Menuju konten utama

Apa Dampaknya Jika Seluruh BUMN Bergabung ke Danantara?

Pengalihan seluruh BUMN ke Danantara juga dinilai bakal meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.

Apa Dampaknya Jika Seluruh BUMN Bergabung ke Danantara?
Kantor Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) di Jl.RP. Soeroso, Menteng, Jakarta. ANTARA/Muhammad Heriyanto/am.

tirto.id - Seluruh perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akan masuk dalam pengelolaan dan pengawasan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) pada akhir Maret 2025. Kendati, pada tahap awal BUMN yang bergabung ke Danantara adalah perusahaan yang berbentuk Perseroan terbatas (PT), melalui proses inbreng.

Sebagai informasi, inbreng merupakan pengalihan harta selain kas kepada perseroan, persekutuan dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal. Aset non tunai yang dimaksud termasuk pula tanah, bangunan atau gedung, mobil, serta mesin.

Karenanya, saat ini pemerintah bersama Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI tengah merumuskan Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur soal inbreng.

“Kami sudah menyusun PP inbrengnya dan tadi kami sudah konsultasi dengan DPR mengenai hal itu,” ujar Wakil Menteri BUMN sekaligus Chief Operating Officer (COO) Danantara, Dony Oskaria, kepada awak media, usai menghadiri rapat tertutup dengan Komisi VI DPR, di Gedung Parlemen, Jakarta Pusat, Rabu (19/3/2025).

Pembahasan PP juga dilakukan dengan intensif karena inbreng saham BUMN ke Danantara diharapkan dapat rampung sebelum Maret berakhir. Sementara, untuk perusahaan BUMN lain yang berbentuk Perusahaan Umum (Perum) penggabungan ke dalam Danantara masih akan dikaji lebih lanjut.

“Insyaallah, mudah-mudahan. Tentu sebelum RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) sudah kami lakukan inbreng. Semua BUMN inbreng sekaligus,” sambung Dony.

Sementara itu, Anggota Komisi VI DPR, Herman Khaeron, menilai bahwa masuknya seluruh perusahaan BUMN di bawah naungan Danantara dapat menyelesaikan permasalahan yang sampai saat ini masih terjadi. Kata dia, dari seluruh 47 perusahaan BUMN, hanya separuhnya saja yang sehat, sementara sisanya dalam kondisi kurang baik.

“Melalui pengelolaan semua aset BUMN di BPI Danantara, akan lebih profesional. Kemudian, punya hubungan yang erat, sebab bagaimanapun dividen didapat dari setiap hasil usaha BUMN kembali pada Danantara,” jelas Herman, dalam keterangannya, dikutip Kamis (20/3/2025).

Kantor Kementrian BUMN

Kantor Kementerian BUMN. (FOTO/Yohanes Hasiholan)

Banyak BUMN yang mengalami kesulitan investasi akibat kekurangan pendanaan dan hanya bergantung pada penyertaan modal negara (PMN). Dengan pengelolaan BUMN di bawah Danantara, Herman, berharap pengelolaan perusahaan-perusahaan pelat merah akan semakin baik.

“Harapannya, dengan (semua BUMN) di bawah pengelolaan BPI Danantara, maka makin dapat meningkatkan kemampuan dan performanya jadi lebih bagus,” sambung dia.

Setelah seluruhnya masuk, Danantara akan mengelola aset BUMN melalui dua skema utama: holding investasi dan operasional. Dus, perusahaan-perusahaan pelat merah yang berada di bawah pengelolaan Danantara dapat meningkatkan efisiensi dan daya saingnya di mata global.

Selain itu, pengalihan seluruh BUMN ke Danantara juga dinilai bakal meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Sebab, dengan saat ini BUMN masih dimiliki oleh pemerintah yang pada dasarnya memiliki konsep abstrak, transparansi dan akuntabilitas tidak sepenuhnya terjaga. Sebagai contoh, penunjukan petinggi BUMN dapat langsung ditunjuk oleh pemerintah, tanpa melalui uji kelayakan dan kepatuhan atau fit and proper test.

“Ini kan tidak terlalu kelihatan, kan. Misalnya, fit and proper test-nya gimana. Kemudian, berbagai pertimbangan pengangkatan-pengangkatan itu. Misalnya, Dirut (Direktur Utama) BRI, tiba-tiba jadi Dirut Telkom, Pertamina, segala macam. Itu kan, selama ini pemerintah mengeksekusi,” ujar Ekonom dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Eddy Junarsin, saat dihubungi Tirto, Kamis (20/3/2025).

Sementara di Danantara, ada Dewan Komisaris dan Dewan Pengurus yang diharapkan dapat menunjuk pimpinan BUMN sesuai dengan kemampuannya. Tak hanya berdasarkan kedekatan atau afiliasi politik seperti yang kerap terjadi sampai saat ini.

“Transparansinya akan lebih tinggi, akuntabilitasnya akan lebih tinggi, governance-nya akan lebih independen, lebih baik secara konseptual,” imbuh dia.

Momen Reformasi BUMN

Dengan banyaknya BUMN sakit, masuknya BUMN ke Danantara diharapkan bisa menjadi momen bagi pemerintah untuk menyehatkan perusahaan-perusahaan pelat merah yang saat ini dalam kondisi sakit atau berkinerja tidak baik. Pada saat yang sama, BUMN dengan kinerja kurang baik juga dapat ditingkatkan hingga menyandang predikat BUMN dengan kinerja apik.

Dalam hal ini, manajemen Danantara harus dengan jelas bisa memisahkan mana saja BUMN yang membutuhkan aksi akuisisi atau penggabungan untuk memperbaiki kinerja perusahaan. Kemudian, mana saja BUMN yang dapat diperluas atau diperlebar usahanya untuk mendapat profit lebih tinggi.

“Cuma, kan, ini akan tercapai atau tidak tergantung implementasinya. Implementasinya bisa berhasil atau tidak, susah kita petakan sekarang,” ujar Eddy.

Dalam pengelolaan BUMN di bawah Danantara, ia pun melihat tak cukup hanya dengan membentuk perusahaan induk (parent company) atau holding company saja. Langkah lanjutan seperti merancang merjer dan akuisisi berbagai perusahaan milik pemerintah juga perlu dilakukan, agar semakin efektif dan efisien, tidak ada temuan manajemen berlapis, hingga lincah dalam berinovasi.

“Harapannya, jangan memanfaatkan Danantara dengan menempatkan orang-orang di BUMN. Makanya harus juga diperkuat di pengawasannya (Danantara). Negara harus mampu menyadari kelemahan tadi (politisasi jabatan), harus mencegah. Jangan mengobati. Kalau mengobati, kan berarti sudah terjadi,” jelas Eddy.

Terpisah, menurut Peneliti dari NEXT Indonesia, Herry Gunawan, memasukkan seluruh perusahaan BUMN ke bawah kelolaan Danantara, akan berpotensi memunculkan lebih banyak masalah. Hal ini karena, dalam kondisi saat ini banyak perusahaan BUMN sakit atau berkinerja kurang optimal, ketimbang perusahaan pelat merah yang mencatat profit tinggi.

Danantara pun dinilai akan sulit dikelola secara profesional, dalam arti memenuhi standar tata kelola perusahaan yang baik. Apalagi, komposisi pengelola Danantara dinilai cenderung tidak memedulikan atau bahkan menabrak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Padahal, hal ini bisa dilihat sebagai sinyal negatif.

“Akibatnya, Investor juga malas kerja sama karena risiko investasinya semakin tinggi. Soal regulasi yang ditabrak, yakni UU Kementerian Negara dan UU BUMN tahun 2025, yang baru. Di dua UU ini, jelas ada larangan rangkap jabatan bagi pengelola Danantara, termasuk sebagai menteri,” jelas Herry, kepada Tirto.

Sebagai informasi, Danantara dipimpin oleh Rosan P Roeslani yang saat ini juga menjabat sebagai Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Kemudian, jabatan COO diemban oleh Dony Oskaria yang kini merupakan Wakil Menteri BUMN, sementara jabatan Chief Investment Officer (CIO) dipercayakan kepada Pandu Sjahrir yang merupakan Managing Partner di Indies Capital dan Founding Partner di AC Ventures. Sedangkan, Ketua Dewan Pengawas Danantara dijabat oleh Menteri BUMN, Erick Thohir, dengan anggota Dewan Pengawas salah satunya adalah Menteri Keuangan, Sri Mulyani.

Di sisi lain, birokrasi yang harus dihadapi oleh BUMN kelak akan bertambah panjang. Bagaimana tidak, nantinya operasional perusahaan-perusahaan pelat merah nantinya akan dikelola oleh Holding Operasional. Sementara pada saat yang sama, modal yang dimiliki perusahaan akan dikelola oleh Holding Investasi.

Sialnya, meski telah berubah komando, BUMN tetap saja tidak bisa lepas dari intervensi. “Pimpinan Danantara, Dewan Penasehat, DPR/Politik, belum lagi komisaris (itu) ‘utusan’ dari parpol (partai politik). BUMN akan sulit menghindar dari intervensi politik,” imbuh Herry.

Alasannya sederhana, karena Danantara dimulai dengan memaklumi pelanggaran seperti rangkap jabatan. Bahkan, COO Danantara, Dony Oskaria, saat ini juga masih merangkap sebagai Wakil Komisaris Utama Pertamina.

“Dan dia tidak berani mundur dari jabatan komisaris. Itu beberapa contoh kerugiannya,” lanjut dia.

BUMN nantinya tidak lagi diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kecuali audit khusus. Kendati, hal ini juga bisa dianggap sebagai dua mata pedang. Sebab, jika terjadi kerugian dan BPK tidak dapat masuk untuk mengaudit lembaga investasi dengan dana kelolaan mencapai 900 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp14.715 triliun (asumsi kurs Rp16.350 per dolar AS), kerugian yang dibukukan praktis akan menjadi kerugian negara.

“Mudah-mudahan untung. Kalau rugi, tidak bisa dianggap sebagai kerugian negara mengingat holding investasi nanti akan menjadi BUMN, dengan badan hukum PT. Namun di lain sisi, pemerintah tetap harus mengalokasikan dana PMN untuk BUMN, lembaga yang dianggap bukan kekayaan negara yang dipisahkan itu. Ada paradoks,” tukas Herry.

Baca juga artikel terkait HOLDING BUMN atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - News
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Anggun P Situmorang