Menuju konten utama

Punya Stereotipe Negatif, Gen Z Bisa Ancam Bonus Demografi

Sebuah studi menunjukkan banyak pemberi kerja yang enggan merekrut Gen Z karena meminta kompensasi tinggi dan kurang paham etika kerja.

Punya Stereotipe Negatif, Gen Z Bisa Ancam Bonus Demografi
Header Insider Stereotipe Negatif Gen Z. tirto.id/Fuad

tirto.id - Banyak pengusaha dikabarkan enggan merekrut karyawan dari Gen Z, karena perilakunya sering kontraproduktif di dunia kerja. Jika stereotipe negatif itu tidak diperbaiki, maka anak muda yang lahir antara tahun 1997-2012 dikhawatirkan akan menganggur hingga mengancam bonus demografi di tahun 2030-2040.

Tom MC Ifle, business coach sekaligus youtuber, yang banyak mengupas masalah bisnis ini mengungkapkan bahwa teman-temannya sesama pengusaha rata-rata trauma untuk merekrut karyawan dari kelompok usia Gen Z.

To be honest. Jadi mereka merasa Gen Z ini terlalu lebay dan memang tidak realistis. Bekerjanya tidak realistis, perilakunya tidak realistis, ekspektasinya tidak realistis. Sepintar-pintar apapun, kalau attitude-nya negatif, tidak ada yang mau terima (jadi karyawan). Jadi sayang banget ya,” kata Tom.

Indonesia, lanjut Tom, mungkin tidak kekurangan lapangan kerja, tetapi kekurangan orang yang siap bekerja. Gen Z yang punya stereotipe ‘manja’, tidak loyal dan baperan ini dinilai belum siap masuk ke dunia kerja. Akibatnya, banyak perusahaan memilih merekrut karyawan yang usianya lebih matang daripada memilih Gen Z.

Kabar Gen Z kesulitan mendapatkan pekerjaan itu jadi perbincangan hangat di media sosial. Banyak lulusan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) hingga sarjana yang menganggur. Bahkan, hasil survei konsumen Bank Indonesia (BI) pada Maret 2024 melaporkan lulusan pascasarjana (strata dua/S2) juga sulit mendapat pekerjaan.

Mereka mengalami penurunan optimisme terkait ketersediaan lapangan pekerjaan di masa mendatang. Hal tersebut tercermin dari indeks Ekspektasi Konsumen untuk ketersediaan lapangan pekerjaan pada Maret 2024 yang turun 36,7 poin dari 166,2 pada Februari 2024 menjadi 129,5.

Kesulitan anak muda mencari pekerjaan ini bukan kabar bohong. Badan Pusat Statistik (BPS) berdasarkan survei per Agustus 2023 juga menemukan fakta, sebanyak 9,89 juta anak muda di Indonesia dengan rentang usia 15-24 tahun atau Gen Z berstatus pengangguran. Mereka dalam keadaan tidak bekerja, tidak dalam pendidikan, atau pelatihan (Youth not in employment, education or training/NEET).

Perlu diketahui, jumlah populasi Gen Z saat ini diperkirakan mencapai 44,47 juta jiwa. Artinya, 22,5% dari mereka dalam keadaan tidak produktif atau menganggur. Bahkan, tidak sekolah dan tidak mencari keterampilan dengan mengikuti pelatihan-pelatihan atau kursus. Fakta ini sangat mengkhawatirkan.

Tak hanya di Indonesia, fenomena penolakan pengusaha terhadap Gen Z juga terjadi di Amerika Serikat (AS). Sebuah survei oleh Intelligent terhadap 800 manajer, direktur, dan eksekutif AS yang terlibat dalam perekrutan karyawan membenarkan hal tersebut.

Sebanyak 38 persen perusahaan memilih mempekerjakan karyawan yang lebih tua daripada mereka yang baru lulus dari perguruan tinggi (Gen Z). Sedangkan 58 persen lainnya mengatakan, mereka yang baru lulus perguruan tinggi ternyata tidak siap menghadapi dunia kerja, sehingga hampir separuh pemberi kerja (perusahaan) harus memecat mereka.

