Menuju konten utama

Kala Tren YONO 'You Only Need One' Hadir di Tengah Krisis Global

Tren YONO menjadi relevan di situasi sekarang karena mencerminkan respons adaptif terhadap krisis multidimensi yang kita hadapi.

Kala Tren YONO 'You Only Need One' Hadir di Tengah Krisis Global
Ilustrasi YONO. foto/istockphoto

tirto.id - Setelah slogan YOLO atau You Only Live Once jadi landasan hidup anak muda dan punya kecenderungan konsumtif, kini bergaung YONO (You Only Need One), yang mengajak hidup lebih bijak dan selektif.

Slogan ini ramai setelah The Korea Times menerbitkan berita berjudul “Young Koreans say ‘No’ to YOLO, ‘Yes’ to YONO,” medio 2024 lalu. Artikel itu mengangkat cerita soal muda-mudi Korea yang mengubah kebiasaan belanja mereka menjadi lebih berhemat.

Bukan tanpa alasan, upaya itu lahir imbas inflasi yang tinggi dan rendahnya tingkat pertumbuhan pendapatan. Kendati demikian, disebutkan kalau tren YONO tidak berarti bahwa kaum muda berhemat dalam segala aspek kehidupan, seperti hobi.

Jika ditelisik, maka gaya hidup YONO ini punya banyak kemiripan dengan gaya hidup minimalis. Konsepnya: menyukai kesederhanaan, menjauhi materialisme, dan meminimalkan ketergantungan pada hal-hal materialistis untuk mencari kepuasan instan. Orang-orang di seluruh dunia mulai menyadari kalau lebih sedikit, sebenarnya bisa lebih baik, atau populernya “less is more.”

Studi Jain, dkk (2023) yang dipublikasikan di Jurnal Environ Dev Sustain bahkan menemukan bahwa gaya hidup minimalis adalah gaya hidup yang ramah lingkungan. Penerapannya bakal membantu melestarikan sumber daya yang berharga, mengurangi limbah, dan menurunkan emisi karbon, yang semuanya akan memiliki pengaruh positif signifikan terhadap lingkungan.

Dr. Fahrudin Faiz dalam kanal YouTube "Channel Ngaji Filsafat” pun menjelaskan soal filsafat minimalisme. Hidup minimalis pada intinya adalah tidak mengejar lebih agar tak ingin banyak masalah. Maka, kita perlu melawan konsumerisme, ketamakan, dan rasa ingin memiliki yang tidak berhenti.

"Kamu latihanlah bukan punya banyak hal yang kamu inginkan, tapi latihanlah bisa menikmati yang lebih sedikit dari yang kamu miliki. Itu akan membuatmu bahagia. Jadi, kembangkan dirimu ke level bisa menikmati yang sedikit, bukan ke level punya banyak hal, punya banyak barang,” kata dose filsafat di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu.

YOLO memang identik dengan konsumerisme. CEO ZAP Finance, Prita Ghozie, bahkan mengakui hobi melancong generasi milenial tidak terlepas dari slogan YOLO yang membentuk gaya hidup.

Pola pikir YOLO, menurut Prita, akan berdampak pada skala prioritas. Generasi milenial yang menganut gaya hidup itu ingin langsung menikmati penghasilan yang diperoleh tanpa memikirkan pengeluaran di masa depan.

Jadi minimalisme barangkali sedang menyamar dalam frasa lain, YONO, yang lebih membumi.

Kebutuhan Aktualisasi Diri dan Tuntutan Adaptif

Peneliti Psikologi Sosial dari Universitas Indonesia (UI), Wawan Kurniawan, melihat tren YONO ini sebagai respons terhadap ketegangan antara kebutuhan akan aktualisasi diri dan tuntutan adaptif terhadap krisis global.

Kata Wawan, gaya hidup YOLO—dan gandengannya FOMO, sebelumnya merepresentasikan budaya konsumsi berlebih (consumerist culture) yang berakar pada individualisme hedonistik dan tekanan sosial untuk tampil, berpartisipasi, dan “mengejar momen.”

"Namun kini, dengan meningkatnya kesadaran terhadap krisis iklim, ketidakpastian ekonomi global, dan mental load akibat tekanan gaya hidup serba cepat, muncul kebutuhan akan regulasi diri yang lebih berkelanjutan—baik dalam konteks psikologis maupun ekologis”, kata Wawan saat dihubungi wartawan Tirto, Rabu (19/3/2025).

Lebih jauh, Wawan menilai, YONO menjadi simbol kontra reaksi terhadap disonansi kognitif yang muncul dari gaya hidup YOLO. Itu berarti orang mulai merasa bahwa cara hidup “hidup hanya sekali” bisa jadi merusak jika tak disertai refleksi dan tanggung jawab terhadap masa depan diri dan lingkungan.

“Dari pendekatan teori norma injunktif-deskriptif dalam psikologi sosial, YONO mulai membentuk norma baru yang lebih adaptif terhadap perubahan zaman, bukan hanya soal apa yang dilakukan orang lain (norma deskriptif), tapi juga apa yang seharusnya dilakukan secara etis dan bijak (norma injunktif),” lanjut Wawan.

Segendang sepenarian, Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Adinda Tenriangke Muchtar, pun beranggapan tren ini merupakan gerakan yang baik untuk mendorong kesadaran orang tentang pentingnya kontrol diri dalam mengonsumsi apa pun.

“Jadi kayak kita menumpuk barang-barang yang gak perlu gitu, kita jadi gak bisa menggunakan barang-barang itu dan just for the sake punya barang itu aja akhirnya kita jadi tidak berpikir secara fungsional gitu, tapi lebih ke impulsive buying gitu misalnya,” kata Adinda kepada Tirto, Rabu (19/3/2025).

