami kelainan gizi atau malnutrisi.

“Masalah gizi anak saat ini double burden. Ada anak yang kurus karena gizi kurang, ada juga yang gemuk. Gizi kurang dan gizi berlebih. Yang kurus karena orang tua kurang pengetahuan atau kondisi ekonomi yang kurang, sehingga tidak mampu menyediakan protein yang memadai. Kalau dulu anak gemuk berasal dari keluarga yang ekonominya baik, sekarang di kalangan ekonomi lemah pun anak-anak juga kegemukan karena kualitas asupan rendah dengan kandungan gula yang tinggi mudah diakses,” papar dr. Christopher Andrian, Sp.GK dokter spesialis gizi klinis.

Mengatasi malnutrisi - yaitu kondisi ketika asupan nutrisi tidak sesuai dengan kebutuhan harian tubuh baik kekurangan atau kelebihan - pada anak, dibutuhkan pengetahuan tentang gizi dari para orang tua, karena orang tualah yang bertanggung jawab terhadap kesehatan anak-anak.

Infografik Bekal Sekolah

Infografik Bekal Sekolah. tirto.id/Quita

Bawa Bekal, Solusi Sehat

Awalilah pagi dengan sarapan. Sebab mengawali pagi hanya dengan senyum akan membuat kita kelaparan dan gagal fokus. Demikian bunyi sebuah meme di media sosial.

Kampanye lucu untuk mengingatkan kita agar tidak mengabaikan sarapan. Setelah kurang lebih 8 jam berpuasa selama tidur malam, tubuh memerlukan asupan yang tepat sebagai sumber tenaga sampai tengah hari.

Aktivitas anak sekolah pada umumnya dimulai sejak pagi hari. Pukul 07.00 jam sekolah dimulai. Artinya, bila jam enam pagi anak-anak harus berangkat dari rumah, pukul 05.30 pagi mereka harus sudah sarapan.

Sayangnya, tidak sedikit anak yang menolak sarapan dengan berbagai alasan; perut belum siap diisi, tidak sempat karena terkadang terlambat bangun, menu sarapan membosankan, dan lain-lain.

Menyiapkan bekal sarapan merupakan solusi terbaik bagi banyak orang tua yang anak-anaknya belum siap sarapan di rumah. Bekal dari rumah yang disiapkan dengan memperhatikan kandungan gizi dan jumlahnya, dapat membantu anak menjaga daya tahan tubuh dan daya konsentrasinya.

Erin (43), ibu 1 anak, selalu menyiapkan sarapan untuk Egia (9), yang saat ini duduk di bangku kelas 3 SD. “Menu sarapan harus mudah dibuat, kelihatan enak, dan memenuhi kebutuhan gizinya,” ujar Erin, ibu bekerja. Kalau pagi itu Egia tidak selera sarapan, ia boleh request makanan. “Pokoknya dia nggak boleh berangkat ke sekolah dengan perut kosong,” kata Erin.

Sama seperti Erin, Nunu Kusumawardani juga mengawali kesibukan di pagi hari dengan menyiapkan sarapan untuk Marsha (14) yang kini duduk di bangku kelas 8.

“Marsha selalu sarapan dari rumah. Saya biasa membuat pilihan menu. Tapi karbohidratnya harus nasi, karena Marsha suka nasi. Bisa nasi uduk lengkap, nasi goreng, atau bubur ayam,” ujar Nunu. Untuk snack time, Marsha membawa bekal dari rumah karena kantin sekolah belum beroperasi.

Iin, ibu bekerja dengan 2 anak yang keduanya sudah duduk di bangku SMA pun selalu membiasakan anak-anaknya untuk sarapan. Meski ia tidak menyiapkan sendiri sarapan anak-anaknya, ia tetap melakukan supervisi.

“Bahan-bahan sudah disiapkan malam sebelumnya. ART mengolahnya pagi-pagi. Kalau anak-anak tidak ingin sarapan, makanannya dibawa ke sekolah, dimakan pas break time. Sandwich isi telur, susu dengan oatmeal, atau spaghetti adalah contoh menu sarapan pagi anak-anak,” ujar ibu dari Rayyan (18) dan Icha (16).

Dengan pertimbangan mudah dibuat dan anak suka, menu makan anak - terutama sarapan - kerap kali kurang dari segi komponen maupun jumlahnya.

