tirto.id - Awal tahun ini, Tafira Oktiani menempati rumah barunya di Serpong, Kota Tangerang Selatan bersama keluarga kecilnya. Perempuan 34 tahun itu memutuskan membeli rumah di kota penyangga karena harga dan desainnya sesuai selera. Baginya lokasi rumah tersebut telah sesuai kriterianya: tata kota dan lingkungan yang nyaman sekaligus didukung dengan moda transportasi yang cukup moderat.
Sama seperti hampir mayoritas warga Jabodetabek, kualitas udara tak pernah menjadi pertimbangan saat memilih hunian.
"Jujur kualitas udara ini enggak masuk di kriteria waktu itu (pembelian rumah). Kita enggak mempertimbangkan bangetlah. Enggak mikir sama sekali untuk urusan kualitas udara," ungkap Fira, sapaan akrabnya, kepada Tirto, Kamis (11/8).
Kota Tangsel selama ini disebut sebagai lokasi hunian asri yang menjadi favorit. Namun temuan Nafas Indonesia - sebuah aplikasi penyedia data kualitas udara secara realtime yang didirikan oleh Piotr Jakubowski, mantan petinggi GoJek - menunjukkan bahwa daerah-daerah penyangga seperti Tangsel, Depok, dan Bekasi memiliki tingkat polusi udara yang tak kalah tinggi dengan Jakarta, bahkan kadang melampauinya.
Hasil penelitian Nafas Indonesia sepanjang Januari-Juni 2022 menunjukkan rerata kualitas udara Kota Tangsel 20% lebih tercemar dibandingkan Jakarta.
Pada bulan Juni, contohnya rerata kualitas udara atau PM2.5 di Serpong mencapai 70 mikrogram per meter kubik (µg/m3) dan Jakarta 48 µg/m3. Artinya kualitas udara Serpong 24% lebih buruk dibandingkan Jakarta.
Pada September 2021, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis pedoman kualitas udara terbaru. Pedoman itu merekomendasikan perubahan parameter kualitas udara, salah satunya partikulat atau debu halus PM2.5. Kadar PM2.5 harian (24 jam) misalnya menjadi 15 µg/m3 dari sebelumnya 25 µg/m3. Sedangkan untuk tahunan yang awalnya 10 µg/m3 menjadi 5 µg/m3.
PM2.5 memiliki lebar sekitar 2 sampai 1,5 mikron. Ukuran ini 30 kali lebih kecil dari lebar rambut manusia. Itu berarti polusi udara di Jabodetabek sudah jauh dari ambang batas aman yang ditetapkan WHO.
“Saya pikir Jakarta itu sudah paling parah kualitas udaranya. Macetnya sudah enggak bisa dihindari lagi, tiap jam pergi dan pulang kantor, bahkan jam makan siang macet. Saya shock sih. Di Serpong udah merah, bukan oranye lagi,” tutur Fira, beberapa saat setelah mengecek aplikasi Nafas Indonesia. Ia sendiri berencana menggunakan air purifier di dalam rumah.
Fira hanyalah satu dari ribuan generasi milenial yang, akibat meroketnya harga hunian, harus rela tinggal di pinggiran kota dan menghabiskan berjam-jam saat berangkat dan pulang kerja.
Survei Indonesia Properti Expo (IPEX) 2022 kepada 3.600 calon pembeli, sekitar 78,9 persen diantaranya anak milenial. Faktor utama membeli di kawasan penyangga adalah anggaran yang masih masuk kantong dan jarak tempuh menuju kantor.
Pilihan yang tak terlampau banyak itu juga dialami oleh Agung Nugroho. Pria 34 tahun itu lebih memilih pasrah. Sebab ia sadar polusi udara tak cuma dimonopoli Jakarta.
Ia membeli rumah di Bekasi karena pertimbangan bujet dan jarak tempuh yang tak terlalu jauh ke tempat kerja.
"Pemanasan global sudah terjadi, jadi persoalan kualitas udara enggak bisa kita hindari juga," kata Agung, Jumat (12/8).
Pada bulan Juni, rerata kualitas udara atau PM2.5 di Bekasi mencapai 57 mikrogram per meter kubik (µg/m3), Depok 50 µg/m3 dan Jakarta 48 µg/m3.
Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Anak-anak muda harus tinggal jauh dari lokasi kerja dan harus menghirup udara kotor. Agung yang sudah enam tahun menempati rumah di Bekasi berencana untuk tinggal di desa agar terhindar persoalan polusi udara.
"Kalau dari sisi saya secepatnya kumpulin duit, cari remote pekerjaan bisa jarak jauh, tinggal di desa," ucapnya.
Asumsi Kualitas Udara Bagus di Kota Penyangga
Warga Jabodetabek meyakini udara pagi dianggap paling bagus dibandingkan waktu lain, pasalnya udara masih terasa sejuk, laju kendaraan seperti mobil dan motor masih sepi dan minim polusi udara. Hal itu terungkap dalam survei Katadata Insight Center (KIC) tentang Persepsi Masyarakat Terhadap Kualitas Udara di Indonesia pada 23-29 Agustus 2021 yang melibatkan 1.570 warga Jabodetabek secara daring.
Jakubowski, co-founder Nafas Indonesia, mengatakan, warga Jabodetabek setuju dengan persepsi kualitas udara pagi lebih bagus. Dari skala 1-10, skor persepsi berada di angka 7,94 poin atau sekitar 75% responden setuju. Bahkan 6,7 poin responden Jabodetabek rajin berolahraga di pagi hari.
"Teman-teman di Tangsel suka berolahraga, kebanyakan olahraga dilakukan antara pukul 05.00 dan 09.00. Ternyata, rata-rata polusi udara sangat buruk pada jam itu," kata Jakubowski kepada Tirto, Rabu (3/8).
Jakubowski memaparkan, rerata polusi udara tertinggi terjadi pada pagi hari. Salah satu contohnya wilayah Serpong, pada pukul 05.00 PM2.5 mencapai angka 75 µg/m3 dan menurun menjadi 66 µg/m3 pada pukul 09.00 pagi. Sedangkan di Pamulang Barat, PM2.5 mencapai 53 µg/m3 pada pukul 05.00 dan menurun menjadi 50 µg/m3 pada pukul 09.00 pagi.
Banyak pula yang berasumsi bahwa bekerja dari rumah dan pembatasan sosial selama pandemi berdampak positif terhadap kualitas udara. Namun temuan Nafas Indonesia justru mengungkap hal sebaliknya. Sepanjang PPKM, polusi udara meningkat 12% di Jabodetabek.
"Dengan data Nafas bisa ngeliat bahwa PSBB tidak ada impact signifikan," kata Jakubowski.
Asumsi lainnya, 5,6 poin Jabodetabek menilai daerah tempat tinggal memiliki banyak pohon dan jauh dari kota sehingga tidak ada polusi udara.
Verra Prima Pressila, salah seorang warga Depok, meyakini bahwa banyaknya pohon berbanding lurus dengan kualitas udara di lingkungan rumahnya.
"Daerah yang aku tinggal ini (Sukmajaya) masih oke, masih banyak pohon. Kadang masih ada ular, kualitasnya masih lebih baik dibandingkan Citayam dan Sawangan," klaim Verra seraya menambahkan bahwa kualitas udara Depok lebih bagus dibandingkan Jakarta.
Sementara itu, Jakubowski menjelaskan bahwa adanya taman dan pepohonan tak menjamin sebuah permukiman atau kota bersih dari polusi dan udaranya sehat untuk dihirup. Pasalnya, pohon dan daun bukan penyaring polusi PM2.5, kendati bukan berarti tidak dapat menghilangkan polusi udara sama sekali.
Sebuah studi dari US EPA, penghilangan PM2.5 dari udara oleh pohon sangat kecil, hanya sekitar 0,24%. Hampir tidak ada dampak apapun. Apalagi, kata Jakubowski, pedoman paparan tahunan dari WHO hanya 5 µg/m3. Pada bulan Juni contohnya, rerata polusi udara PM2.5 mencapai 74 µg/m3 di Cibubur, Serpong 70 µg/m3 dan Cibinong 70 µg/m3.
"Hampir 16 kali di atas 5 µg/m3 yang guideline WHO kan. Kita tahu sekarang bahwa pohon tidak menghilangkan PM2.5. Beberapa dari Anda mungkin terkejut," kata Jakubowski.
Penyebab Kualitas Udara Buruk
Jakubowski mengatakan, faktor cuaca dan demografi mempengaruhi polusi udara yang ada di daerah apa pun, termasuk Tangerang Selatan. Untuk menentukan sumber polusi, harus dijalankan penelitian bernama "source apportionment" di mana partikel PM2.5 dianalisis dari sisi kimianya.
Ia menjelaskan, pihaknya belum menginvestigasi sumber polusi tersebut. Namun dari beberapa catatan Tirto sumber polusi berasal dari pabrik, PLTU, industri rumah tangga, mobil dan pembakaran sampah.
Jakubowski menambahkan, penyebab adanya polusi udara di suatu tempat yang dianggap tidak memiliki sumber polusi bisa terjadi karena faktor angin yang dapat membawa partikel polutan hingga ratusan kilometer.
Apa yang diungkapkan Jakubowski, tak jauh berbeda dari temuan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA)- organisasi penelitian independen yang mempelajari tren, penyebab, solusi, dan dampak kesehatan dari polusi udara.
Dalam laporan CREA berjudul "Pencemaran Udara Lintas Batas di Provinsi Jakarta, Banten dan Jawa Barat" Agustus 2020, pencemaran lintas batas merupakan kontributor utama pencemaran udara di Kota Jakarta. Faktor meteorologi seperti lintasan angin mempengaruhi penyebaran pencemar seperti NO, SO2 dan PM2.5.
Pada bulan-bulan kemarau; Mei hingga Oktober, tingkat pencemaran keseluruhan di kota ini paling tinggi, sumber-sumber dari pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara dan pabrik industri di sebelah timur Jakarta (dari Bekasi, Karawang, Purwakarta hingga Bandung) berdampak lebih besar pada kualitas udara. Pada musim hujan (Desember hingga Maret), sumber-sumber di barat - khususnya pembangkit listrik Suralaya di Banten - adalah penyumbang pencemaran yang lebih besar.
