tirto.id - Selama duduk di bangku kuliah, Anais* sudah diwanti-wanti jika dunia kerja tak selamanya penuh warna seperti pelangi. Kredo itu dibuktikan sendiri oleh Anais, beberapa saat selepas lulus dari perguruan tinggi ternama di Yogyakarta. Dunia kerja, lebih sering, justru berwarna kelabu; dingin, tak ada ampun, dan timpang.
Anais adalah perempuan berusia 25 tahun. Ia bermimpi melanjutkan pendidikannya hingga pasca-doktoral dan menjadi peneliti. Untuk mewujudkan mimpi itu, selama kuliah, ia sudah bekerja paruh waktu sebagai penulis konten dan manajer media sosial, semata demi menambah pengalaman dan uang jajan serta membangun portofolio sebagai bekal bekerja secara profesional kelak. Pendek kata, ia sudah terbiasa memiliki lebih dari satu pekerjaan.
Begitu lulus dua tahun lalu, dia pindah ke Jakarta dan bekerja sebagai penulis di bermacam media daring. Menulis memang menjadi kegemarannya sejak dulu. Ia pun tak menemukan kesulitan berarti ketika mencari perusahaan yang membutuhkan keahliannya. Namun memiliki pekerjaan tak lantas membuat Anais bisa memiliki waktu santai dan menikmati gaji. Ia justru terkungkung dalam labirin masif bernama dunia kerja: terperangkap di lebih dari satu pekerjaan.
“Pekerjaan [profesional] pertama saya adalah menjadi penulis lepas,” tutur Anais kepada Tirto, awal September. “Lalu saya menambah pekerjaan penuh waktu sebagai social media manager di Jakarta Selatan. Setahun setelah bekerja sebagai penulis lepas, saya diangkat menjadi produser video. Saya juga mengambil pekerjaan lepas di berbagai tempat.”
Alasan Anais jelas belaka, tuntutan hidup membuatnya pernah bekerja di tiga hingga empat tempat sekaligus. Gajinya bekerja penuh waktu saat itu hanya sedikit di atas Upah Minimum Regional. Sementara ia harus menanggung biaya indekos, makan, transportasi, jajan dan memanjakan diri, serta ongkos psikiatri untuk perawatan bipolar disorder yang dideritanya.
Alih-alih sejahtera, Anais malah semakin terpuruk. Jam tidurnya berantakan. Pola makannya tak terkontrol. Mood-nya memburuk dan mudah marah. Gaya hidup itu memicu penyakit diare dan asam lambung (gastroesophageal reflux disease) yang memaksanya tidur dalam posisi duduk.
Puncaknya ia sempat dihantui pikiran bunuh diri dan ingin melukai diri sendiri.
“Setiap bangun alih-alih merasa segar malah menangis karena tak kuat,” kata Anais. “Yang pasti saat itu saya sering rapat sampai jam 11 malam lalu lanjut bekerja hingga jam 1 dini hari. Saya juga sering kehilangan fokus, binge eating atau tidak makan sama sekali, sampai kelewatan rapat dan deadline pekerjaan karena sudah kelewat lelah. Kelalaian itu membuat saya mendapat surat peringatan dari kantor.”
Kenyataan ini mungkin tak pernah dipaparkan dalam perkuliahan mana pun. Apalagi ketika budaya dan sistem kerja yang selama ini dianut nenek moyang dan generasi terdahulu hanya menuntut seseorang untuk memiliki bekal pendidikan formal, mendapat pekerjaan, hidup mapan, dan berkeluarga. Tak dijelaskan bahwa ada kalanya seseorang harus membanting jiwa dan tulang secara harfiah di lebih dari satu tempat, semata hanya untuk bertahan hidup.
Sebuah Kenyataan yang Tak Bisa Dihindari
Bagi Amin*, seorang pria berusia 34 tahun yang tinggal di Bekasi, Jawa Barat, memiliki pekerjaan sampingan adalah suatu keniscayaan yang tak dapat dihindari.
Ketika lulus kuliah pada 2010 dari sebuah universitas swasta di Yogyakarta, Amin langsung pindah ke Jakarta. Ia bekerja sebagai editor bahasa di sebuah perusahaan penerbit besar. Gajinya saat itu Rp1.400.000, sekitar 10% di atas UMR Jakarta pada masa itu. Uang itu habis untuk membayar indekos sebesar Rp400.000 dan biaya hidup.
Praktis, Amin harus mencari pekerjaan sampingan untuk bertahan dan menabung. Saat itu ia punya cita-cita menikahi pacar yang dikenalnya di bangku kuliah dan membangun keluarga. Ia pun mencari lowongan pekerjaan lewat forum KasKus. Dari situ ia mendapat beberapa proyek sampingan sebagai penulis konten.
Aktivitasnya pun bertambah: Selepas pulang kerja, ia beristirahat sebentar sebelum mengerjakan pekerjaan sampingannya. Ia mampu menyelesaikan sekitar 1-2 tulisan setiap hari. Ia pun sanggup menabung setiap bulan, meski jumlahnya tak selalu pasti.
“Tapi enggak tahan juga gaji 1.4 juta,” kata Amin yang kini bekerja sebagai penulis konten di salah satu media massa nasional. “Jadi memilih resign. Enggak sampai setahun kerja di situ.”
Seiring waktu Amin merasa kehidupannya membaik. Ia menikahi pacarnya beberapa tahun setelah bekerja dan dikaruniai dua orang putri. Ia pun sanggup membeli rumah dari tabungannya setelah bekerja hampir satu dekade. Dia juga mendapat pekerjaan impian di sebuah perusahaan media ternama. Namun fakta bahwa Amin harus tetap mencari pekerjaan sampingan tak bisa ditepis begitu saja. Sebab perusahaan tersebut tak memberikan gaji yang cukup untuk menyokong keluarga kecilnya. Kondisi itu diperparah ketika pandemi memaksa perusahaan untuk memotong gaji karyawannya.
“User dulu sempat bilang, ‘yakin mau digaji segini?’” ingat Amin. Ia rela. Beruntung kantornya sekarang mengizinkan Amin untuk memiliki pekerjaan sampingan, asal pekerjaan utama terselesaikan tepat waktu.
Dari situ, batas antara pekerjaan utama dan sampingan semakin kabur. Dalam sebulan, Amin bisa mengerjakan dua sampai tiga proyek sekaligus. Berbagai drama pekerjaan sampingan sudah kenyang dilalui. Dari masalah pembayaran fee yang selalu telat sampai memiliki klien yang suka me-micromanage.
“Bayaran kadang nggak tepat waktu. Saya baru terima bayaran 3-4 bulan kemudian. Setiap hari saya tagih. Ini kan jadi beban pikiran,” katanya.
Kendati padat, Amin merasa situasi dan rutinitasnya saat ini cukup ideal. Harinya diawali dengan mempersiapkan keperluan sekolah anak, mengantar- jemput anak sekolah, serta mengurus kerja sampingan. Sore hingga malam ia gunakan untuk membereskan pekerjaan di kantor sembari mengurus hal-hal domestik.
“Tidur 5-6 jam. Setiap pagi bangun jam 4. Saya rasa cukup,” kata Amin.
'Sudah Terbiasa Hustling'
Setidaknya ada 69,38 juta milenial dan generasi Z di Indonesia. Jika merujuk ke temuan Badan Pusat Satistik, sejak 2019-2022, rata-rata gaji bersih bulanan para milenial di Indonesia tidak menunjukkan angka kenaikan yang signifikan. Para anak muda yang masuk dalam riset BPS adalah mereka yang bekerja di sembilan sektor diantaranya tenaga usaha professional, teknisi, tenaga usaha jasa, tenaga produksi, tenaga kepemimpinan dan sebagainya.
Salah satu contoh stagnasi besaran gaji ada pada rentang Februari 2021 dan Februari 2022. Pada periode tersebut, terdapat sedikit kenaikan rata-rata gaji bulanan. Namun, kenaikan itu juga dibarengi dengan inflasi, yang memaksa anak muda seperti Anais dan Amin untuk bekerja sampingan.
Ujung-ujungnya, data tersebut menjadi salah satu indikator lemahnya daya beli anak muda terhadap properti. Hal tersebut turut diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam gelaran Securitization Summit 2022 Juli lalu.
“Generasi muda ini akan berumah tangga, membutuhkan rumah, tapi tidak bisa afford mendapatkan rumah. Sehingga mereka akhirnya end-up tinggal di rumah mertua, atau dia nyewa,” kata Sri.
Berdasarkan riset Indonesia Property Watch, dari responden kelompok usia produktif 27-39 tahun, hanya sekitar 40,95 persen anak muda yang mampu membeli properti dengan uangnya sendiri. Sisanya 39,05 persen bisa membeli dengan bantuan orang tua.
Jika pun mampu membeli rumah, generasi muda tak punya pilihan selain membeli properti di kota-kota satelit yang semakin jauh dari pusat perkantoran yang umumnya terkonsentrasi di Jakarta. Sebab harga tanah maupun properti terus melambung, tergantung akses dan jarak dari pusat peradaban.
Di kawasan Limo, Depok - yang relatif jauh dari Jakarta - misalnya, harga properti terus melambung beberapa tahun belakangan. Dari temuan Tirto, harga rumah tipe 72 di Limo kini ada di kisaran Rp600 hingga Rp700 juta lewat skema KPR.
Alya*, perempuan 32 tahun yang bekerja sebagai desainer grafis, tak memiliki banyak pilihan ketika dihadapkan pada pembelian properti. Faktor harga menjadi lebih dominan dibandingkan lokasi. Ia dan suaminya baru saja membeli rumah pertamanya di Cileungsi, Bogor, Jawa Barat. Lokasi yang cukup jauh dari kantor pasangan tersebut yang berada di Jakarta Selatan.
“Kan nggak mungkin ya beli rumah di Jakarta,” kata Alya, yang berharap ada moda transportasi nyaman di rute Cileungsi-Jakarta.
Butuh perjuangan ketika membeli rumah itu. Alya yang sudah terbiasa bekerja sampingan sejak 2014, merasa semakin harus rajin mengambil kesempatan yang ada. Sebab di samping cicilan rumah, ia juga harus membiayai keperluan dan sekolah dari kedua adik yang masih berada di jenjang pendidikan menengah, dan membantu memenuhi kebutuhan harian ibunya.
“Tadinya, uang hasil kerja sampingan khusus untuk ditabung. Alokasi 50 persen tabungan gak boleh disentuh. Lima puluh persen lagi untuk emergency fund. Sekarang udah nggak bisa kayak gitu.”
Sejak pertama kerja pada 2008, Alya berprinsip, harus menyisakan uang minimal Rp1.000.000 untuk ditabung. Hasil tabungan pertama ia gunakan untuk membiayai kuliah. “Lulus SMA, kerja jadi resepsionis setahun. Habis itu lanjut kuliah sambil kerja. Kerja siang, kuliah malam.”
Setelah lulus kuliah, Alya bekerja sebagai desainer grafis di perusahaan tekstil dengan gaji Rp3.500.000.
“Itu di bawah rata-rata. Tahun 2014 profesi desainer grafis masih nggak dianggep penting. Dua tahun kerja, gajiku nggak sampe Rp4.000.000.”
Dalam setahun, setidaknya Alya mendapat dua sampai empat pekerjaan sampingan. Rentang pengerjaan antara satu sampai enam bulan. Di hari kerja Alya memilih memaksimalkan pekerjaan utamanya. Baru pada akhir pekan ia fokus pada kerja sampingannya. Alya bisa mengerjakan pekerjaan freelance dalam waktu yang panjang. Mulai dari jam 10 pagi hingga jam 12 malam. Meski tetap dengan jeda istirahat dan mengurus hal lain.
“Mungkin karena sudah terbiasa hustling dari dulu jadi kalau agak santai malah aku gelisah dan mikir macam-macam,” lanjut Alya. "Tidur jam 4 atau 5 pagi. Bangun pagi juga terus kerjain kerjaan kantor. Untung nggak terlalu sering. Mungkin karena udah terbiasa ngatur jam kerja dari dulu.”
'Rasanya Seperti Berlari Melawan Nasib'
Dosen Hukum Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada, Nabiyla Risfa Izzati mengatakan bahwa generasi Z dan milenial kerap dicap sebagai generasi yang mengutamakan fleksibilitas dan suka lompat pekerjaan sana-sini (job hopping), hingga memicu budaya gig economy. Nabiyla tak sepakat dengan itu. Sebab jika ditelusuri, ada banyak faktor yang membuat anak muda terjebak dalam budaya hustling, salah satunya ketika satu pekerjaan tak bisa memberikan rasa aman secara finansial.
“Jadi bukan karena mereka nggak mau punya job security tapi karena sekarang pekerjaan yang memberi job security tidak memberikan penghidupan layak,” kata Nabiyla kepada Tirto (8/9). “Saya nggak sepakat jika itu pilihan generasional, tapi lebih kepada kondisi jadi kita harus hustling side job. Siapa orang yang mau kerja lama-lama 18-20 jam? Orang punya multiple jobs karena keadaan memaksa.”
Kondisi yang melatari budaya hustling ini adalah kesenjangan antara pendapatan dan kebutuhan hidup, kata Nabiyla. Jika di zaman dulu orang umur 20-an gampang beli rumah. Sekarang butuh privilese besar untuk bisa menggapai itu.
“Pendapatan nggak seiring dengan kebutuhan hidup,” tutur Nabiyla. “Living cost makin tinggi. Tidak seiring sama gaji starter. UMP. Contoh ilustrasi berbeda: kita nggak akan bisa kaya kalau nggak jadi pengusaha. Ini menunjukkan bahwa saat ini bergaji dari pekerjaan itu nggak cukup. Jadi orang ngerasa we have to self-employ, we have to have a side job.”
Nabiyla mengatakan bahwa ada kesalahan dalam sistem di dunia kerja saat ini. Jika berkaca pada hukum ketenagakerjaan misalnya, kebijakan pengupahan harus dibenahi. Skema pengupahan harus naik seiring tahun berganti, kata Nabiyla.
Namun fakta di lapangan berkata lain, Nabiyla mengatakan masih banyak anak muda yang diupah di bawah UMP kendati sudah bertahun-tahun bekerja. Sebabnya, pengawasan di lapangan tak berjalan sesuai aturan di atas kertas.
“Hal ini harus diselesaikan secara struktural,” tutur Nabiyla. “Negara harus in charge. Negara harus memastikan lapangan pekerjaan cukup dan menegakkan aturan. Aturan hukum ketenagakerjaan cukup protektif di atas kertas, tapi aturan ketenagakerjaan yang sudah baik tidak diterapkan. Pengawasan juga harus ditambah dan perlu dipastikan bahwa daya tawar kolektif berjalan baik, tidak ada union busting di lapangan.”
Bagi Anais, dan mungkin banyak anak muda lain, ia cukup merasa pesimistik untuk dapat menggapai standar kehidupan layak yang selama ini dinormalisasi - membeli rumah, berkeluarga - dalam waktu dekat. Anais sadar ia terjebak sebagai penulis di pasar yang menuntut kecepatan dan informasi akurat, namun tak memberikan upah yang pantas sehingga harus bekerja serabutan.
“Apalagi pasar kerja yang volatile membuat saya harus memastikan saya punya keunggulan lebih besar dibandingkan orang lain,” kata Anais.
“Rasanya saya seperti berlari melawan nasib.”
*Nama narasumber diubah demi menjaga privasi dan relasi mereka dengan tempat kerja
Editor: Adi Renaldi