“Untuk mudahnya, panduan menyediakan makan untuk anak itu pola makan gizi seimbang. Setiap kali makan harus mengandung komponen karbohidrat, protein, lemak dan serat. Kebutuhan serat dapat dipenuhi dengan sayuran dan buah. Tiga kali makan lengkap, ditambah dua kali snack,” papar Christopher, yang berpraktik di RS Siloam TB Simatupang, Jakarta Selatan.

Pemenuhan kebutuhan nutrisi setiap anak tentu berbeda. Untuk anak yang sudah gemuk atau kegemukan, asupan seratnya harus ditingkatkan. Sedangkan untuk anak yang tergolong gizi kurang, yang harus ditingkatkan adalah asupan protein.

“Serat bukan prioritas bagi anak dengan gizi kurang. Sebab kalau anak dengan gizi kurang dikasih serat, dia jadi nggak doyan makan karena kenyang,” jelas Christopher.

Hal-hal seperti inilah yang harus menjadi pengetahuan para orang tua, karena orang tua bertanggung jawab penuh terhadap kesehatan anak-anak, lewat asupan makannya.

Namun tidak sedikit orang tua yang membekali anak dengan uang, dan membebaskan anak mengambil keputusan sendiri apa yang akan mereka makan sejak sebelum jam sekolah dimulai, pada jam istirahat pertama dan pada jam makan siang. Padahal apa yang dimakan oleh anak akan menentukan kondisi kesehatannya secara keseluruhan.

Makan Bukan Sekadar Kenyang

Pada masa sekarang, bila rata-rata anak mendapatkan uang jajan sebesar 50.000 rupiah sehari, jumlah itu cukup untuk membeli makan siang dengan tiga komponen; karbohidrat, serat, lemak dan protein, ditambah jus buah atau susu UHT.

Anak-anak bisa mendapatkan makan siang dengan kuantitas dan kualitas yang baik.

Sayangnya anak tidak selalu dapat diandalkan untuk memilih makanan dengan gizi yang baik. Mereka cenderung memilih makanan yang mereka inginkan atau sukai saja, yang penting perut kenyang hati riang. Begitu banyaknya cemilan yang dimakan, makanan utama pun kerap diabaikan. Belum lagi, masalah kemampuan finansial yang tidak selalu sama pada setiap keluarga.

Sebuah pemandangan biasa ketika kita melewati sebuah sekolah pada pagi hari atau saat sekolah bubar. Anak-anak mengerumuni pedagang makanan di luar sekolah. Cireng, cilok, batagor, kue cubit, gorengan, pempek mini, martabak mini, es sirup - adalah jajanan yang dijual di luar gedung sekolah itu.

Di sebuah sekolah lainnya, tepat di seberang sekolah itu terdapat sebuah warung sederhana yang menjual nasi uduk, berbagai gorengan, bubuk minuman, snack dalam kemasan, dan mie instan. Bagaimana membuat kombinasi dari berbagai jenis makanan itu menjadi satu komposisi dengan gizi yang seimbang, jelas bukan keahlian anak.

Apa yang dimakan oleh anak di sekolah, wajib diketahui orang tua. Orang tua sebaiknya juga tahu makanan apa saja yang dijual di kantin sekolah maupun di luar gerbang sekolah. Dengan mengetahui jenis jajanan yang dibeli anak di kantin dan di luar sekolah, orang tua dapat melengkapinya dengan gizi yang tepat ketika anak makan di rumah.

Erin tidak melarang Egia jajan di sekolah. “Saya kasih tahu, kalau beli makanan di sekolah jangan yang tidak ditutup atau tidak ada bungkusnya. Sampai sekarang Egia belum berminat jajan makanan di kantin sekolah. Biasanya dia beli susu UHT, dan makan siang selalu di rumah,” kata Erin.

Iin membolehkan anak-anaknya membeli makanan di kantin sekolah karena sekolah memiliki aturan soal makanan yang sehat. Guru di sekolah tempat anak-anak Iin bersekolah mengawasi jajanan anak-anak yang dibeli di luar sekolah.

“Minuman atau makanan yang dibeli lewat aplikasi online diawasi oleh guru,” kata Iin. Akibatnya tidak semua makanan yang sudah dibeli anak lewat aplikasi online bisa lolos sampai ke tangan anak. Untuk makan siang, Iin memilih catering supaya makanan kedua anaknya lebih bervariasi.