Data CREA lainnya, terdapat 136 fasilitas industri terdaftar (termasuk pembangkit listrik) yang bergerak di sektor-sektor dengan emisi tinggi di Jakarta dan berada dalam radius 100 km dari batas administratif Jakarta.
Kemudian 16 berlokasi di DKI Jakarta; 62 di Jawa Barat, 56 di Banten, satu di Jawa Tengah dan terakhir di Sumatera Selatan. Wilayah padat industri ini berada pada lokasi yang sama dengan titik konsentrasi NOx dan SO2 di Jawa. NOx dan SO2 teroksidasi di atmosfer dan membentuk PM 2.5 sekunder dalam jumlah besar, yang dapat terbawa angin ke daerah sekitarnya sejauh lebih dari 100 km.
"Kalau kita lihat Banten, memang penyumbang terbesar polusi udara. Tetapi hari ini Pemprov Banten yang belum banyak melakukan apa-apa. Itu juga menjadi sumber kekesalan Anies Baswedan kemarin. Ini persoalan bukan hanya Jakarta, tapi ada wilayah lain," kata Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta Suci Fitria Tanjung kepada Tirto, Jumat (5/8).
Pemerintah Harus Menjamin Kesehatan Warganya
Pemerintah memiliki kewajiban untuk menjamin dan melindungi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi manusia, hal itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
"Pertama, negara sebagai pemangku kewajiban harus memastikan bahwa setiap orang itu betul dipenuhi, dilindungi dan dihormati haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Kedua pemaknaan lingkungan yang baik itu adalah lingkungan yang sehat," kata Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM RI Sandra Moniaga dalam keterangan resmi awal tahun 2021.
Sandra menambahkan bahwa dalam pengelolaan lingkungan hidup diatur pula baku mutu, baik itu baku mutu air, baku mutu udara dan sebagainya. Untuk hutan ada keanekaragaman hayati atau biodiversitas. Dalam konteks ini, imbuhnya, udara bersih merupakan hak asasi yang harus kualitasnya diukur merujuk pada baku mutu yang ditetapkan secara saintifik dan sesuai dengan standar internasional.
Sayangnya, standar baku mutu udara bersih dan sehat yang ditetapkan oleh pemerintah yang ditetapkan pada tahun 1999 pada kenyataannya tidak sesuai dengan standar WHO atau masih di bawah angka standar kesehatan yang diakui secara internasional PM2.5 15 µg/m3 (24 jam). Bahkan, baku mutu udara ambien pemerintah pusat dan daerah berbeda.
Suci memaparkan pemerintah provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten belum menetapkan standar baku mutu terbaru. Tiga provinsi ini masih merujuk baku mutu udara pada Peraturan Pemerintah Nomor 41/1999. Dalam aturan itu baku mutu udara PM2.5 65 µg/m3. Sedangkan baku mutu udara terbaru yang tertuang dalam PP Nomor 22 tahun 2021, yakni PM2.5 55 µg/m3. Artinya pedoman WHO tentang baku mutu polusi belum diikuti Pemerintah Indonesia.
"Tiga provinsi ini belum ada penetapan baku mutu baru. Mereka masih pakai standar PP 41/ 1999. Jadi masih jauh sekali dari perlindungan masyarakat dari menghirup udara yang sehat," ucap Suci.
Implikasinya ketika baku mutu udara di bawah standar WHO maka ada perbedaan persepsi dalam penanganannya. Di saat kualitas udara Jakarta dan sekitarnya merah berdasarkan standar WHO, maka standar baku mutu udara pemerintah masih dianggap sedang bahkan dianggap aman.
"Makanya kita mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk menetapkan standar baku mutu terbaru yang melindungi masyarakat. Standar WHO adalah standar paling baik hari ini. Jadi ikuti standar itu," kata Suci.
Suci mengungkapkan masyarakat yang menghirup udara yang buruk menyebabkan angka infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) yang tinggi sehingga mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Masalah kesehatan bisa menimbulkan masalah ekonomi. Dia menambahkan kelompok rentan persoalan udara itu bayi/anak, orang tua dan perempuan.
Jakubowski menambahkan, bayi baru lahir yang menghirup PM2.5 berisiko memiliki IQ rendah, perkembangan otak yang terhambat, asma dan kesehatan paru-paru yang buruk, serta attention deficit hyperactivity disorder (ADHD).
Tak hanya itu, bagi ibu hamil, paparan PM2.5 yang tinggi juga berdampak pada janin. Pertama, kelahiran prematur, kedua berat badan lahir rendah, ketiga gangguan autisme, dan terakhir masalah neurologis.
Laporan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), kata Jakubowski, Indonesia menempati urutan ke-5 kasus kelahiran prematur di dunia. Bahkan penelitian dari AS menunjukan bahwa paparan PM2.5 di atas 15 µg/m3 selama kehamilan memiliki risiko 19% lebih tinggi untuk melahirkan prematur.
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Adi Renaldi