tirto.id - Jumat (21/2/2025) petang, hujan mampir terburu-buru di kawasan Monumen Nasional (Monas). Tiga puluh menit–sebelum berganti sinar mentari sisa hari. Ratusan orang yang memadati area Patung Kuda mulai kembali merapatkan badan. Payung-payung ditutup lagi, ponco dengan berbagai macam warna dilepas kembali. Unjuk rasa dengan tajuk Aksi Indonesia Gelap siap dilanjutkan.
Tania membantu Salsa yang kesulitan melepas jas hujannya. Tania, 19 tahun, baru berkenalan dengan Salsa, 22 tahun, di lokasi unjuk rasa. Keduanya berpapasan di Stasiun Gondangdia dan berkenalan karena sama-sama mengetahui akan menuju lokasi aksi Indonesia Gelap. Bagaimana mereka bisa saling tahu?
“Soalnya Kak Tania pake kaos hitam, aku juga pake setelan hitam-hitam kan. Terus aku lihat dia ngeluarin poster pas keluar stasiun, ya udah aku [minta] bareng,” kata Salsa sambil tertawa ketika ditemui Tirto di lokasi.
Aksi Indonesia Gelap pada Jumat sore itu memang dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat sipil. Mahasiswa, kalangan pekerja, aktivis LSM, ibu-ibu rumah tangga, dan lain-lainnya. Namun, semua memiliki ciri hampir serupa: mayoritas mengenakan setelan hitam. Menunjukkan bahwa negeri ini tengah berkabung dipayungi nasib yang gelap.
Tania sendiri datang dari kalangan mahasiswa. Dia sengaja tak memakai almamater kampus karena hari itu seluruh elemen masyarakat sipil berunggun-padu. Tania datang dari Ciputat, Tangerang Selatan, dan sudah merapat ke lokasi aksi sejak jam dua siang.
Perempuan itu berbekal ransel berisi obat-obatan warung dan sebotol tempat minum. Tania mengaku tidak khawatir merasa kelaparan. Dari pengalamannya menghadiri Aksi Indonesia Gelap, Senin (17/2) sebelumnya, banyak warga dan relawan yang membagikan cemilan dan makanan gratis.
Senin itu di lokasi yang sama, Aksi Indonesia Gelap memang dihadiri ribuan mahasiswa dari berbagai kampus untuk berunjuk rasa.
Ditanya soal alasannya mengikuti Aksi Indonesia Gelap berulang kali, Tania punya jawaban yang menarik. Dia merasa hal itu adalah kewajibannya sebagai warga sekaligus mahasiswa, yakni ambil bagian dalam upaya mengingatkan kekuasaan.
“Kalau pun Minggu depan ada lagi [Indonesia Gelap] pasti saya turun lagi,” tegasnya.
Memakai kacamata bening, kaos band hardcore, dengan kepala tertutup topi–Salsa yang berada di samping Tania mengangguk-angguk sambil tertawa. Salsa adalah mahasiswa sekaligus seorang pekerja magang di salah satu startup. Dia datang dari Kota Depok seorang diri.
Lain dari Tania, Jumat petang itu adalah hari perdana Salsa turun ke jalan untuk mengikuti Aksi Indonesia Gelap. Kesibukan di tempatnya magang menjadi penyebab utama tidak bisa mengikuti aksi yang dimulai sejak awal pekan lalu. Namun, saat Jumat petang itu, dia sengaja absen dari tempat kerja dengan alasan tidak enak badan demi ikut aksi Indonesia Gelap.
“Supervisorku [di tempat kerja] sebetulnya tahu juga [ke sini], tapi mereka fine-fine aja kok,” kata Salsa sambil terkekeh.
Salsa mengaku sudah beberapa kali berpartisipasi dalam unjuk rasa memprotes pemerintah. Dalam Aksi Indonesia Gelap ini, dia merasa tidak bisa lagi berdiam diri tanpa ikut turun ke jalan. Salsa tergerak dengan masifnya partisipasi dan perhatian anak-anak muda dalam Aksi Indonesia Gelap.
Di media sosial, kata Salsa, narasi dan tagar Indonesia Gelap diramaikan oleh diskursus kritis yang dipantik kaum muda.
Sekaligus, Salsa menilai sudah waktunya anak-anak muda bersolidaritas untuk mengkritisi kebijakan pemerintah yang seenak jidat. Sebab kebijakan ngawur hari ini akan berdampak pada masa depan pemuda-pemudi Indonesia. Mengingatkan pemerintah Presiden Prabowo Subianto dan Kabinet Merah Putih yang baru seumur jagung adalah cara yang dinilai tepat.
“Ini kan bisa dibilang baru aja 100 harian pemerintah baru. Mumpung baru, justru kita mulai ingetin jangan seenaknya,” tanggap Salsa.