Lalu, apa alasan spesifik para pengusaha di AS menolak mempekerjakan Gen Z dan kandidat sarjana yang baru lulus dari perguruan tinggi?

Gen Z disebut melakukan kesalahan saat wawancara kerja. Mereka yang baru lulus perguruan tinggi kesulitan melakukan kontak mata selama wawancara (53 persen). Berikutnya, ada kandidat yang menolak menyalakan kamera mereka untuk wawancara virtual (21 persen). Sementara 19 persen bahkan datang wawancara dengan membawa orang tuanya.

Selain itu, hampir separuh perusahaan mengatakan Gen Z meminta kompensasi yang tidak masuk akal dan tidak paham etika. Pada akhirnya perusahaan memilih merekrut karyawan non Gen Z. Para pengusaha bahkan bersedia berjanji memberikan tunjangan sebesar 60 persen dari gaji hingga membayar gaji lebih tinggi 59 persen.

Hampir setengah perusahaan yang disurvei juga mengaku membiarkan karyawan dengan usia lebih tua untuk bekerja dari jarak jauh (hybrid). Sementara 46 persen lainnya mengatakan, mereka akan mempekerjakan karyawan yang lebih tua dan memiliki kualifikasi lebih tinggi untuk posisi tersebut agar perusahaan tidak mempekerjakan Gen Z.

Melihat fakta ini, Diana M. Gayeski, profesor ilmu komunikasi strategis di Ithaca College berpendapat kesiapan kerja generasi tersebut dipengaruhi fakta bahwa pendidikan dan interaksi sosial mereka terganggu oleh pandemi. Oleh karena itu Diana menyebut GenZ memerlukan banyak pendampingan dan panduan yang sangat spesifik.

Kerugian Jika Pengusaha Menolak Gen Z

Bila penolakan pengusaha terhadap Gen Z ini berlanjut, tentu dikhawatirkan akan berdampak negatif bagi bonus demografi. Termasuk upaya mencapai Visi Indonesia Emas di tahun 2045, yakni menjadi negara maju.

Mengapa?

Bonus demografi adalah masa di mana jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) akan lebih besar (60 persen) dibanding usia nonproduktif (65 tahun keatas). Indonesia diperkirakan akan menikmati bonus demografi itu di tahun 2030-2040. Sekitar enam tahun lagi.

Banyak yang mengkhawatirkan bonus demografi itu justru berbuah malapetaka. Bayangkan, apa yang akan terjadi jika anak muda dalam jumlah besar menganggur. Mereka dipastikan akan menjadi beban sosial dan ekonomi.

Sebab itu, kemampuan kita memanfaatkan momentum bonus demografi menjadi perhatian sangat penting. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko. PMK), Muhadjir Effendy, menyadari pentingnya menyambut momentum bonus demografi itu dengan perencanaan yang matang.

Apabila bonus demografi gagal dimanfaatkan sangat berbahaya ketika Indonesia masuk ke masa di mana jumlah penduduk berusia tua atau manula lebih besar dari penduduk yang produktif (aging population).

Jepang, salah satu negara yang saat ini mengalami aging population. Negeri Sakura sampai harus mengundang pekerja asing lebih banyak ke negara tersebut. Situasi ini, tentu membawa banyak konsekuensi yang tidak mudah bagi masa depan Jepang.

Padahal, keberlanjutan sebuah bangsa berada di tangan anak muda. Hampir 30 persen dari angkatan kerja global di tahun 2025 terdiri dari Gen Z. Suka tidak suka mereka adalah aset bangsa di masa depan.

Sebab itu, mereka perlu dipahami dan diberikan kesempatan untuk mengembangkan diri. Kemudian, jangan sampai pengusaha yang antipati untuk merekrut karyawan Gen Z semakin banyak.

Perusahaan konsultan, Deloitte, dalam satu pembahasannya tentang Bagaimana Cara Memahami Gen Z di Tempat Kerja mengatakan, masa depan dunia kerja akan membutuhkan kembalinya sosok Renaisans, yaitu seseorang dengan banyak bakat, minat dan bidang pengetahuan.

Untuk mencapai hal tersebut memerlukan perpaduan empat keterampilan kerja utama, yaitu alat digital dan keterampilan teknologi, kenyamanan dengan analitik dan data, keterampilan manajemen bisnis dan keterampilan desain dan kreatif.

