Menuju konten utama
Mozaik

Menimbang Danantara, Dibutuhkan Rakyat atau Sekadar Nostalgia?

Danantara disebut-sebut sebagai ide Sumitro Djojohadikusumo yang baru terwujud di era anaknya. Apakah super holding ini dibutuhkan atau sekadar nostalgia?

Menimbang Danantara, Dibutuhkan Rakyat atau Sekadar Nostalgia?
Header Mozaik Danantara. tirto.id/Fuad

tirto.id - “Jadi, secara kasar, pemborosan dan kehangusan selama Pelita V diperkirakan sekitar 30% dari total investasi,” kata Sumitro yang langsung membuat heboh pemerintahan Soeharto pada akhir tahun 1993.

Isu kebocoran dana pembangunan sebesar 30 persen atau sekitar Rp8 triliun yang diungkapkan Sumitro menghangat dalam beberapa bulan. Sejumlah pejabat membantahnya di berbagai media.

Sumitro dipanggil Soeharto. Kepada presiden, ia menjelaskan bahwa pernyataannya berdasarkan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang tinggi di Indonesia, menunjukkan inefisiensi dan pemborosan dalam perekonomian.

“ICOR yang tinggi menandai bahwa ekonomi biaya tinggi masih dialami negara kita. Karena itu kita harus menurunkannya,” terang Sumitro kepada majalah Tempo edisi 22 Januari 1994.

Sumitro Djojohadikusumo merupakan salah satu sosok penting dalam membentuk kebijakan ekonomi nasional. Ia pernah menjadi menteri di era Orde Lama dan Orde Baru.

Belakangan, namanya kembali mencuat dalam diskusi publik terkait kebijakan ekonomi di masa pemerintahan Prabowo Subianto, putranya. Sumitro dikaitkan dengan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) yang baru diresmikan Prabowo pada 24 Februari lalu.

Danantara dan Ingatan tentang Sumitro

Sumitro Djojohadikusumo lahir pada 29 Mei 1917. Ia sosok yang berpendidikan tinggi dengan gelar doktor dari Erasmus Universiteit Rotterdam, Belanda, pada 1942. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Negara Riset Indonesia, Menteri Keuangan, dan Menteri Perdagangan pada masa pemerintahan Sukarno.

David Ransom dalam Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia (2006:28) menyebut Sumitro mempertahankan stabilisasi ekonomi yang didukung investasi Belanda, sehingga ia menolak saat Sukarno menasionalisasi aset-aset milik Belanda pada 1957.

Dari situlah ia mulai berseberangan dengan Sukarno dan bergabung dengan beberapa gerakan di luar Jawa. Namun, ia selalu mengatakan kepada anak-anaknya bahwa Sukarno adalah tokoh besar. Dalam autobiografi Prabowo: Rekam Foto Sang Patriot (2023:164), ucapannya itu yang akhirnya membuat Prabowo mengagumi Bung Karno.

Terkait Danantara, Hashim Djojohadikusumo, adik Prabowo sekaligus Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi, mengenang bahwa ayahnya telah membayangkan lembaga ini pada tahun 1980-an dan 1990-an, tetapi tidak dapat mewujudkannya karena keadaan politik.

Dalam majalah Dunia EKUIN dan PERBANKAN Volume 9, Edisi 23-24, Sumitro mengusulkan kepada pemerintah untuk membentuk lembaga keuangan independen yang memanfaatkan hasil laba BUMN sebesar 1 hingga 5 persen.

Soemitro Djojohadikoesoemo

Soemitro Djojohadikoesoemo. FOTO/Istimewa

Usulan Sumitro yang disampaikan dalam rapat agenda Induk Koperasi Pegawai Republik Indonesia (IKPRI), menyebut bahwa lembaga keuangan independen itu nantinya akan menjadi dana investasi untuk pembinaan dana koperasi dan usaha kecil.

“Saya kira [sekarang] gerakan koperasi secara menyeluruh (pemanfaatan laba 1%–5%) kurang efektif dan saya sangsi apakah itu efisien. Sekarang ini terpencar-pencar. Ratusan BUMN, ratusan tanya,” lanjutnya dalam tajuk rencana berjudul "Sumitro: Perlu Lembaga Khusus Urus Dana BUMN” di harian Bisnis Indonesia edisi Selasa, 17 Desember 1996.

Sementara menurut laporan harian Suara Karya di tanggal yang sama, Sumitro mengatakan bahwa selain memiliki peran sebagai investment trust, lembaga itu juga dimungkinkan berperan sebagai dana jaminan yang dapat turut serta dalam pembelian saham-saham perusahaan swasta maupun BUMN.

Sebelumnya, Sumitro pernah mengusulkan gagasannya kepada beberapa pejabat, termasuk Menteri Keuangan saat itu, J.B Sumarlin (1988-1993)--namun Sumarlin menilai lembaga tersebut belum waktunya dibentuk. Ide serupa kembali diusulkan pada era Menteri Keuangan berikutnya, Mari’e Muhammad (1993-1998), yang hanya merespons tanpa aksi nyata.

Hingga akhir hayatnya, lembaga investasi itu tidak pernah terwujud.

“Padahal saya rasa sudah waktunya. Kita sudah ketinggalan dengan Malaysia 17 tahun [yang membentuk Sharikat Permodalan Nasional Berhad]. Di Malaysia saya sarankan waktu itu, terus dijalankan,” kata Sumitro.

