tirto.id - Haris (bukan nama sebenarnya) hanya bisa merenung ketika membaca berita: banyaknya penduduk usia muda tanpa kegiatan atau youth not in education, employment, and training (NEET) di Indonesia. Dia bertanya-tanya, jangan-jangan dirinya juga termasuk kelompok tersebut.
Selepas lulus Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) pada 2022, Haris belum bekerja sama sekali. Namun, bukan berarti dia tidak melakukan kegiatan apa-apa selama jeda hampir dua tahun itu. Haris tetap berusaha untuk mendapatkan pekerjaan laik.
“Kalau dianggap masuk [NEET] ya enggak tahu juga ya. Tapi, bukan berarti selama ini [saya] tidak melakukan apa-apa,” ujar Haris kepada reporter Tirto, Selasa (21/5/2024).
Menjadi warga asli Cikarang yang notebene dekat dengan kawasan industri rupanya bukan jaminan bakal lebih mudah mendapatkan pekerjaan. Buktinya, Haris dan kawan-kawan kesulitan mendapatkan pekerjaan sesuai dengan jurusannya di SMK, yakni otomotif.
"Kalau melamar, aktif. Cuma kadang-kadang kalah dengan orang dalam," imbuh dia.
Lain dengan Haris, Fiqa (22) justru menolak keras istilah NEET. Meski tidak melanjutkan kuliah selepas SMK dan belum memiliki pekerjaan tetap atau formal, dia tak terima dikategorikan sebagai NEET.
"Jadi terkesan seperti pemalas. Padahal, aku yakin di luar sana mereka juga berjuang mendapat kerjaan," ujar dia kepada Tirto.
Fiqa sendiri sebenarnya memilih bekerja sebagai pekerja informal sebagai nail artist. Meski penghasilannya tidak menentu, dia setidaknya tetap menghasilkan dan berusaha.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), hampir 9,9 juta penduduk usia muda tidak memiliki kegiatan produktif atau NEET. Proporsinya mencapai 22,25 persen dari total penduduk usia 15-24 tahun secara nasional.
BPS mendefinisikan NEET sebagai penduduk usia 15-24 tahun yang berada di luar sistem pendidikan, tidak sedang bekerja, dan tidak sedang berpartisipasi dalam pelatihan. Ini mengindikasikan adanya tenaga kerja potensial yang tidak terberdayakan.
Menurut BPS, ada berbagai alasan yang membuat banyak Gen Z masuk ke kelompok ini. Di antaranya putus asa, disabilitas, kurangnya akses transportasi dan pendidikan, keterbatasan finansial, kewajiban rumah tangga, dan sebagainya.
Menurut Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, kelompok NEET sebenarnya bukan pemalas dan tidak melakukan apa-apa. Namun, mereka justru punya preferensi yang berbeda dengan generasi sebelumnya.
"Mereka cenderung percaya diri, lebih suka dengan pekerjaan yang by remote tidak work at the office 8 jam per hari. Mereka lebih suka travelling daripada suka beli rumah sebagai wujud hasil pekerjaan mereka," kata dia kepada Tirto.
Fenomena Tingginya Angka NEET
Sementara itu, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita, mengamini bahwa angka NEET di Indonesia memang cukup tinggi, sekitar 13 persen dari total Gen Z Indonesia. Menurutnya, tingginya angka NEET disebabkan oleh rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Ekonomi RI dalam satu dekade terakhir memang stagnan berada di kisaran 5 persen.
"Sehingga, daya serap ekonomi atas tenaga kerja baru yang tumbuh, utamanya tentu Gen Z, juga cukup rendah," ujar Ronny.
Ronny menyebut bahwa angkatan kerja baru bertambah setiap tahun. Mereka tentunya datang dari Gen Z yang merupakan generasi angkatan kerja termuda. Jika tingkat pertumbuhan angkatan kerja baru melebihi daya serap perekonomian nasional, peluang angkatan kerja baru menjadi pengangguran bakal semakin tinggi.
Selain pertumbuhan ekonomi yang stagnan, tingkat incremental labour output ratio (ILOR) Indonesia juga cukup rendah. Penyerapan tenaga kerja per 1 persen pertumbuhan semakin hari semakin menurun. Ini terjadi terutama karena disrupsi teknologi dan investasi baru lebih banyak masuk ke sektor non tradeble.
Selain itu, karakter Gen Z saat ini, kata Ronny, juga berbeda dari generasi sebelumnya. Perbedaan karakter itu kemudian memengaruhi cara mereka memandang dunia kerja. Ini membuat sebagian lapangan pekerjaan konvensional yang tersedia terkadang tidak sesuai dengan karakter Gen Z.
"Sementara itu, investasi di sektor teknologi dan start up yang cenderung lebih sesuai dengan karakter Gen Z tidak terlalu ekspansif. Bahkan belakangan banyak yang gulung tikar sehingga menambah potensi pengangguran di Generasi Z," ujar Ronny.
Menurut Ronny, banyaknya NEET jugadisebabkan oleh pemerintah yang belum terlalu optimal mendorong akselerasi investasi di sektor-sektor yang sesuai dengan karakter Gen Z, seperti sektor ekonomi digital, ekonomi kreatif, turisme, dan sejenisnya. Pemerintah masih fokus mendorong sektor konvensional yang dianggap strategis dalam memberikan kontribusi kepada pertumbuhan ekonomi.
"Di sisi lain, biaya pendidikan yang semakin hari semakin mahal membuat Gen Z juga akhirnya tidak terlalu tertarik untuk menjajaki jenjang pendidikan ke level selanjutnya," ujar dia.
Tidak hanya itu, biaya untuk memulai usaha atau bisnis baru pun tidak murah. Apalagi, sebagian Gen Z cenderung sangat konsumtif sehingga kurang mampu mengumpulkan tabungan untuk modal usaha baru.
"Dan terakhir besarnya jumlah NEET di kalangan Gen Z membuktikan bahwa program kartu prakerja gagal," tukas Ronny.
Analis kebijakan ekonomi dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani, menambahkan bahwa ada sudut pandang lain yang perlu dicermati dalam menyikapi tingginya jumlah Gen Z yang masuk kategori NEET. Yang pertama adalah aspek regulasi. Pemerintah harus lebih fokus dan konsisten mendorong kebijakan dan insentif terhadap sektor usaha yang padat karya.
“Sehingga, sektor usaha ini bisa lebih menyerap banyak tenaga kerja,” ujar Ajib.
Ajib menuturkan bahwa indikator terkini menunjukkan rasio penyerapan tenaga kerja menurun dibandingkan investasi yang masuk. Setiap Rp1 triliun investasi yang masuk, hanya mampu menyerap sekira 1.000 tenaga kerja. Karenanya, tingkat serapan tenaga kerja cenderung rendah, meski pencapaian investasi Indonesia over target selama 5 tahun berturut-turut.
“Pemerintah harus fokus dengan insentif yang tepat sasaran dalam konteks penyerapan tenaga kerja,” ujar Ajib.
Aspek kedua, menurut Ajib, adalah sektor privat atau dunia usaha. Secara alamiah, dunia usaha akan selalu berupaya mengoptimalkan efisiensi dan produktivitas. Oleh karena itu, sektor ini cenderung akan menyerap tenaga kerja yang terampil dan terjangkau.
Aspek ketiga adalah cara pandang Gen Z itu sendiri. Menurut Ajib, harus ada upaya peningkatan kualitas sumber daya, produktivitas, dan daya saing Gen Z sehingga mereka bisa matching dengan kebutuhan dunia usaha atau dunia industri yang ada.
Sistem Pendidikan yang Belum Optimal
Sementara itu, Dosen Departemen Sosiologi UGM, Andreas Budi Widyanta, berpendapat bahwatingginya angka NEET tidak lepas dari masalah sistem pendidikan di Indonesia. Pendidikan saat ini dinilainya belum mampu menyiapkan angkatan kerja yang siap di pasar kerja.
"Kita harus mengakui ada kebobrokan yang sangat serius, ada pembusukan serius dalam sistem pendidikan kita," tutur Andreas.
Menurut Andreas, pendidikan vokasi yang selama ini digenjot oleh pemerintah ternyata juga belum cukup berhasil. Vokasi selama ini hanya diproyeksikan untuk meladeni selera pasar. Artinya, seluruh murid yang memiliki talenta diseragamkan dalam sistem pendidikan vokasi.
"Ketika sekolah vokasi digenjot habis-habisan yang terjadi adalah penyeragaman dan pengangguran yang terjadi," imbuh dia.
Di luar masalah sistem pendidikan, Andreas juga menyoroti keabsahan data BPS terkait tingginya angka NEET tersebut. Menurutnya, BPS belum memahami new job yang banyak digeluti oleh Gen Z.
"Nah, new job itu BPS sepertinya belum mengenalinya. Tentu saja, pekerjaan formal yang dimaksudkan BPS itu seperti apa? Ya, itu perlu diredefinisi kembali ya. Pekerjaan formal dari BPS itu mesti diklarifikasi dulu," tutur Andreas.
Andreas percaya bahwa setiap generasi punya kearifan atau pandangan hidup tersendiri. Hanya karena pandangan hidup Gen Z berbeda dari generasi sebelumnya semestinya jangan dijadikan dasar untuk menghakimi bahwa mereka sebagai “produk cacat”--selalu dicap malas, tidak kreatif, dan segala macamnya.
"Saya kira BPS perlu mengembangkan lagi, meriset lebih jauh aktivitas anak-anak Generasi Z ini di berbagai hal yang sebetulnya mungkin tidak nampak," tutup Andreas.
Respons Pemerintah
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Ida Fauziyah, mengatakan bahwa tingginyaangka pengangguran di kelompok usia Gen Z lantaran mereka masih dalam tahapan berproses mencari pekerjaan. Dia pun menyampaikan bahwa pada saat ini, penyumbang angka pengangguran terbanyak adalah lulusan SMK, yakni sekitar 8,9 persen.
"Pengangguran kita ini terbanyak disumbangkan dari lulusan SMK, anak-anak lulusan SMA. Ini terjadi karena adanya miss-match," ujar Ida dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI, di Jakarta, Senin (20/5/2024), sebagaimana dikutip Antara.
Untuk mengatasi masalah tersebut, Ida menyampaikan bahwa pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2022 tentang Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi. Peraturan itu, kata Ida, mengatur bahwa pendidikan dan pelatihan harus mampu menjawab kebutuhan dunia usaha dan industri.
Perpres tersebut juga mendorong diperkuatnya sinergi di antara para pemangku kepentingan terkait, seperti Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Kementerian Ketenagakerjaan, serta Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN Indonesia). Sinergi yang kuat diperlukan untuk menghadirkan tenaga kerja kompeten yang mampu menjawab kebutuhan pasar kerja yang sangat dinamis.
Ida juga menyampaikan bahwa pendidikan vokasi di tanah air perlu dimasifkan untuk mengatasi pengangguran.
"Yang seperti ini (pengangguran) tidak akan terjadi jika Kemnaker tahu apa yang dibutuhkan untuk mengatasi pengangguran. Program Kemnaker, memasifkan pendidikan vokasi," kata dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi