tirto.id - Ketika masih muda, Sumitro Djojohadikusumo bin Margono Djojohadikusumo begitu haus petualangan. Adrenalinnya terbilang tinggi. Waktu pecah perang saudara di Spanyol, ia ingin turut serta. Sumitro yang saat itu baru berusia 20 tahun, sangat ingin bergabung dengan Brigade Internasional untuk melawan kubu Jenderal Franco.
Sosialisme begitu menarik bagi Sumitro muda. Keinginannya ikut serta dalam Brigade Internasional juga karena persahabatannya dengan pengarang Perancis, Andre Malraux—yang rela jadi pilot pos sukarelawan untuk kelompok Republik.
Seperti terdapat dalam biografinya Sumitro Djojohadikusumo: Jejak Perlawanan Begawan Pejuang (2000:15), ia sempat dilatih militer secara singkat di Catalonia. Namun harapannya masuk Brigade Internasional ditolak karena usianya belum genap 21 tahun.
Setelah itu, ia lantas kuliah di Belanda. Sumitro tergolong beruntung, sebab tak semua pemuda keturunan priyayi bisa kuliah ekonomi di Rotterdam, pada zaman sulit pasca depresi ekonomi dunia.
Dalam biografinya dijelaskan, Sumitro menggondol gelar doktor ekonomi dari Nederlandsche Economische Hogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) Rotterdam—dengan disertasi berjudul Het Volkcredietwezen in de Depressie (yang dibahasa-Indonesiakan menjadi: Kredit Rakyat di Masa Depresi).
Pada 11 Maret 1943, saat ia telah menyelesaikan studinya di Belanda, Sumitro hendak pulang ke Indonesia. Namun apa daya Perang Eropa keburu berkecamuk. Belanda kala itu berada dalam cengkeraman fasis Jerman. Sumitro pun terpaksa tinggal di Belanda dengan bekerja di lembaga riset almamaternya.
Seperti waktu di Spanyol, di Belanda pun Sumitro muda gerah dengan fasisme. Ia pun bergabung dengan gerakan bawah tanah anti fasis Jerman.
Menjadi Menteri dan Terlibat PRRI
“Sejak 1937 belajar di Sekolah Tinggi Ekonomi Rotterdam, Sumitro tidak mengikuti dari dekat pergerakan nasional. Akibatnya, konsepnya berkisar pada Indonesia Merdeka yang terikat dengan Kerajaan Belanda dalam sebuah Uni,” tulis Rosihan Anwar dalam In Memoriam: Mengenang yang Wafat (2002:332).
Ketika pertama kali bertemu dengan Sumitro, Rosihan Anwar melihat sosok doktor ekonomi muda yang tampak kurang percaya diri. Setelah kembali ke Indonesia pada 1946, Perdana Menteri Sutan Sjahrir mengangkatnya sebagai staf, dan diterima pula menjadi bagian dari Partai Sosialis yang dipimpin Sjahrir bersama Amir Sjarifuddin.
Ketika Republik butuh uang, Sumitro dijadikan direktur utama Banking Trading Center (BTC) yang berdagang di luar negeri. Setelah sempat menjadi kuasa usaha RI di Washington DC, Sumitro kembali ke Indonesia. Selain pekerjaan tersebut, ia juga menjadi salah satu pengajar ekonomi di Universitas Indonesia (UI). Dalam buku Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982 (1982:134) disebutkan bahwa dirinya adalah pendiri sekaligus dekan pertama Fakultas Ekonomi UI.
Di masa demokrasi liberal, Sumitro pernah dijadikan Menteri Perdagangan dan Perindustrian (1950-1951) dan juga Menteri Keuangan (1952-1953).
Ketika masih belajar Belanda, Sumitro bertemu dengan Dora Marie Sigar yang kemudian menjadi istrinya. Perempuan itu berdarah Minahasa yang ditemuinya dalam sebuah acara yang diadakan oleh Indonesia Christen Jongeren (Mahasiswa Kristen Indonesia).
Seperti dicatat Aristides Katoppo dan kawan-kawan dalam Sumitro Djojohadikusumo: Jejak Perlawanan Begawan Pejuang(2000:396), orangtua Dora adalah pejabat kelas tinggi sehingga berstatus layaknya warga negara Belanda. Dora belajar ilmu keperawatan pasca bedah di Utrecht. Dora adalah penganut Calvinis.
Meski beda agama, Sumitro dan Dora jalan terus. Setelah pulang ke Indonesia, tepatnya pada 7 Januari 1947, mereka menikah di daerah Matraman, Jakarta. Seperti banyak pasangan lain di Indonesia, pasangan ini juga sempat merasakan tinggal di rumah orangtua atau mertua. Apalagi saat itu zaman perang.
Tahun 1957, pasangan ini telah dikaruniai empat orang anak. Meski demikian, Sumitro masih berjiwa muda. Ia berani menjalani keyakinannya yang berseberangan dengan Presiden Sukarno dan Sutan Sjahrir. Sumitro ikut serta dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra. Ketika bergabung dengan PRRI, rezim Sukarno menuduhnya terlibat tindak korupsi.
Alhasil, keterlibatan Sumitro dalam PRRI akhirnya berdampak bagi PSI yang kemudian dibubarkan.
“Orang-orang PSI memang begitu, kalau saya masuk kabinet dan gagal maka mereka bilang ‘itu bukan orang kita. Dia bukan orang partai, dia duduk sebagai perseorangan. Itu salah dia’. Namun kalau berhasil maka dibilang, ‘Nah. Itu orang kita.’ Begitu pula, ketika saya bergabung dengan gerakan daerah (PRRI), mereka lantas bilang bahwa itu ulah Sumitro pribadi,” kata Sumitro dalam biografinya (2001:233), yang dianggap ekonom Sjahrir dalam resensinya di Tempo (14/05/2001) sebagai biografi satu dimensi.
Sebelum Sukarno lengser, Sumitro numpang tinggal dari satu negara ke negara lainnya bersama istri dan anak-anaknya. Kelahiran Orde Baru akhirnya menjadi era baru bagi Sumitro.
Sumitro di Era Orde Baru
Saat Soeharto mulai berkuasa, Sumitro dicari Ali Moertopo selaku kepala intel. Maka pulanglah Sumitro si anak hilang itu. Ketika para ekonom yang dicap Mafia Barkeley begitu didengar oleh pemerintah Orde Baru, Soemitro juga jadi orang penting. Orde Baru menjadikannya sebagai Menteri Perdagangan (1968-1972) dan Menteri Negara Riset (1972-1978).
Ketika Sumitro kembali ke Indonesia, anak-anaknya sudah beranjak dewasa dan mendapat pendidikan formal yang lebih dari cukup. Anak pertamanya yang bernama Biantiningsih Miderawati, merupakan sarjana pendidikan dari Harvard. Ia menikah dengan Joseph Soedrajad Djiwandono, seorang ekonom yang di akhir rezim Orde Baru menjadi Gubernur Bank Indonesia.
Sementara Mariani Ekowati, anak kedua Sumitro, adalah ahli mikrobiologi. Ia menikah dengan Didier Lemeistre—orang Prancis yang pernah menjadi direktur dana investasi global yang terkait dengan kelompok bisnis Lippo Mochtar Riadi.
Hashim Sujono sebagai anak bungsunya, yang pernah kuliah Politik dan Ekonomi di Universitas Pomona, Amerika Serikat, kini dikenal sebagai bos dari kelompok bisnis Arsari.
Dan Prabowo Subianto adalah anak ketiga Sumitro. Setelah karier militernya berakhir, Prabowo menjadi politikus Partai Gerindra yang berkali-kali maju sebagai calon presiden. Saat ini, keturunan Sumitro hampir semuanya aktif di partai berlambang garuda tersebut.
Ketika Orde Baru masih jaya, Prabowo dikenal sebagai menantu kesayangan daripada Presiden Soeharto. Meski demikian, hubungan antara Sumitro dengan besannya, seperti terdapat dalam biografinya (2001:421-424), tidak selalu mulus.
Suatu kali pada tahun 1995--menurut versi Sumitro--Titiek (menantunya) pernah menyampaikan omongan Soeharto kepada Sumitro. “Bapak bilang, ‘Tiek, mertuamu sudah priyayi sepuh kok masih radikal saja.”
Ia menjawab, "Ya, saya sudah terlalu tua untuk mengubah diri."
Sumitro di tahun 1995, rupanya masih Sumitro yang tak jauh berbeda dengan dirinya pada tahun 1957 saat bergabung dengan PRRI di Sumatra, juga tahun 1940-an di Belanda: masih berani melawan penguasa. Ia wafat pada 9 Maret 2001, tepat hari ini 19 tahun lalu.
Editor: Irfan Teguh