Prabowo tidak bisa lepas dari bayang-bayang warisan intelektual ayahnya. Gagasan-gagasan Sumitro soal kemandirian ekonomi melekat dalam ingatannya. Lain itu, sebagaimana ayahnya dulu, Prabowo juga pernah menyinggung soal kebocoran anggaran negara yang disampaikannya pada kampanye Pemilu 2014 dan Pemilu 2019.

Pada kegiatan retret kepala daerah di Akademi Militer Magelang beberapa waktu lalu, Prabowo menyinggung soal ekonomi berdikari. Hal serupa kemudian ia dilontarkan kembali pada peresmian Layanan Bank Emas Pegadaian pada 26 Februari lalu.

“Pemerintah yang saya pimpin sekarang telah melakukan beberapa kebijakan strategis sebagai ikhtiar menuju kemandirian ekonomi, menuju Indonesia yang aman, adil, makmur, kuat, berdiri di atas kaki kita sendiri,” ujarnya dilansir Kementerian Sekretariat Negara.

Dalam berbagai kesempatan, misalnya, kalimat Sumitro tentang Indonesia yang tertinggal dari Malaysia itu kerap dilontarkan Prabowo Subianto.

“Sebagai contoh, ingatlah, bagaimana bisa Malaysia punya perusahaan mobil nasional sejak tahun 1983, sedangkan kita belum punya perusahaan mobil nasional? Malaysia negara 30 juta orang, Indonesia 270 juta orang. Mereka berani bikin perusahaan mobil nasional, kok kita tidak?” tulis Prabowo dalam buku Paradoks Indonesia dan Solusinya (2023:51).

Kini, Prabowo mencoba merealisakan mimpi ayahnya itu lewat BPI Danantara.

“Jangan salah, apa yang kita luncurkan hari ini bukan sekadar sebuah dana investasi, melainkan instrumen, alat pembangunan nasional yang harus bisa mengubah cara kita mengelola kekayaan bangsa demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia,” ucap Prabowo dalam pidato sambutan peresmian Danantara.

Peluncuran Danantara

Presiden Prabowo Subianto (kelima kiri) didampingi Wapres Gibran Rakabuming Raka (ketiga kiri) bersama Presiden ketujuh Joko Widodo (keempat kanan), Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (keempat kiri), Wapres ke-13 Ma'ruf Amin (kedua kanan), Wapres ke-12 Jusuf Kalla (ketiga kanan), Wapres ke-11 Boediono (kedua kiri), Menteri BUMN Erick Thohir (kiri), serta Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Rosan Roeslani (kanan) meluncurkan secara simbolis badan pengelola investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Senin (24/2/2025). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/app/nz

Menteri BUMN sekaligus Ketua Dewan Pengawas Danantara, Erick Thohir, menyatakan bahwa pembentukan BPI Danantara masih banyak diragukan dan sering disamakan dengan 1Malaysia Development Berhad (1MDB) yang bernasib apes.

Dia meminta agar seluruh pihak melihat contoh lembaga investasi kekayaan negara yang berjalan sukses di negara lain seperti Public Investment Fund (PIF) Arab Saudi dan Qatar Investment.

Erick meluruskan bahwa dana yang dikelola Danantara bukan duit pribadi masyarakat yang tersimpan di bank, melainkan hasil deviden perusahaan-perusahaan BUMN, dan akan ada 47 BUMN yang akan dikelola oleh Danantara, tetapi hanya 7 BUMN yang dikelola asetnya di tahap awal ini.

Pada tahap awal pembentukan, Danantara akan menaungi tujuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk menciptakan sinergi dan meningkatkan efisiensi pengelolaan sumber daya, yakni Bank Mandiri, BRI, BNI, PLN, Telkom, Pertamina, dan Mining Industry Indonesia (MIND ID).

Dengan dukungan regulasi dan proyeksi aset besar, Danantara diharapkan mampu menarik investor, menciptakan lapangan kerja, dan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.

“Gagasannya mengundang banyak investor untuk bekerja sama dalam berinvestasi pada proyek-proyek yang layak,” ucap Hashim Djojohadikusumo seperti dilansir Antara.

Dalam sejumlah pemberitaan, Danantara disebut bertujuan mengoptimalkan aset BUMN dan mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan model serupa Temasek Holdings Singapura yang dibentuk pada 1974, lembaga ini akan mengelola aset non-APBN, fokus pada investasi berkelanjutan, dan menaungi beberapa BUMN besar untuk meningkatkan efisiensi.

Diproyeksikan mengelola aset lebih dari $900 miliar atau setara Rp14 ribu triliun, Danantara memiliki pendanaan awal mencapai $20 miliar atau setara Rp326 triliun. Lembaga ini diharapkan membawa dampak positif bagi perekonomian nasional, khususnya proyek-proyek strategis di sektor energi terbarukan, manufaktur, dan produksi pangan.

Hal ini berbeda dengan lembaga investasi yang digagas Sumitro, yang lebih fokus pada pengembangan ekonomi akar rumput seperti koperasi, UKM, dan ekonomi lokal.

Pemerintahan Prabowo menghadapi tantangan besar dalam menerjemahkan warisan pemikiran ayahnya ke dalam kebijakan yang efektif dan relevan. Ia perlu memastikan bahwa kebijakannya memiliki dampak jangka panjang yang berkelanjutan.

Danantara harus didukung oleh sistem yang transparan dan akuntabel untuk memastikan bahwa lembaga tersebut bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat, bukan kelompok dan segelintir pejabat. Juga, jangan sekadar mengelus ingatan tentang masa lalu.

Baca juga artikel terkait HOLDING BUMN atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - News
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi