Menuju konten utama
Newsplus

Membaca Pola Kepemimpinan Prabowo dari 'Presiden Menjawab'

Pengamat menyebut pernyataan Prabowo dalam 'Presiden Menjawab', mengkerdilkan partisipasi masyarkat dan berisiko memundurkan demokrasi.

Membaca Pola Kepemimpinan Prabowo dari 'Presiden Menjawab'
Tangkapan layar - Presiden Prabowo Subianto melangsungkan pertemuan dengan tujuh jurnalis, yakni Alfito Deannova (Pemred detikcom), Lalu Mara Satriawangsa (Pemred Tvone), Uni Lubis (Pemred IDN Times), Najwa Shihab (Founder Narasi), Sutta Dharmasaputra (Pemred Harian Kompas), Retno Pinasti (Pemred SCTV-Indosiar), dan Valerina Daniel (News Anchor TVRI) di Hambalang, Jawa Barat, Minggu (6/4/2025). (ANTARA/Andi Firdaus)

tirto.id - Pada Minggu (6/4/2025), Prabowo menerima wawancara dengan enam orang pemred di kediamannya di Hambalang, Jawa Barat, seperti terlihat di video ini. Jurnalis yang hadir pada sesi 'Presiden Menjawab' tersebut adalah Pemred detikcom, Alfito Deannova Gintings; Pemred IDN Times, Uni Lubis; Pemred tvOne, Lalu Mara Satriawangsa; Founder Narasi, Najwa Shihab; Pemred Harian Kompas, Sutta Dharmasaputra; dan Pemred SCTV-Indosiar, Retno Pinasti. Penyiar TVRI, Valerina Daniel turut serta menjadi moderator dari sesi yang berlangsung selama 3,5 jam tersebut.

Jawaban Presiden Prabowo Subianto dalam sesi diskusi bersama dengan para pemimpin redaksi (pemred) media nasional, terkesan ‘kabur’. Alih-alih memberikan solusi tegas dan jelas terkait berbagai isu yang ditanyakan, kepala negara itu malah terkesan defensif dan tidak memberikan jawaban memadai atau memuaskan publik.

Duduk dalam meja bundar, Prabowo memberi pemaparan soal 150 hari masa pemerintahannya di sekitar 26 menit awal. Lalu secara berurutan, berlawanan arah jarum jam –sesuai urutan sebut di atas, para jurnalis yang hadir melontarkan pertanyaan.

Namun ada setidaknya dua sesi dialog yang kemudian ramai mendapat perhatian publik. Pertama, saat Founder Narasi, Najwa Shihab, menyinggung mengenai pembahasan undang-undang oleh DPR dan pemerintah yang kurang melibatkan partisipasi publik dan tidak transparan.

Najwa mempertanyakan alasan sulitnya masyarakat mengakses draf resmi rancangan undang-undang yang menuai polemik, seperti revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI (RUU TNI) dan revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian (RUU Polri).

Prabowo menjawab pertanyaan tersebut secara implisit. Ia menegaskan bahwa Indonesia sejatinya memiliki sistem politik. Dia menjelaskan, seluruh isi Rancangan Undang-Undang sudah dibahas semua oleh partai politik yang dipilih oleh rakyat. Secara tidak langsung, dapat diasumsikan bahwa partisipasi publik dalam hal ini sudah terwakilkan oleh anggota DPR di Senayan.

“Bahwa semua Undang-Undang itu dibahas oleh semua partai politik yang dipilih oleh rakyat. Kan, begitu, kan? Jadi, itu ya. Tapi, terima kasih masukan itu. Saya akan kasih perhatian khusus sekarang,” jawab Prabowo.

Prabowo juga sempat menyoroti secara khusus UU TNI. Dia menganggap bahwa masalah krusial dari revisi beleid tersebut terletak pada penambahan usia pensiun saja. Selebihnya, dinilai tidak ada masalah. “Tapi yang intinya itu kan yang ada perubahan, yang lain kan tidak ada,” imbuh Prabowo.

Merasa tidak puas dengan jawaban Prabowo, Najwa kembali menyinggung transparansi mengenai isi draf saat masih berupa RUU TNI tersebut. Sebab, selama proses pembahasan tidak ada akses publik ke dokumen konsep RUU TNI.

Prabowo menanggapi, kembali dengan narasi serupa sebelumnya, kalau ada wakil rakyat, yang juga termasuk dari partai luar pemerintahan, yang bisa tidak setuju terhadap isinya. Meski kemudian, Prabowo berjanji akan memperbaiki mekanisme atau proses legislasi pembentukan UU ke depan secara lebih transparan.

“Jadi dalam arti mari kita koreksi itu. Kalau tidak puas dengan transparansi, kita bikin transparan. Tapi jangan ngarang gitu loh (draf-nya)," ujar Prabowo.

Sesi dialog lain yang menarik perhatian, terjadi beberapa menit sebelumnya. Prabowo menanggapi secara blak-blakan soal aksi demonstrasi yang telah beberapa kali terjadi dalam 150 hari terakhir.

Dia menjawab pertanyaan Pemimpin Redaksi IDN Times, Uni Lubis, soal pandangan mengenai aksi demonstrasi dan tindak kekerasan aparat dalam sejumlah aksi massa, termasuk teranyar, saat penolakan RUU TNI.

Mulanya, Prabowo menjawab bahwa aksi demonstrasi merupakan hal biasa dalam negara sebesar Indonesia. Dia juga menyebut kalau sebagai negara demokrasi, aksi massa dijamin oleh Undang-Undang Dasar (UUD) untuk berkumpul dan bersikap. Namun, kemudian dia mencurigai sejumlah demonstrasi, yang disebut menyulut kerusuhan.

“Coba perhatikan secara objektif dan jujur ya, apakah demo-demo itu murni atau ada yang bayar? Harus objektif dong. Pertama, ada demo melawan efisiensi, (kemudian) demo katanya dana pendidikan akan dikurangi, demo (lainnya), jadi harus objektif,” ujar Prabowo.

Presiden Ke-8 RI itu juga sempat menyoroti dalam pengelolaan suatu negara, pemerintah perlu waspada akan adanya kelompok-kelompok atau kekuatan asing yang ingin mengadu domba.

“Demo itu hak tapi juga kalau demo dibuat untuk menimbulkan kekacauan dan kerusuhan ini menurut saya adalah melawan kepentingan nasional dan melawan kepentingan rakyat,” ujar Prabowo menyimpulkan.

Cara Berpikir Keliru

Pengajar Hukum Tata Negara dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Herdiansyah Hamzah, menilai cara berpikir Prabowo dalam sesi wawancara bersama dengan beberapa pemred media tersebut banyak keliru. Dalam hal partisipasi publik misalnya, partisipasi itu harus berangkat dari keterlibatan masyarakat dan tidak bisa diwakilkan oleh DPR.

“Justru itulah cara berpikir yang keliru dari Prabowo. Jadi logika ini yang terbolak-balik dari cara berpikir Prabowo,” ujar pria yang akrab disapa Castro kepada Tirto, Rabu (9/4/2025).

Castro justru menyimpulkan modal partisipasi sekarang yang dipraktikkan oleh pemerintah dan DPR adalah partisipasi manipulatif. Seolah ada proses partisipasi, tapi sebenarnya tidak ada sama sekali dan yang ada hanya formalitas. “Jadi tidak mengherankan kalau kemudian setiap UU dibuat tidak melibatkan partisipasi publik secara luas. Karena begitu cara berpikir pemerintah,” ujar dia.

Prabowo Subianto

Presiden RI Prabowo Subianto saat berpidato usai pelantikan di Jakarta, Minggu. (20/10/2024). ANTARA/Youtube Sekretariat Presiden/pri.

Sementara Analis Sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, mengatakan Presiden Prabowo seperti masih melihat demokrasi dengan mekanisme formal semata. Misalnya saat menanggapi pertanyaan Najwa soal minimnya transparansi pembentukan UU. Jawaban Prabowo, yang menyebut wakil rakyat sebagai corong suara masyarakat terkesan naif.

“Jawaban itu sangat klise, dan justru masalahnya di sana. Transparansi tidak terjadi justru karena wakil rakyatnya tidak transparan. Terlihat sekali kalau Prabowo melihat demokrasi secara prosedural,” ucap Musfi kepada Tirto, Rabu (9/4/2025).

Menurut dia, jika Prabowo masih melihat demokrasi secara prosedural, dampaknya akan ada pada penerapan demokrasi yang semakin luntur. Terlebih dalam laporan Economist Intelligence Unit (EIU), indeks demokrasi Indonesia menunjukkan tren menurun dalam tiga tahun terakhir. Data itu bisa menjadi cerminan minimnya usaha untuk membuat perbaikan demokrasi.

“Yang kita khawatirkan, nanti kan ada berbagai persoalan kebebasan sipil yang jawabannya sangat klise dan prosedural. Karena demokrasi sudah berjalan secara prosedural, berbagai aspek lainnya akan dilihat sebagai angin lalu. Ya karena itu tadi, di atas kertas demokrasi dinilai sudah berjalan,” jelas Musfi.

Mengkerdilkan Partisipasi Masyarakat

Lebih lanjut, terkait pernyataan soal ‘draf palsu’, kemunculannya juga bukan tanpa sebab. Menurut Dosen Hukum Tata Negara Unmul, Castro, ini dapat terjadi, sebab tidak adanya dokumen resmi yang dibuka secara luas kepada publik.

“Jadi berbagai macam draf itu muncul dan berkembang karena prosesnya tidak transparan. Coba jika draf itu dibuka kepada disebarkan kepada publik tidak mungkin ada peredaran draf lain. Pangkal masalahnya ada di DPR dan pemerintah kita,” jelas Castro.

Selain itu, Castro juga menyayangkan pernyataan Prabowo soal adanya aksi demonstrasi yang dibayar. Narasi ini memberi kesan masyarakat yang tidak bisa berpikir dan bergerak atas arahan pihak lain. “Itu kan sama saja dengan mengkerdilkan gerakan masyarakat sipil. Seolah-olah kita ini bodoh ditunggangi oleh berbagai perspektif,” pungkas dia.

Satpol PP Bubarkan Aksi Massa Penolak UU TNI

Aparat Satpol PP membubarkan paksa aksi massa penolak Undang-undang (UU) TNI yang berkemah di area trotoar depan Gerbang Pancasila Komplek MPR/DPR RI pada Rabu (9/4/2025) pukul 16.30 WIB. Tirto.id/M. Irfan Al Amin

Peneliti senior dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, juga sepaham. Menurut dia, ucapan demonstrasi massa karena ada yang membayar harusnya tidak keluar dari mulut presiden.

Idealnya, kata Lucius, aksi demonstrasi yang ditujukan kepada DPR dan pemerintah direspons secara objektif dan bijak. Presiden harus mendengar dengan sungguh-sungguh suara atau aspirasi masyarakat yang berdemonstrasi.

“Tudingan presiden soal demo berbayar cenderung merendahkan martabat rakyat. Bagaimana bisa seorang Presiden merendahkan rakyatnya sendiri?” ujarnya kepada Tirto, Rabu (9/4/2025).

Risiko Kemunduran Demokrasi

Sementara itu, Manajer Riset dan Program dari The Indonesian Institute (TII), Felia Primaresti, menilai diskusi presiden dengan beberapa pemimpin redaksi media mencerminkan pola kepemimpinan Prabowo yang elitis dan kurang peka terhadap dinamika sosial. Komunikasi haya dengan elit media tidak memberi kesempatan bagi masyarakat akar rumput, terutama mereka yang vokal terhadap kebijakan pemerintah.

“Ketimpangan ini semakin mempersempit ruang demokrasi dan mengikis kepercayaan publik terhadap mekanisme partisipasi yang seharusnya menjadi bagian dari pemerintahan yang sehat,” ujar Felia kepada Tirto, Rabu (9/4/2025).

Pernyataan Prabowo dalam menanggapi polemik pengesahan Undang-Undang TNI juga mengindikasikan pemahaman yang lemah terhadap substansi regulasi yang sedang diperdebatkan. Alih-alih membahas inti permasalahan yang menjadi keresahan publik, ia justru mengaitkan gelombang protes dengan campur tangan asing dan menyalahkan keberadaan ‘draft palsu’. Pendekatan seperti ini jelas menunjukkan lemahnya analisis sosial serta ketidakmampuannya untuk memahami mengapa partisipasi publik itu penting.

“Jika pola ini terus berlanjut, kebijakan yang dihasilkan berisiko semakin jauh dari realitas dan kebutuhan masyarakat, menciptakan keputusan yang tidak hanya kurang legitimasi tetapi juga rentan ditolak oleh publik,” imbuh dia.aksi menollak RUU TNI

Massa melakukan aksi tolak UU TNI di halaman kantor Gubernur-DPRD Jateng, Kamis (20/3/2025). tirto.id/Baihaqi Annizar

Melalui diskusi bertajuk ‘Presiden Menjawab’ itu, menurut Felia, menunjukkan kepemimpinan Prabowo yang berorientasi pada kecepatan tanpa memperhitungkan proses deliberatif yang sehat. Pernyataan Prabowo mengenai, "rakyat miskin dan lapar tidak bisa menunggu," menjadi justifikasi untuk mengambil keputusan sepihak, seolah-olah aspirasi publik hanyalah penghambat.

Padahal, kebijakan yang diputuskan secara terburu-buru dan tanpa konsultasi luas justru berpotensi menimbulkan dampak yang lebih besar. Felia berpendapat, sikap ini mencerminkan pendekatan yang otoriter. Hal ini tercermin dari pengambilan keputusan dari sudut pandang sendiri tanpa mendengarkan pihak lain, mengabaikan kompleksitas persoalan yang ada, serta menghindari akuntabilitas yang seharusnya melekat dalam proses pengambilan kebijakan.

Menurut dia, jika model kepemimpinan dan pemerintahan seperti ini terus dipertahankan, Indonesia bisa mengalami kemunduran demokrasi yang lebih dalam. Ruang partisipasi publik semakin menyempit, kebijakan yang dihasilkan semakin tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat, dan legitimasi pemerintahan semakin melemah.

“Alih-alih membawa solusi, pola kepemimpinan yang eksklusif dan defensif ini justru berisiko menciptakan instabilitas politik serta ketidakpuasan sosial yang semakin sulit dikendalikan,” pungkas dia.

Baca juga artikel terkait PRABOWO atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Alfons Yoshio Hartanto