Menuju konten utama
Kesehatan Mental

Kesehatan Mental dan Media Sosial: Ujian Gen Z di Era Digital

Ketergantungan pada teknologi dan miskomunikasi antargenerasi di keluarga menjadi materi bahasan dalam forum daring UNDIP tentang kesehatan mental Gen Z.

Kesehatan Mental dan Media Sosial: Ujian Gen Z di Era Digital
Header diajeng Kesehatan Mental Gen Z. tirto.id/Quita

tirto.id - Gen Z, yang saat ini berusia di kisaran 12 sampai 27 tahun, tengah mendominasi populasi penduduk dunia.

Di Indonesia, jumlah Gen Z mencapai 74,93 juta jiwa, atau sekitar 27,94 persen dari total populasi. Apa kamu termasuk di dalamnya?

Dalam waktu dekat, mereka diproyeksikan menjadi kekuatan besar untuk menopang angkatan kerja.

Meski digadang-gadang sebagai harapan dan penerus masa depan, sejumlah survei dan riset menunjukkan bahwa Gen Z rentan mengalami stres daripada generasi-generasi sebelumnya.

Kerap dilabeli sebagai generasi stroberi, Gen Z terlihat menarik dari luar namun aslinya rapuh di dalam.

“APA (American Psychological Association) menyebutkan, generasi Z memiliki kecenderungan permasalahan kesehatan mental daripada generasi lain,” papar Fatchiah Kertamuda, dosen psikologi dari Universitas Paramadina dalam forum daring bertajuk “Benarkah Gen Z Rentan Depresi? Kesehatan Mental di Tengah Dinamika Kehidupan Digital” yang digelar oleh Universitas Diponegoro (UNDIP) bekerja sama dengan LP3ES, Universitas Paramadina, INDEF, dan KITLV Leiden pada Minggu, 7 Oktober 2024 silam.

Fatchiah mengemukakan bahwa ketergantungan generasi muda terhadap teknologi dan media sosial menjadi salah satu faktor utamanya.

“Generasi Z ini memang bagian penting dari kesehariannnya adalah menggunakan teknologi. Dari bangun tidur sampai mau tidur lagi mereka menggunakan gadget-nya,” ujar Fatchiah.

Menurut laporan UNICEF pada 2023, setiap hari terdapat lebih dari 175.000 anak di penjuru dunia yang menjadi pengguna baru internet. Artinya, setiap setengah detik, satu orang anak berselancar di dunia digital untuk pertama kalinya.

Sementara itu, menurut temuan UNICEF yang bekerja sama dengan Kementerian Kominfo, Berkman Center for Internet and Society, dan Harvard University pada 2014, sekitar 30 juta anak telah terdaftar sebagai pengguna internet di Indonesia.

“Karena tingginya penggunaan media sosial, maka akan berpengaruh kepada pola makannya, makannya terlewat. Kemudian gangguan tidur, mood swing atau perubahan suasana hati,” ujar Fatchiah.

Selain itu, Fatchiah menambahkan, dampaknya meliputi intensitas interaksi sosial yang berkurang.

Guru besar Psikologi UNDIP, Dian Ratna Sawitri, menjelaskan bahwa internet—dalam konteks ini adalah produk-produk media sosial yang berseliweran di dalamnya—memiliki dua sisi berlawanan. Itulah yang disebut Dian sebagai the beauty and the beast of social media.

The beauty of social media ini tentunya yang membuat kita saling terkoneksi, kemudian hal-hal positif yang tidak kita dapatkan dari dunia nyata di sekitar kita tapi bisa kita pelajari dari sosial media.”

Di sisi lain, paparan konten media sosial yang negatif dapat mengajarkan anak-anak pada perilaku tidak terpuji. Mereka akan membandingkan dirinya dengan kondisi orang lain, terdistraksi dari kegiatannya, dan akhirnya kecanduan media sosial.

Dian menjelaskan, melalui media sosial, kita cenderung melihat dari perspektif orang ketiga. Akibatnya, kita jadi lebih sensitif terhadap opini orang lain, terpengaruh oleh standar mereka, dan berusaha agar tidak ketinggalan.

Standar Media Sosial yang Tidak Realistis

Sayangnya, standar-standar yang dipopulerkan di media sosial acap kali tidak realistis sehingga tentu sulit, jika bukan mustahil, untuk diraih.

Aurora Ardina Fawwaz, salah satu peer counselor dari layanan konseling Kita Teman Cerita (KTC) di Universitas Diponegoro, membagikan pengalamannya dan teman-teman sebayanya yang mengalami gejala kecemasan berlebih akibat tidak dapat mengikuti standar-standar yang ditampilkan di media sosial.

“Media sosial menciptakan standar-standar. Di Instagram, banyak yang share tentang pencapaiannya, gaya hidup, lalu fisik ideal yang bagus seperti apa. Hal-hal ini yang membuat Gen Z menjadi cemas,” kata Aurora.

Sebagai bagian dari Gen Z, Aurora paham betul bagaimana itu semua memberikan tekanan pada diri sendiri.

“Ketika tidak bisa memenuhi standar itu, [orang] merasa ada yang salah dengan dirinya, apakah dia menjadi orang yang gagal. Nah ini juga menyebabkan kecemasan berlebih atau merasa tertinggal,” lanjutnya.

Aurora mengajak sesama Gen Z agar mengutamakan kesejahteraan mental dan lebih bijak bermedia sosial, “Kita perlu memilih konten yang baik untuk kita. Lalu konten yang buruk, yang bisa memberikan dampak yang negatif ke kita, lebih baik di-skip saja.”

Meski begitu, mereka yang sudah telanjur larut dalam kesedihan dan kecemasan terkadang kesulitan keluar dari masalahnya sendirian. Diperlukan bantuan dan dukungan dari orang-orang terdekat.

Berangkat dari pengalamannya sebagai peer counselor, Aurora membagikan langkah-langkah untuk membantu temannya dengan prinsip 3L: look, listen, dan link.

Pertama, kita bisa mengamati dan melihat terlebih dahulu kondisi teman yang memiliki masalah agar kita memahami situasinya.

Kemudian, barulah kita mulai mendengarkan cerita dan keluhan-keluhannya. Kita bisa memvalidasi perasaannya dan menanyakan bantuan seperti apa yang ia butuhkan.

“Lebih baik untuk ditanyakan langsung, sebenarnya yang dia mau bantuan seperti apa,” jelas Aurora.

Apabila masalahnya berada di tahap yang berat dan membutuhkan pertolongan lebih lanjut, maka kita dapat menghubungkannya kepada tenaga profesional.

“Kesehatan mental itu bukan tujuan, melainkan proses kehidupan. Yang menjalani hidupnya tetap orang itu sendiri. Bantuan-bantuan yang diberikan hanya sebagai fasilitas agar dia bisa lebih berdaya ke depannya,” pungkas Aurora.

Urgensi Peran Orang Tua

Dalam forum yang sama, dosen psikologi UNDIP, Hastaning Sakti, berargumen bahwa stigmatisasi tentang mentalitas dan kepribadian anak-anak Gen Z tidak bisa dipisahkan dari peran pengasuhan oleh generasi sebelumnya atau orang tua mereka.

Stigma-stigma yang bersifat subjektif itu pun perlu diberantas.

“Sangat tidak bijak bila kita mengatakan bahwa Gen Z itu generasi yang stroberi, lembek. Dilihat dari mananya, siapa yang membuat itu? Tentunya orang tuanya atau generasi-generasi sebelumnya.”

Meskipun tumbuh dalam masifnya perkembangan digital, cara pandang dan kepribadian generasi muda tetap terbentuk dari didikan orang tua. Kesejahteraan mental mereka juga sangat bergantung pada hadirnya komunikasi di dalam keluarga.

Berdasarkan riset yang Hastaning lakukan pada 2020 di 16 kecamatan di Kota Semarang, keterbukaan anak terhadap orang tua memiliki persentase paling rendah dibandingkan pola pengasuhan lainnya. Ini menandakan komunikasi dalam keluarga masih absen alias tidak ada.

“Sebetulnya orang tua juga memengaruhi cara anak mereka berpikir. [Orang tua] tidak terbuka, tidak ada kelekatan."

Tradisi diskusi bersama di meja makan, Hastaning mengamati, sudah tergolong langka. Penggantinya adalah komunikasi via smartphone yang sangat mungkin rentan menimbulkan salah paham.

Miskomunikasi antargenerasi inilah yang menurut Hastaning akan membuat dunia semakin kusut dan meningkatkan ketergantungan generasi muda terhadap teknologi.

Pada akhirnya, penting bagi orang tua untuk belajar, beradaptasi, dan menyesuaikan agar dapat memberikan pendampingan terbaik untuk anak-anaknya.

“Didiklah anak sesuai dengan zamannya karena mereka hidup di zamannya, bukan pada zamanmu,” pesan Hastaning untuk orang-orang tua.

“Kita yang mendidik, karena kita-kita juga yang sebetulnya mencontohkan.”

Pembaruan pada 1 November 2024: Kami merevisi dan memberikan informasi lebih lengkap terkait statistik UNICEF tentang penggunaan internet di kalangan anak-anak dan menyematkan tautan-tautan sumbernya.

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Yolanda Florencia Herawati

tirto.id - Diajeng
Kontributor: Yolanda Florencia Herawati
Penulis: Yolanda Florencia Herawati
Editor: Sekar Kinasih