Lain cerita Nunu, “Marsha nggak kenal jajan, karena sewaktu SD tidak ada kantin di sekolahnya. Sekarang pun kantin sekolah belum beroperasi. Jadi dia selalu bawa bekal lengkap untuk snack time dan makan siang.” Ia sebetulnya membolehkan anaknya jajan di luar jam makan utama. “Tapi anaknya nggak suka jajan. Stok cemilan selalu ada di rumah.”

Awas, Gangguan Perilaku Makan

Sampai usia berapa anak harus dipantau tumbuh kembangnya?

“Sampai umur 18 tahun. Gunakan grow chart, pantau tinggi dan berat badannya apakah sudah sesuai usianya,” saran Christopher.

Perhatikan juga gejala ini; berat badan anak tidak naik, kurus, tidak seimbang antara tinggi dan beratnya, atau sebaliknya kegemukan. “Ini pertanda anak tidak mendapat gizi yang tepat,” kata Christopher.

Saat ini anak-anak banyak melakukan aktivitas di sekolah seusai jam pelajaran. Misalnya olahraga, paduan suara, dan kegiatan ekstra kurikuler lainnya. Ada sebagian anak kehilangan selera makan karena padatnya aktivitas di sekolah, tapi tidak tertutup kemungkinan, anak justru memiliki selera makan berlebih.

Perilaku makan anak bisa saja berubah. Penting bagi orang tua untuk memperhatikan perubahan pola makan pada anak, terutama pada remaja.

“Bisa saja anak mengidolakan orang lain. Diet K-pop idol. Ini dapat mengganggu pola makan dan mengganggu pertumbuhan. Ketika masuk masa pubertas, terjadi maturasi pada hormon kelaminnya. Kalau anak kurang makan, kematangan ini akan terganggu. Misalnya, perempuan usia menstruasi 9 atau 10 tahun. Ketika nggak mau makan karena mengikuti idol-nya, asupan protein dan zat besi berkurang, risiko anemia meningkat. Lemas, kurang darah, cepat lelah, kurang konsentrasi. Pengaruhnya ke tingkat produktivitas. Prestasi di sekolah buruk,” papar Christopher.

Pengetahuan orang tua soal asupan, penting ditingkatkan agar dengan cepat dapat memperbaiki pola makan yang salah yang berakibat malnutrisi.

“Pertama, orang tua harus jadi role model. Berikan contoh pola makan yang sehat dengan gizi yang baik,” ujar Christ.

Perhatikan juga camilan yang diberikan kepada anak. “Berikan cemilan padat kalori untuk anak dengan gizi kurang. Misalnya bubur kacang hijau, pancake pisang, intinya harus ada protein. Anak obesitas boleh diberikan cemilan tapi bukan yang padat kalori. Tingkatkan asupan serat seperti dari buah atau sayuran. Anak obesitas cenderung makan melebihi kebutuhan. Kita tingkatkan asupan serat,” saran Christopher.

“Sejak MPASI sampai sekarang Marsha nggak pernah mengalami susah makan, malah ada masanya harus di stop karena makan berlebihan. Di usia remaja sekarang dia punya kesadaran untuk mengurangi porsi makan,” kata Nunu tentang perilaku makan anaknya.

Mengatur pola makan anak itu baik. Anak perlu diberi edukasi dari kecil tentang perilaku makan yang sehat. “Es krim, biskuit, itu recreational. Selain makanan utama dengan gizi seimbang, anak harus dikenalkan dengan makanan lain,” kata Christopher mengingatkan.

Christopher juga menganjurkan agar orang tua tidak melarang anaknya dengan cara yang keras terkait makanan. Menurutnya, larangan yang berlebihan malah akan membuat anak justru ingin melawan dengan jajan sembarangan.

Sebaliknya, ia menyarankan untuk memberi pengertian pada anak tentang manfaat pola makan sehat demi perkembangannya kelak.

Baca juga artikel terkait BEKAL ANAK SEKOLAH atau tulisan lainnya dari Imma Rachmani

tirto.id - Kesehatan
Kontributor: Imma Rachmani
Penulis: Imma Rachmani
Editor: Lilin Rosa Santi