Semakin Relevan tapi Kembali Pada Individu

Cara hidup YONO memang semakin relevan di situasi ekonomi dan sosial yang kini tak pasti. Tapi, tak bisa dipungkiri, tak semua orang terpapar soal slogan ini, atau bahkan sudah menerapkan gaya hidup ini jauh-jauh hari.

Adinda mengatakan hal yang sama. Baginya, ketidakpastian global dan ekonomi yang menantang turut memengaruhi bagaimana pandangan orang tentang konsumsi. Utamanya, kalau akhirnya dinamika ekonomi yang ada juga memengaruhi kemampuan individu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

"Dengan situasi ekonomi sekarang kan yang penuh tantangan, nilai tukar kita juga menantang gitu terhadap Dolar AS, IHSG juga baru anjlok, banyaknya manipulasi di ekonomi kita, perekonomian kita, di pasar kita,” ungkap Adinda.

Meski begitu, Adinda menyatakan, pilihan dan kebebasan individu tak bisa dinafikan. Maka, seseorang bebas mengonsumsi apa yang dia mau, selama tidak melanggar hukum.

“Artinya ada ide yang begitu beragam YONO, YOLO, FOMO, dan lainnya gitu yang membuat memang kondisi kita tuh beragam memang tidak bisa disamakan gitu jadi bahwa ada ajakan yang sebenarnya bermanfaat dan baik ini kita tidak bisa menafikan bahwa tiap orang itu punya pilihannya masing-masing,” kata Adinda.

Dengan kata lain, hadirnya YONO bukan berarti jadi melarang orang untuk memproduksi atau mengonsumsi. Adinda mencoba meletakkan slogan apa pun, termasuk YOLO dan FOMO, sebagai bagian dari pilihan bebas individu.

“Selama dia tidak melanggar kebebasan orang lain dan selama tidak melanggar hukum dan lagi-lagi setiap orang punya kondisi yang berbeda, ini kondisi ekonomi semakin menantang gitu ya,” ungkap dia.

Sebab, pilihan individu tak bisa dikontrol dan terdapat dinamika dalam prosesnya. Kadang orang bisa mengonsumsi di masa tertentu seperti selebrasi, hiburan, perayaan keberhasilan, perayaan hari-hari agama, atau tahun baru.

Meski, menurut Adinda anak muda saat ini lebih peka terhadap isu sekitar, di antaranya isu sosial, isu kemanusiaan, dan juga isu lingkungan. Dari situlah pemuda bisa lebih tergerak untuk menerapkan gaya hidup YONO, apalagi ketika hal itu didorong oleh “tren” yang sifatnya viral. Sehingga orang jadi punya kemauan untuk mengikuti.

“Nah itulah makanya pentingnya kompetisi ide gitu di dalam pasar bebas gitu, dalam artian oke ada YONO, ada YOLO gitu, tapi apakah YONO menghapuskan YOLO, saya pikir enggak juga, itu tergantung konteks dan preferensi subjektif masing-masing orang,” sambung Adinda.

Wawan menjelaskan dari sisi psikologi sosial. Menurutnya, secara teoritis, Social Influence Theory menjelaskan bahwa perilaku individu sangat dipengaruhi oleh model peran (role models), otoritas sosial, dan media sosial sebagai agen normatif.

Maka, ketika akun-akun besar menggaungkan prinsip YONO, maka pergeseran norma sosial menjadi mungkin terjadi, terutama di kalangan anak muda yang sangat sensitif terhadap validasi sosial digital.

“Anak muda Indonesia juga hidup dalam tekanan ganda. Tekanan untuk mengikuti gaya hidup urban-modern yang seringkali tidak sesuai dengan daya beli atau nilai hidup mereka, dan pada saat yang sama, mulai tumbuh kesadaran kolektif tentang keberlanjutan, kesederhanaan, dan kesehatan mental,” kata Wawan.

Dengan dukungan institusi kredibel dan amplifikasi media sosial, YONO bisa menjadi bagian dari “injunctive lifestyle movement”—di mana gaya hidup hemat, mindful, dan selektif bukan hanya dianggap boleh, tetapi justru dianggap keren dan visioner.

Namun tentu saja, kata Wawan, adopsinya akan tergantung pada identitas sosial kelompok, kapasitas refleksi kritis individu, dan kondisi ekonomi riil.

Gaya hidup YONO ini disebut Wawan bakal lebih cepat diterima oleh kelompok muda urban yang mulai jenuh dengan tekanan konsumtif, tapi mungkin kurang relevan di kelompok yang masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar.

“Tren YONO menjadi relevan di situasi sekarang karena mencerminkan respons adaptif terhadap krisis multidimensi yang kita hadapi, mulai dari ketidakpastian ekonomi, perubahan iklim, hingga kelelahan sosial akibat gaya hidup konsumtif berbasis FOMO dan YOLO,” ungkap Wawan.

Dalam konteks ini, YONO menawarkan pendekatan hidup yang lebih sadar, hemat, dan terarah, sejalan dengan meningkatnya kebutuhan akan kestabilan finansial, keberlanjutan lingkungan, serta kesehatan mental.

Menurut Wawan, prinsip “You Only Need One” mendorong individu untuk menata ulang prioritas, menghindari impulsivitas, dan menemukan kepuasan dari hal-hal yang benar-benar bernilai. Dengan begitu YONO menjadi gaya hidup yang tidak hanya rasional secara ekonomi, tetapi juga bermakna secara psikologis dan etis.

Baca juga artikel terkait GAYA HIDUP atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Abdul Aziz