Menuju konten utama
Periksa Data

Generasi Z Manja dalam Bekerja, Mitos atau Fakta?

Sebanyak 87,97 persen responden Gen Z merasa penting untuk mengalokasikan waktu dan tenaga untuk pekerjaan mereka di luar jam kerja normal.

Generasi Z Manja dalam Bekerja, Mitos atau Fakta?
TVR GEN Z

tirto.id - Sejak kepindahannya dari Yogyakarta ke ibukota 3 bulan terakhir, Retno, 24 tahun, menjalani hari-harinya sebagai seorang strategic planner di sebuah agensi di Jakarta Selatan.

Namun, satu hal yang tak hilang dari rutinitasnya yakni melakoni pekerjaan sampingan. Setiap akhir pekan, Retno meluangkan waktu beberapa jam untuk menggarap pekerjaan sampingannya secara remote untuk sebuah agensi di Yogyakarta.

“Sebenernya titelnya itu freelance, namun pada kenyataannya aku ngerjainnya secara reguler. Karena kan kerjaannya emang bikin content planning ya, yang emang harus diperharui setiap minggu,” tuturnya kepada Tirto, Senin (24/10/2022).

Kala memilih pekerjaan, Retno memperhatikan tiga hal utamanya kesempatan untuk mengembangkan diri atau aspek self-advancement. Kedua dan ketiga-yang menurutnya punya posisi setara adalah pertemanan atau lingkungan kerja dan wealth accumulation alias urusan finansial.

“Tentu saja tidak ada company yang sepenuhnya sempurna ya, jadi waktu itu sebenernya aku mengorbankan friendship-nya gitu. Karena kalo secara self-advancement aku percaya karena memang secara background supervisornya itu lebih matang, lebih berpengalaman juga, dan secara leadership juga lebih baik. Jadi aku bisa percaya bisa tertular gitu lho ilmu-ilmu dari orang-orang yang di sana,” tukas Retno.

Berkebalikan dengan stereotip “manja dan bermental lemah” yang kerap dilekatkan pada Gen Z, Retno justru memberi gambaran pekerja yang gigih. Dalam kesehariannya, ia bahkan tidak jarang bekerja sampai larut malam lantaran mesti mempelajari lebih dulu pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Ketika berhasil rampung, ia merasakan ada kepuasaan.

“Maksudnya aku penasaran juga kayak sejauh mana aku bisa mengerjakan itu, jadinya ya aku willing-willing aja [kerja sampai larut], meskipun ya capek. Cuman once itu udah di-appreciate, ya aku udah yang oh oke berarti aku sudah level up. Karena aku sudah bisa mengerjakan satu hal baru yang belum pernah kukerjain,” tuturnya.

Segendang sepenarian, riset Tirtopada September lalu yang melibatkan Gen Z dan Milenial juga menemukan hal yang sama. Riset tersebut melibatkan 1.500 responden, meliputi 749 Gen Z dan 751 Milenial yang belum dan sedang bekerja. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Gen Z sendiri adalah generasi yang lahir pada periode 1997 – 2012.

Pertama, Tirto menemukan bahwa jauh dari kata malas, lebih dari setengah responden Gen Z dan Milenial memiliki pekerjaan sampingan baik penuh waktu maupun paruh waktu. Jumlah pekerjaan sampingan mereka beragam, ada yang satu atau lebih pekerjaan paruh waktu, satu pekerjaan penuh waktu, dan proyek-proyek serabutan.

Seperti Retno, alasan Gen Z punya pekerjaan sampingan ini didominasi oleh keinginan menguasai banyak keahlian yang berbeda (29,98 persen) dan mengembangkan minat atau passion.

Jadi, Gen Z bisa dikatakan malah rajin dalam mengembangkan diri mereka dengan pekerjaan lain di luar jam kerja.

Lalu, penelitian Tirto yang sama juga menemukan bahwa di luar jam kerja, selain melakukan pekerjaan sampingan, 87,97 persen Gen Z juga merasa penting untuk mengalokasikan waktu dan tenaga untuk pekerjaan mereka di luar jam kerja normal.

Hasil survei ini lagi-lagi berkebalikan dengan stereotip Gen Z yang disebut manja dan bermental lemah.

Gaji Bukan Nomor Satu, Tapi Esensial

Laporan Tirtoyang sama mengungkapgaji menjadi nomor kesekian bagi Gen Z dalam mendefinisikan kriteria ideal atas pekerjaan. Mayoritas pekerja Gen Z, memilih pekerjaan yang memungkinkan mereka untuk punya work-life balance, dengan kata lain memiliki keseimbangan waktu kerja dan waktu luang yang baik. Urutan kedua yang juga penting: lingkungan kerja ramah dan saling mendukung.

Senada, studi terbaru Nurqamar, dkk (2022) yang dimuat Jurnal Bisnis, Manajemen, dan Informatika (JBMI), menyebut bahwa faktor yang dapat mendorong minat Gen Z dalam bekerja meliputi aspek dukungan perusahaan, lingkungan kerja, fleksibilitas kerja, dan kompensasi finansial. Riset tersebut dilakukan kepada 150 orang Gen Z berusia 15 – 26 tahun yang bertempat tinggal di Makassar.

Meski demikian, hal itu tak kemudian berarti “gaji layak” dianggap perkara main-main. Misalnya, para Gen Z dalam riset Tirto yang menganggap alokasi waktu di luar jam kerja tidak penting punya alasan bahwa, salah satunya hal tersebut tidak sepadan dengan gaji mereka. Masih merujuk riset Tirto, gaji yang kurang memadai juga jadi jawaban paling populer sebagai alasan Gen Z pindah tempat pekerjaan.

Sebagaimana Retno bilang, urusan finansial tetap esensial dalam definisi pekerjaan ideal meski bukan perkara utama. Jadi, alih-alih menyalahkan Gen Z yang manja, masalah renumerasi ini mungkin perlu mulai diperhatikan.

Realita di lapangan menunjukkan masih banyak anak muda yang diupah di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) kendati sudah bertahun-tahun bekerja. Sebabnya, pengawasan di lapangan tak berjalan sesuai aturan di atas kertas.

BPS pada Februari 2022 mencatat rerata upah bersih bulanan kelompok usia 15 – 19 tahun hanya berkisar Rp 1,7 juta. Begitupun untuk kelompok usia 20 – 24 tahun, rata-rata upah bulanannya masih di angka 2,2 juta.

Secara global, survei yang dilaksanan Deloitte selama November 2021 – Januari 2022 menguak sebanyak 46 persen Gen Z dan 47 persen Milenial hidup dari gaji ke gaji dan merasa khawatir mereka tak bisa mencukupi kebutuhannya. Laporan tersebut juga mengungkap, biaya hidup merupakan kekhawatiran terbesar Gen Z dan Milenial.

Pun, kembali ke soal pekerjaan sampingan, jawaban tertinggi ketiga sebagai alasan Gen Z untuk punya pekerjaan sampingan kembali ke gaji yang tak mencukupi kebutuhan. Hal ini terutama paling nampak di kelompok status sosial ekonomi (SES) menengah.

Jadi, masihkah berpikir bahwa Gen Z generasi manja?

Baca juga artikel terkait LAPSUS SUMPAH PEMUDA atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty