tirto.id - Biaya hidup adalah kekhawatiran terbesar Generasi Z, atau Gen Z, dan Milenial, begitu temuan sebuah survei global yang dilakukan selama November 2021 - Januari 2022. Gen Z umumnya dikategorikan berusia di bawah 25 tahun. Milenial sedikit di atasnya, kira-kira 23 tahun atau 25 tahun hingga 38 tahun atau 41 tahun.
Deloitte, sebagai penyelenggara surveinya, menyatakan bahwa sebanyak 46 persen Gen Z dan 47 persen Milenial hidup dari gaji ke gaji dan merasa khawatir mereka tak bisa mencukupi kebutuhannya. Temuan lain, dua generasi ini merasa tak aman secara finansial. Persentase responden yang menyatakan hal itu sebanyak 30 persen Gen Z dan 29 persen Milenial.
Masih dari sumber yang sama, sejumlah 43 persen Gen Z dan 33 persen Milenial tercatat mengambil pekerjaan sampingan baik penuh maupun paruh waktu. Laporan Deloitte menyebut, hal itu mungkin dilakukan untuk “meringankan persoalan finansial.”
Lalu, bagaimana dengan Gen Z dan Milenial di Indonesia? Apakah mereka punya kecenderungan yang sama dalam hal pekerjaan sampingan?
Belum lama ini Tirtopernah menulis laporan tentang bagaimana kerja sampingan jadi keniscayaan bagi Gen Z dan Milenial. Salah satu narasumbernya, Anais (25 tahun), mengaku tuntutan hidup pernah memaksanya mengambil 3 hingga 4 pekerjaan sekaligus. Narasumber lainnya, Amin (34 tahun), juga tak bisa menghindari pekerjaan sampingan sebab perusahaan tempat ia bekerja tidak memberikan gaji yang cukup untuk menyokong keluarga kecilnya.
Memang, jika menilik data Badan Pusat Statisik (BPS) pada Februari 2022, rerata upah bersih bulanan kelompok usia 15 – 19 tahun hanya Rp 1,7 juta dan 2,2 juta untuk kelompok usia 20 – 24 tahun. Sementara di rentang usia 30 – 34 tahun, mewakili kelompok Milenial, rata-rata upah bersihnya setara Upah Minimum Regional (UMR) Provinsi Riau—yakni Rp2,9 juta.
Data-data itu kemudian mendorong tim riset Tirto untuk mencari tahu tentang pekerjaan sampingan di kalangan Gen Z dan Milenial. Kami bekerjasama dengan Jakpat merancang sebuah survei bertema persepsi Gen Z dan Milenial di Indonesia atas pekerjaan, termasuk pekerjaan sampingan yang mereka miliki dan alasan di baliknya.
Sebagai catatan, Jakpat adalah penyedia layanan survei daring yang memiliki lebih dari 1,1 juta responden. Survei ini dilakukan pada pada 20 September 2022 dan melibatkan 1.500 responden berusia 15 tahun sampai 41 tahun.
Adapun rentang usia yang digunakan dalam survei ini mengacu pada pengelompokan Milenial dan Gen Z menurut BPS. Milenial dikategorikan sebagai generasi yang lahir pada periode 1981-1996, sementara Gen Z adalah generasi yang lahir pada periode 1997-2012.
Metodologi Riset
Jumlah responden: 1.122 responden yang terdiri atas 457 gen Z dan 665 Milenial
Wilayah riset: Indonesia
Periode riset: 20 September 2022
Instrumen penelitian: Kuesioner daring dengan Jakpat sebagai penyedia platform
Jenis sampel: Non probability sampling
Profil Responden
Tirto memisahkan jawaban Gen Z dan Milenial yang telah bekerja dan belum bekerja. Sebelum dipisahkan, keseluruhan responden berjumlah 1.500, yakni 749 Gen Z dan 751 Milenial. Mayoritas responden ini berdomisili di Pulau Jawa. Jumlahnya sebesar 78,87 persen. Berdasarkan jenis kelamin, komposisi responden berimbang, dengan jumlah laki-laki sebanyak 44,73 persen dan responden perempuan sebanyak 55,27 persen.
Kebanyakan Gen Z belum menikah, sedangkan mayoritas Milenial sudah menikah. dengan 1-2 anak.
Dari 749 Gen Z dalam riset ini, jumlah Gen Z yang belum bekerja lebih banyak ketimbang Milenial, yakni 38,99 persen Gen Z dibanding 11,45 persen Milenial.
Adapun Gen Z yang sudah bekerja, paling banyak telah bekerja di kisaran waktu kurang dari 2 tahun (40,72 persen). Berbeda dengan Milenial yang kebanyakan telah bekerja di atas 5 tahun, jumlahnya sebesar 45,81 persen. Perlu diketahui, hanya responden yang telah bekerja yang menjawab pertanyaan di bagian pekerjaan sampingan ini.
Untuk pekerjaan utama yang dilakoni, baik Gen Z dan Milenial dalam survei ini mayoritas berprofesi sebagai pegawai swasta, masing-masing sebanyak 35,89 persen dan 44,51 persen. Namun, profesi terbanyak kedua Gen Z adalah pekerja lepas (26,91 persen), sementara Milenial adalah wiraswasta (27,82 persen). Ragam profesi lainnya termasuk guru honorer, petani, kreator konten, dan supir ojek online.
Para pekerja Gen Z sebagian besar memiliki gaji di rentang Rp100 ribu – Rp2 juta, sementara gaji pekerja Milenial kisaran terbanyaknya yaitu Rp2 juta sampai Rp5 juta per bulan. Lalu, untuk tanggungan keluarga, mayoritas Milenial sudah menikah dengan 1-2 anak sementara kebanyakan Gen Z belum menikah. Di samping itu, ada juga Gen Z dan Milenial yang belum menikah tetapi menjadi tulang punggung keluarga, persentasenya berturut-turut yakni 10,50 persen dan 7,22 persen.
Pekerjaan Sampingan untuk Kuasai Skill?
Melalui survei ini, Tirto menemukan bahwa lebih dari 50 persen Gen Z dan Milenial memiliki pekerjaan sampingan baik penuh maupun paruh waktu. Meski tipis, persentase ini lebih banyak di kalangan Milenial, yakni sebanyak 58,20 persen sementara Gen Z berjumlah 54,05 persen. Jumlah pekerjaan sampingan mereka beragam, ada yang satu atau lebih pekerjaan paruh waktu, satu pekerjaan penuh waktu, dan proyek-proyek serabutan.
Seperti laporan Tirto yang disinggung di atas, pekerjaan sampingan Gen Z dan Milenial bukan tanpa alasan. Menariknya, ketika kami menanyakan hal itu, kebanyakan Gen Z menjawab mereka ingin menguasai banyak keahlian yang berbeda (29,98 persen) dan mengembangkan minat atau passion. Kedua jawaban itu juga populer di kalangan Milenial, namun persentasenya sama-sama 27,92 persen. Persoalan gaji yang tak cukup justru tak jadi yang utama.
Namun, kami mencoba melakukan tabulasi silang antara faktor memiliki pekerjaan sampingan tersebut dengan status sosial dan ekonomi (SES) responden. Ternyata, mereka yang menyatakan dua alasan itu mayoritas berasal dari kelompok Upper 1 alias kelompok tingkat menengah atas tertinggi relatif terhadap total responden di kelompok tersebut, yakni 56,76 persen (menguasai keahlian yang berbeda) dan 71,62 persen (mengembangkan minat atau passion).
Dari 3 responden Gen Z dan 1 Milenial yang mengisi kategori “lainnya” misalnya, seorang Milenial dari kelompok Upper 1 menjawab pekerjaan sampingannya adalah “jalan ninja untuk menambah ilmu.” Sementara 3 responden dari kelompok menengah atau Middle 1 beralasan pekerjaan sampingannya untuk menambah penghasilan. Itu artinya, pekerjaan sampingan juga jadi "jalan ninja" untuk memenuhi kebutuhan beberapa Gen Z dan Milenial dari kelompok menengah.
Sebanyak 41,63 persen dan 44,55 persen dari kelompok SES Middle 1 dan 2 juga menyatakan bahwa gaji dari pekerjaan utama mereka tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Nabiyla Risfa Izzati, Dosen Hukum Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada mengatakan bahwa saat ini pekerjaan yang memberi job security memang tidak memberikan penghidupan yang layak.
“Saya nggak sepakat jika itu pilihan generasional, tapi lebih kepada kondisi jadi kita harus hustling side job. Siapa orang yang mau kerja lama-lama 18-20 jam? Orang punya multiple jobs karena keadaan memaksa,” pungkasnya, mengutip dari laporan Tirto pada 9 September lalu.
Editor: Farida Susanty