Aksi Indonesia Gelap
Aksi Indonesia Gelap memang bergulir di berbagai daerah sejak sepekan ke belakang. Ruh protes besar-besaran ini berasal dari barisan mahasiswa. Mereka berkonsolidasi dan turun ke jalan memprotes kebijakan pemerintahan Prabowo-Gibran di 100 hari mereka berkuasa.
Di Jakarta, Indonesia Gelap digawangi Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) yang melakukan protes besar-besaran pada Senin dan Kamis pekan lalu.
Aliansi mahasiswa dari berbagai daerah juga menggaungkan aksi serupa di wilayahnya masing-masing. Di antaranya di Bogor, Bandung, Lampung, Surabaya, Malang, Samarinda, Banjarmasin, NTB, Aceh, Bali, Papua, Pontianak, Malang, Makassar, Riau, Jambi, Yogyakarta, hingga Semarang.
Di jalan, terbukti Indonesia Gelap tak cuma diisi oleh barisan mahasiswa, tapi juga berbagai elemen dari masyarakat sipil lainnya.
Koordinator BEM SI, Herianto, mengatakan bahwa setidaknya ada sembilan tuntutan mahasiswa pada aksi Indonesia Gelap. Di antaranya mengkaji ulang kebijakan pemangkasan anggaran yang dilakukan pemerintah yang dikhawatirkan berpengaruh pada biaya perkuliahan dan sektor pendidikan.
Mereka juga menuntut adanya transparansi pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dianggap merugikan masyarakat dengan melakukan penggusuran. Kemudian, menolak RUU Minerba, Dwifungsi TNI, dan meminta pengesahan RUU Perampasan Aset.
Selain itu, Prabowo-Gibran diminta meningkatkan kualitas sektor pendidikan dan kesehatan nasional. Serta, menolak adanya impunitas kasus-kasus pelanggaran HAM dan meminta mengadili Presiden ke-7 RI, Joko Widodo.
Koordinator Pusat BEM SI, Bagas, mengatakan bahwa aksi bertajuk Indonesia Gelap merupakan sikap yang merangkum berbagai permasalahan yang meresahkan masyarakat. Misalnya, pemerintah memaksakan suatu program tanpa melalui kajian mendalam dan mempertimbangkan struktur kondisi masyarakat.
Itulah sebabnya mahasiswa juga meminta pemerintah mengevaluasi kebijakan Makan Bergizi Gratis (MBG).
“Banyak sekali pemangkasan [anggaran]. Kami menyebutnya bukan efisiensi, tapi pemangkasan, terkait berbagai banyak kementerian dan lembaga yang sangat erat sama kebijakan dan pelayanan publik,” kata Bagas ditemui Tirto di sela-sela aksi Indonesia Gelap di Jakarta, Kamis pekan lalu.
Amarah dan Harapan Kaum Muda
Kembali ke kawasan Monas, Jakarta, Jumat petang, dalam aksi Indonesia Gelap. Pemuda berusia 21 tahun bernama Leon merapatkan tali helm sepeda yang dikenakannya. Bandana hitam bermotif tengkorak rapat menutup hidung hingga mulut Leon.
Sengaja, kata dia, agar tidak terdeteksi aparat kepolisian yang berjaga di balik pagar beton dan kawat di seberang massa aksi.
Leon menilai pemerintahan Prabowo-Gibran semakin menunjukkan gelagat menggunakan operasi aparat dalam menghadapi kritik. Dia menyinggung soal kasus band punk Sukatani yang diduga dipaksa kepolisian membuka topeng yang menjadi identitas panggung mereka hanya untuk memberikan video klarifikasi.
Terlebih, lagu duo musisi itu yang berjudul “Bayar, Bayar, Bayar” ikut dibredel dari platform pemutar musik. Menurut Leon, itu adalah alarm bagi masyarakat sipil untuk turun ke jalan dan mengingatkan pemerintah soal kebebasan warga menyampaikan kritik.
“Sebelumnya, lukisan dilarang, sekarang lagu, besok apa? Kalau kritik dibungkam terus, mau jadi apa ini pemerintah sekarang ini? Mau seperti Orde Baru?,” ungkap Leon menghujamkan pertanyaan-pertanyaan retoris.
Leon menilai Aksi Indonesia Gelap adalah waktunya anak-anak muda menunjukkan kembali tradisi negeri ini: kaum muda sebagai pengawas kekuasaan yang mulai sewenang-wenang.
Generasi muda, kata Leon, sering kali diremehkan sebagai pembuat onar dan tidak memiliki masa depan. Dia tak setuju. Negara, kata dia, seharusnya mampu menjamin masa depan yang layak bagi warganya.
“Negara itu terlalu banyak nuntut sampai lupa kewajiban mereka sendiri menjamin hidup warganya,” ucap Leon.
Sejauh mata memandang, peserta Aksi Indonesia Gelap memang mayoritas diwarnai oleh wajah-wajah muda. Kaum muda ini meneriakkan berbagai kekesalan dan tuntutannya pada pemerintahan yang dinilai bertingkah tanpa arah kebijakan yang jelas.
Seratus hari masa pemerintahan baru adalah sebuah kedipan. Namun dalam kedipan itu, arah kebijakan sudah pasti tercium.
Janji-janji yang dulu mengalun dalam kampanye berubah laiknya barisan puisi yang dikutip setengah hati. Di jalan, ribuan mahasiswa dan pemuda menyusun tubuh mereka menjadi kalimat perlawanan. Perlu diingat, hal ini bukan pertama kalinya pemuda turun ke jalan.
Sejarah telah menunjukkan bahwa kekuasaan yang meremehkan protes barisan pemuda berakhir terperosok menuju kebinasaan.
Salah satu pemuda di lokasi aksi Indonesia Gelap, Arin (21), menilai sebaiknya pemerintah tak menganggap suara protes dari masyarakat sebagai tanda kebencian. Arin amat kecewa melihat respons dari para pejabat yang merespons aksi Indonesia Gelap dengan nada sinis dan pembelaan.
Padahal, kata dia, Indonesia Gelap seharusnya dilihat sebagai bentuk cinta masyarakat sipil—terutama kaum muda–terhadap nasib republik ini.
“Aku heran sih, kok bisa-bisanya ada pejabat yang bilang ‘Indonesia enggak gelap, tapi kamu yang gelap’. Ada yang bilang ini politis-lah, ditunggangi elite-lah, dibayar-lah, aneh sumpah tanggapan begitu. Kayak denial-nya tuh berlapis-lapis aja gitu,” protes Arin.
Jajaran pemerintah memang dalam berbagai kesempatan merespons gelombang protes Indonesia Gelap. Seperti Kamis lalu, Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, menemui langsung demonstran dari elemen mahasiswa di Jakarta. Dia menyampaikan bahwa pemerintah dengan tangan terbuka menerima dan mempelajari tuntutan para mahasiswa.
Sebelumnya, saat berkunjung ke kantor Tirto, Juru Bicara Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Adita Irawati, menyampaikan komentar senada. Adita berujar bahwa pemerintah tentunya mempersilakan masyarakat menggelar unjuk rasa dengan tertib.
Dia menganggap unjuk rasa dilakukan dalam menyampaikan aspirasi, kritik, serta saran. Namun, dia mengingatkan agar masyarakat tak menggelar unjuk rasa yang mengganggu aktivitas warga lain.
Pemerintah pusat, kata dia, turut menghargai unjuk rasa yang disampaikan masyarakat. Dia mengatakan pemerintah mendengarkan masukan yang disampaikan warga.
“Kami dengarkan, tentu itu akan jadi masukan juga bahwa suara mahasiswa khususnya seperti itu, tentu mereka mendengarkan,” kata Adita di kantor Tirto, Jakarta Selatan, Selasa (18/2/2025).
Peserta aksi sekaligus salah satu orator dalam aksi Indonesia Gelap di Jumat lalu, Annisa Azzahra, menilai bahwa protes ini mencerminkan bahwa kaum muda bukan cuma generasi rebahan dan generasi medsos. Generasi Z justru menjadi corong menyampaikan tuntutan dari masyarakat luas.
Itu terbukti dari dominasi peserta aksi yang dipenuhi kaum muda. Kata Annisa, mereka merupakan generasi yang kritis dan penuh harapan.
Gen Z merupakan kelompok yang lebih cair dan tidak terbebani dengan sekat-sekat politik dan kelompok. Hal ini membuat mereka lebih cepat melakukan konsolidasi dan perlawanan. Annisa menegaskan, aksi Indonesia Gelap adalah bukti bahwa kaum muda dalam berbagai kesempatan, dapat mendorong datangnya perubahan.
“Dan juga ini salah satu cara untuk menunjukkan bahwa Gen Z itu marah. Kami marah dan kami juga punya suara dan kami sadar untuk menggunakan suara kami itu,” ungkap Annisa kepada Tirto.
Maka gelap ini bukan akhir. Ia cuma sebuah tanda. Bahwa cahaya perlu diciptakan. Bahwa pemimpin yang negarawan tidak bersembunyi dalam tembok istana, melainkan yang berani menghadapi kritik dan mendengar keluhan.
Jika momen seratus hari ini hanya menjadi prolog dari sesuatu yang lebih suram–maka mungkin, setelah gelap—ada sesuatu yang lebih terang yang menunggu momen untuk lahir. Persoalannya kini, apakah generasi tua yang duduk di jajaran kursi pemerintahan rela mendengar dan melaksanakan tuntutan?
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi