tirto.id - Ratusan mahasiswa se-Bali yang tergabung dalam Aliansi Bali Tidak Diam menggelar aksi demonstrasi bertajuk Indonesia Gelap Darurat Pendidikan, Senin (17/2/2025). Berdasarkan pantauan Tirto di lapangan, rombongan massa tiba di depan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Bali pada pukul 11.30 WITA dengan spanduk bertuliskan “Tut Wuri Efisiensi.”
Tidak lama setelah itu, sekitar pukul 11.40 WITA, Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris DPRD Provinsi Bali, I Gusti Ngurah Wiryanata, menemui para demonstran di depan gedung DPRD Provinsi Bali. Wiryanata berharap, para mahasiswa dapat menyampaikan keresahannya di dalam Wantilan DPRD Provinsi Bali.
“Kita berpikir bersama, dialog bersama, kemudian bersama-sama menemukan jawabannya. Gedung DPRD tidak pernah tutup, kita buka selebar-lebarnya untuk komponen masyarakat yang sekiranya ingin menyampaikan sesuatu kepada dewan. Itu saya jamin,” kata Wiryanata kepada massa aksi, Senin (17/2/2025).
Rombongan massa baru memasuki Wantilan DPRD Provinsi Bali pada pukul 12.05 WITA setelah berdiskusi. Di dalam sana, Ketua DPRD Provinsi Bali, Dewa Made Mahayadnya, beserta pimpinan lainnya, menyambut dan mempersilakan massa aksi menyampaikan aspirasi mereka.
Mewakili Aliansi Bali Tidak Diam, Wakil Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Udayana, I Ketut Indra Adiyasa, menuntut pencabutan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD 2025. Para mahasiswa menilai, kebijakan tersebut berdampak pada sektor pendidikan, terutama di perguruan tinggi.
“Tercantum pada alinea keempat UUD 1945, tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan efisiensi, ada anggaran yang berkurang dari pendidikan, dialokasikan ke program lainnya,” kata Indra mewakili Aliansi Bali Tidak Diam.
Pemotongan anggaran tersebut, menurut Indra, berdampak pada KIP-K, proses perkuliahan di perguruan tinggi, beasiswa, bahkan memiliki pengaruh terhadap organisasi kemahasiswaan (ormawa) dan program kerja rektorat.
“Pendidikan dan kesehatan seharusnya menjadi prioritas utama itu, malah menjadi program pendukung,” kata dia.
Menurut Firmansyah, salah satu peserta aksi yang menyampaikan aspirasinya di depan pimpinan DPRD Provinsi Bali, dalam anggaran Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek) terdapat pengurangan sebesar 20 persen dalam anggaran riset.
“Menurut kami, mahasiswa, dana riset tersebut adalah untuk menjamin dan membentuk SDM yang berkualitas," ungkap Firmansyah.
Selain itu, Firmansyah juga mengkhawatirkan belum adanya hal tertulis dan dijamin legalitasnya untuk memastikan bahwa dana beasiswa dan UKT tidak terjamah efisiensi anggaran. Dia juga khawatir adanya RUU Minerba yang memungkinkan perguruan tinggi mengelola tambang.
“Intinya, kami di sini, Aliansi Bali Tidak Diam, secara tegas menolak adanya privatisasi, komersialisasi, dan liberalisasi pendidikan dari kebijakan-kebijakan yang ada,” kata dia.
Lima Tuntutan Mahasiswa se-Bali
Mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Bali Tidak Diam mengkritisi kondisi pendidikan di Indonesia dalam lima tuntutan. Tuntutan tersebut secara langsung disampaikan di hadapan Ketua DPRD Provinsi Bali, Dewa Made Mahayadnya, beserta pimpinan yang hadir di Wantilan DPRD Provinsi Bali, Senin (17/2/2025). Sebelumnya, lima tuntutan tersebut sudah dibahas para mahasiswa dalam konsolidasi aksi pada hari Sabtu (15/2/2025).
Tuntutan pertama adalah pencabutan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 dan Surat Menteri Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025 oleh pihak pemerintah, termasuk Presiden dan Kementerian Keuangan. Mereka juga menginginkan naiknya anggaran pendidikan, terutama dana operasional untuk perguruan tinggi dan beasiswa, serta perluasan akses pendidikan tinggi kepada kelas buruh dan tani.
“Kedua, kami mendesak pemerintah untuk segera mengkaji ulang kebijakan makan bergizi gratis, serta menempatkan sektor pendidikan dan kesehatan sebagai prioritas utama,” kata Indra Adiyasa, membacakan tuntutan di Wantilan DPRD Provinsi Bali.
Pada tuntutan ketiga, mahasiswa mendesak pemerintah untuk segera membayarkan dan menganggarkan tunjangan kinerja (tukin) untuk tenaga pengajar yang belum dibayarkan. Mereka mendasarkan tuntutan tersebut pada UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Mahasiswa juga menolak perguruan tinggi untuk mengurus izin tambang dalam pembaruan UU Minerba. Langkah tersebut dinilai berpotensi merusak integritas sektor pendidikan dan tidak sesuai prinsip sektor pendidikan yang bebas dari komersialisasi.
“Lima, menuntut Presiden Republik Indonesia untuk segera mengambil langkah nyata dalam pemerataan pendidikan melalui akses perguruan tinggi yang setara untuk seluruh masyarakat Indonesia demi terwujudnya pencerdasan kehidupan bangsa," tegas Indra.
DPRD Bali Janji Sampaikan Tuntutan ke Kemendagri
Ketua DPRD Provinsi Bali, Dewa Made Mahayadnya, berjanji di hadapan ratusan mahasiswa se-Bali untuk menyampaikan lima tuntutan tersebut kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Hal ini dikarenakan DPRD tingkat provinsi berada di bawah Kemendagri.
“Ada kelompok ahli yang akan mengkongkretkan nanti dalam bentuk surat kepada Bapak Presiden melalui Kementerian Dalam Negeri. Itu yang sesuai undang-undang," terang Mahayadnya.
Politikus dari Fraksi PDIP tersebut memastikan, sampai saat ini belum ada anggaran dalam APBD Provinsi Bali yang terkena pemotongan atau efisiensi seperti yang tertuang dalam Inpres.
“Dengan 20 persen anggaran (pendidikan), ini masih tetap. Saya bisa nyatakan seratus persen masih. Perubahannya apa? Gubernur definitif yang punya hak pengajuan," ujarnya.
Wakil Ketua III DPRD Provinsi Bali, Komang Nova Sewi Putra, menyetujui tuntutan yang para mahasiswa sampaikan ke hadapan DPRD Provinsi Bali. Kekhawatirannya adalah pemangkasan dana terhadap kajian dan beasiswa.
“Kajian ini yang menjadi hal yang diragukan (untuk pemangkasan anggaran). Kajian seperti apa? Kajian-kajian ini (jika dipotong), jangan sampai mengurangi hasil dari pendidikan itu sendiri," tutur Nova.
Sementara itu, Ketua Komisi III DPRD Provinsi Bali, I Nyoman Suyasa, menyampaikan tidak semua anggaran terkena imbas efisiensi anggaran. Program-program yang berhubungan dengan peningkatan sumber daya manusia dan peningkatan kualitas pendidikan, seperti beasiswa KIP-K, Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI), afirmasi, dan beasiswa dosen, tidak terdampak efisiensi.
“Yang dipangkas seperti ATK (alat tulis kantor), kemudian perjalanan dinas, tenaga kantor penyetaraan, jasa konsultan. Seperti itu yang tidak memengaruhi pemenuhan pendidikan," tambahnya.
Politikus Gerindra tersebut mengatakan efisiensi anggaran adalah sebuah kebijakan yang punya dampak positif terhadap keuangan. Namun, kebijakan tersebut juga menuai pro dan kontra karena mengundang dinamika.
“Efisiensi ini saya kira positif untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Dari yang enak-enak itu jadi ketat, disiplin, dan efektif, akan ada pro dan kontra. Nanti pemangkasan juga sesuai dinamika, kalau ada hal yang tidak perlu dipangkas, tidak dipangkas," ujar Suyasa.
Sebagai langkah nyata dan bukti kesepakatan bersama aliansi mahasiswa, DPRD Provinsi Bali menandatangani pakta integritas dan membuat video yang memuat pernyataan sikap terkait tuntutan dalam isu pendidikan tersebut.
“Kami akan meneruskan kepada Kementerian Dalam Negeri yang nantinya akan meneruskan kepada Bapak Presiden tentang tuntutan dari Aliansi Bali Tidak Diam,” ungkap Mahayadnya ketika membuat video pernyataan bersama para mahasiswa se-Bali.
Di tempat terpisah, Pj Gubernur Bali, Sang Made Mahendra Jaya, mengatakan efisiensi anggaran tidak mempengaruhi Bali. Hal tersebut disebabkan karena Bali mengalami Silpa (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran) yang positif.
“Kita Silpa-nya cukup besar. Di atas Rp500 miliar. Kita tambah kegiatan-kegiatan yang penting untuk masyarakat, kita perkuat. FGD itu tidak perlu ada, langsung saja menyentuh sasaran. Itulah efisiensi," kata Mahendra ditemui di Wiswa Sabha, Denpasar, Senin (17/02/2025).
Menyambung pernyataan Mahendra, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Bali, I Wayan Wiasthana Ika Putra, menyatakan tidak ada pemangkasan atau efisiensi dana untuk sektor pendidikan dan sosial di Provinsi Bali.
“Justru itu yang jadi prioritas. Itu untuk kemiskinan, pendidikan, kesehatan, prioritas. (Efisiensi) wajib kita taati, tapi kita cari yang benar-benar memang tidak mengurangi pelayanan publik, untuk mengentaskan kemiskinan," ucapnya.
Penulis: Sandra Gisela
Editor: Abdul Aziz