Bagaimana mendapatkan figur karyawan yang multitalenta tersebut, dipastikan butuh usaha yang ekstra serius, seperti mengembangkan program pelatihan dan kepemimpinan yang kuat. Selain itu, perekrutan kandidat yang tepat.

Infografik Insider Stereotipe Negatif Gen Z

Infografik Insider Stereotipe Negatif Gen Z. tirto.id/Fuad

Cara Pertahankan Gen Z

Memiliki karyawan yang tidak loyal atau mudah berpindah tempat kerja akan menganggu stabilitas kerja perusahaan. Sebab itu, untuk menarik dan mempertahankan karyawan Gen Z, Asosiasi Penghargaan dan Tunjangan Karyawan (Reward & Employee Benefits Association atau REBA) di Inggris dalam publikasinya yang berjudul,”The Challenges of Managing Generation Z in the Workplace”memberikan beberapa saran.

Perusahaan perlu menumbuhkan budaya kerja yang selaras dengan nilai-nilai, kekuatan atau kelebihan Gen Z. Ada lima hal yang setidaknya harus diperhatikan oleh para pengusaha.

Pertama, teknologi canggih. Gen Z lebih suka mencari lingkungan kerja profesional dimana mereka bisa memiliki akses ke perangkat mutakhir dan program terbaru. Mereka menghargai otomatisasi tugas-tugas dan memanfaatkan teknologi untuk membantu pekerjaannya agar lebih efisien dan efektif.

Kedua, peluang pembelajaran dan pengembangan yang mendukung pengembangan karirnya. Faktanya, 76 persen dari responden Gen Z melaporkan bahwa mereka mencari peluang pelatihan dan pengembangan profesional.

Ketiga, merek perusahaan yang kuat. Generasi muda lebih mementingkan merek perusahaan dibandingkan generasi sebelumnya. Gen Z cenderung menilai kehadiran dan dampak media sosial suatu perusahaan serta nilai-nilai dan budaya organisasi mereka.

Artinya, keputusan mereka melamar atau bekerja di suatu perusahaan juga sangat dipengaruhi oleh kesannya saat melihat branding perusahaan di media sosial.

Keempat, dukungan kesehatan mental. Sebagian besar dari Gen Z yang disurvei melaporkan bahwa mereka merasa tidak mendapat dukungan kesehatan mental yang memadai di tempat kerja. Hampir sepertiga melaporkan bahwa mereka mengalami kesulitan, baik di dalam maupun di luar tempat kerja.

Dengan demikian, menawarkan layanan kesehatan mental kepada karyawan melalui paket asuransi dapat menjadi cara yang bagus untuk membuat mereka merasa diperhatikan.

Kelima, keselarasan dengan gaya hidup dan nilai-nilai. Mereka percaya bahwa pengembangan karir dan kesuksesan tergantung diri mereka sendiri. Sebab itu, mereka menghargai stabilitas profesional dan keuangan, sehingga mereka juga tidak takut berwirausaha dan mengambil risiko.

Di sisi lain, lanjut REBA, Gen Z adalah individu yang suka mendapatkan pujian dan pengakuan. Mereka juga sangat menghargai ekspresi diri dan cenderung egois, sehingga menyukai kebebasan dan otonomi profesional.

Gen Z juga tipe tidak sabaran dan menyukai kepuasan yang instan, karena terbiasa serba cepat. Mereka tidak mau membuang-buang waktu dan suka bekerja seefisien mungkin.

Tantangan lainnya, Gen Z kurang loyal terhadap perusahaan. Mereka mudah berpindah tempat kerja untuk mencari penghasilan yang lebih besar.

Nah, tidak ada gading yang tak retak atau tidak ada manusia yang sempurna. Maka dari itu, tantangannya adalah bagaimana menyelaraskan keinginan pengusaha dan pekerja Gen Z agar bisa bekerja sama di dunia kerja. Karena sejatinya, kedua belah pihak saling membutuhkan.

Baca juga artikel terkait INSIDER atau tulisan lainnya dari Suli Murwani

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Suli Murwani
Editor: Dwi Ayuningtyas