tirto.id - Pada 15 Mei 1940, tepat hari ini 80 tahun silam, Belanda menyerah kepada Jerman. Hubungan Belanda dengan Hindia Belanda pun terputus. Hal ini berdampak pada mahasiswa Indonesia yang sedang menimba ilmu di sana.
Mereka tak bisa lagi saling berkirim surat ataupun menerima kiriman uang dari keluarganya karena jalur pos terputus. Beberapa di antara mereka pun akhirnya bergabung dengan gerakan bawah tanah menentang tentara Nazi.
Para anggota Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda termasuk yang bergabung dengan gerakan tersebut. Mereka kerap mendapatkan perlindungan dari kelompok komunis Belanda. Oleh karena itu, PI sering dicap sebagai kelompok kiri dan dianggap musuh oleh kelompok fasis. Parlindoengan Loebis, Ketua PI saat itu, dijebloskan ke kamp konsentrasi.
“Waktu fasisme mulai menongolkan kepalanya pada tahun-tahun tiga puluhan, orang-orang Indonesia telah menyadari bahwa dari sudut itulah akan datang bahaya besar yang mengancam. Ini dibuktikan oleh diktatur-diktatur fasis di berbagai negeri dengan rencana-recananya yang agresif, kebencian ras dan penindasan atas tiap hak manusia. Negara-negara yang agresif ini menaruh hasrat tamaknya pada negeri-negeri koloni,” tulis Jayeng Pratomo dalam makalahnya yang bertajuk "Orang-orang Indonesia dan Gerakan Perlawanan di Nederland".
Dalam tulisan itu Jayeng Pratomo menceritakan tentang orang-orang PI yang berjuang dengan mesin stensil dan senjata api melawan tentara fasis Nazi Jerman.
Mahasiswa Bawah Tanah
Pada bulan Juni 1941, Sicherheitsdienst (badan intelijen Nazi) menggeledah berbagai tempat tinggal mahasiswa Indonesia di Leiden. Mereka mencari empat anggota pimpinan dari grup perlawanan Perhimpunan Indonesia.
“Dua di antara mereka tertangkap, yaitu R.M. Sidartawan dan Parlindungan Lubis, sedang yang lain dapat meloloskan diri,” tulis Jayeng Pratomo.
Mahasiswa-mahasiswa Indonesia itu ditangkap di Leiden dan Amsterdam. Sidartawan meninggal dunia di kamp konsenstrasi Dachau. Sementara Parlindoengan dibawa ke kamp konsentrasi Schoorl, Amersfoort.
“Setelah dipindahkan ke Buchenwald, aku memperkirakan bahwa tidak mempunyai harapan lagi untuk dibebaskan, kecuali Jerman dikalahkan Sekutu dalam perang,” tulis Parlindoengan Loebis dalam autobiografinya Orang Indonesia di Kamp Konsentrasi Nazi (2006).
Sementara anggota PI lainnya, Moen Soendaroe, tertangkap pada 18 Januari 1943. Nasibnya lebih buruk. Ia berpindah dari satu kamp ke kamp lainnya dan ikut kerja paksa. Moen terkena disentri dan busung lapar sebelum akhirnya meninggal ada Februari 1945.
Kehidupan bawah tanah orang-orang PI tak jauh beda dengan kelompok resistensi anti-Nazi lain yang tersebar di Eropa. Mereka hidup seperti orang sipil yang harus siap digeledah kapan saja oleh serdadu Nazi, termasuk pasukan elit Schutzstaffel (SS) yang dikenal kejam, juga polisi rahasia Nazi bernama Gestapo.
Kaum bawah tanah Indonesia punya nama samaran. Sebagai contoh, pimpinan PI Soenito punya alias Fritz de Bruin, Soeripno alias Karel van Delft, dan Maruto Darusman alias Nico van Zuilen.
Perang Eropa membuat PI menjadi organisasi semi militer dan intelijen. Mereka harus siap terjaga dan terus berhati-hati. Di Belanda, PI terbagi menjadi tiga kelompok besar, yakni di Amsterdam, Leiden, dan Den Haag.
Setelah tentara Nazi menyita radio orang PI pada Mei 1943, mereka menerbitkan buletin ilegal stensilan bernama Fuiten. Tiap edisi hanya satu lembar dan selalu dengan kalimat pembuka “kita kutip berita berikut dari pihak sekutu.”
Tentara pendudukan Nazi Jerman berhasil mengendus buletin ini. Pada 3 April 1944, tiga orang dari tujuh anggota redaksi Fuiten, yakni Moewalladi, KMI Drajat Darmakeswara, dan H. van den Bosch ditangkap. Sementar anggota redaksi lainnya lolos. Mereka adalah Oelam Simatupang, Pamoentjak, Tamzil, dan Sie Soe Giang.
Di zaman perang, mengurus mesin stensil bukan perkara gampang. Mesin cetak itu dianggap berbahaya bagi tentara pendudukan karena berpotensi menyebarkan berita-berita yang merugikan pihak Nazi Jerman. Irawan Soejono menempuh risiko ini.
“Tanggal 13 Januari 1945, mahasiswa muda Indonesia RM Irawan Soejono di Leiden mengangkut perlengkapan stensil yang baru saja direparasi untuk mencetak penerbitan-penerbitan ilegal. Ia bertemu dengan pasukan SS yang sedang melakukan razia. Irawan berusaha melarikan diri, tapi ia ditembak mati,” tulis Jayeng Pratomo.
Irawan adalah putra Raden Ario Adipati Soejono. Ayahnya adalah orang Indonesia pertama yang menjadi menteri dalam pemerintah Belanda di London. Ia diangkat agar Belanda terlihat peduli pada Hindia Belanda koloninya.
Di tempat lain, tepatnya pada tahun 1944, Jusuf Muda Dalam mengasuh De Bevrijding. Tak hanya mengurus mesin cetak dan menulis, ia juga pernah menembaki serdadu Nazi dengan senapan mesin menjelang berakhirnya perang Eropa.
Menurut Jayeng Pratomo, Jusuf Muda Dalam juga ambil bagian dalam penyergapan pada sebuah kantor distribusi kupon bahan makanan di Den Haag. Penyergapan itu dilakukan dengan bersepeda. Semula aksi mereka tampak sukses, tetapi mereka kemudian disergap balik oleh tentara Nazi. Beruntung Jusuf berhasil lolos.
“Grup perlawanan Indonesia di Rotterdam menyadari benar-benar, bahwa jika mereka kedapatan oleh Jerman, maka akan habislah riwayatnya,” imbuh Jayeng Prawiro.
Kelompok ini akhirnya mempersenjatai diri dengan merebut empat pistol Walther. Dari kawan-kawan gerakan bawah tanah Belanda, mereka mendapat dua karaben dan lima pistol beserta pelurunya.
“Senjata-senjata itu berasal dari serdadu-serdadu Wehrmacht (Angkatan Bersenjata Nazi) yang sudah jemu perang dan menghilang dan bersembunyi di tempat orang-orang Belanda. Orang-orang Indonesia mendapat latihan menggunakan senjata-senjata itu dari seorang di antara mereka, seorang Gefreiter (kopral)," tulis Jayeng.
Pada September 1944, di Leiden berdiri kelompok mahasiswa bersenjata yang terdiri dari empat grup. Satu grup di antaranya terdiri dari mahasiswa-mahasiwa PI pimpinan Theo alias Alex Ticoalu. Grup ini mendapatkan senjata dari kelompok bawah tanah Rotterdam. Senjata dikirim dengan bersepeda, melewati jalan-jalan sepi, lorong-lorong, dan pos-pos pemeriksaan tentara Jerman. Semua berhasil dilewati tanpa gangguan.
Di Leiden, orang-orang Indonesia berlatih memakai senjata di ruang bawah pabrik wol dan lakan. Mula-mula grup mereka bernama Suropati. Setelah Irawan gugur saat memindahkan mesin stensilan, mereka menamakan diri Grup Irawan Soejono.
Para Punggawa Sang Ratu
Mahasiswa Indonesia yang tengah belajar ilmu militer pun mengalami nasib yang sama. Victor Makatita, seperti dicatat Harry Poeze, adalah pemuda Ambon yang sedang belajar di Akademi Militer Belanda di Breda sejak 1939. Ia tak bisa kembali ke Indonesia. Sejak Jerman menduduki Belanda, pendidikan militernya terhenti. Ia pun ikut melawan Jerman dengan menyaru sebagai masyarakat sipil.
Victor sempat bersembunyi di Den Haag, tempat dia belajar bahasa Perancis. Bersama seorang kadet asal Indonesia, Victor memutuskan pergi ke Swiss karena negara itu dikenal sebagai daerah netral. Mereka berharap bisa bebas dari kejaran serdadu Nazi.
Tanggal 10 Februari 1942, untuk pertama kalinya mereka berusaha memasuki Swiss. Namun, upaya itu gagal karena terhalang salju. Mereka mencoba lagi dan tertangkap oleh Polisi Vichi, kepolisian Perancis di bawah komando tentara pendudukan Jerman. Atas perintah tentara pendudukan Jerman, pada 9 April 1942, Victor Makatita ditembak mati oleh Polisi Vichi. Usianya belum genap 23 tahun ketika itu.
Victor bukan satu-satunya orang Indonesia yang tewas saat menimba ilmu militer di Belanda. Ada pula Eduard Alexander Latuperisa. Usianya sekitar 37 tahun ketika dia datang lagi ke Belanda pada bulan Agustus 1939. Dia datang bersama istri dan dua anaknya. Jabatannya sudah kapten infanteri, bukan lagi kadet seperti Victor Makatita. Dulunya Eduard juga belajar di KMA Breda, lulus sekitar tahun 1925.
Eduard seharusnya mengikuti sekolah lanjutan untuk perwira sekelas Hogare Krijg School. Namun, hal itu berantakan saat Jerman menyerbu Belanda pada Mei 1940. Eduard yang tak bisa kembali ke Indonesia akhirnya bergabung dengan Orde Dienst (OD) alias badan ketertiban yang anggotanya adalah bekas militer Belanda. OD biasa melakukan sabotase dan spionase. Sialnya, OD disusupi musuh dan anggotanya ditangkapi aparat Nazi Jerman.
“Di antara mereka adalah Latuperisa yang tugasnya mengorganisasi para kadet KMA dan melakukan transaksi senjata. Tanggal 13 Maret 1942 dia ditahan. Seratus anggota OD pilihan diadili pada Maret-April 1943 di kampung Haaren. Latuperisa, 41 tahun, dijatuhi hukuman mati, dan bersama 16 orang rekannya, ia ditembak mati tanggal 29 Juli 1943 di Leusderheide,” tulis Harry Albert Poeze dalam bukunya Di Negeri Penjajah (2008). .
Selain dua orang Ambon tadi, seorang Jawa yang jadi militer KNIL juga gugur di Belanda melawan Jerman, yaitu Mas Soemitro yang berpangkat sersan. Ketika Jerman menyeru agar militer Belanda melaporkan diri, Mas Soemitro memilih bersembunyi dan bergabung dengan gerakan bawah tanah.
Mas Soemitro pertama kali tiba di Belanda sekitar tahun 1913. Mula-mula ia ingin ikut sekolah perwira, tetapi karena ijazahnya tak memenuhi syarat, ia pun ditolak. Nemun belakangan, ia berhasil masuk militer dengan pangkat lebih rendah hingga menjadi sersan.
Sepak terjang Mas Soemitro dalam gerakan bawah tanah tak selamanya mulus. Peristiwa nahas menimpanya di akhir musim gugur 1943. Ia terjatuh ketika hendak meloncat dari trem dan terluka parah. Mas Soemitro meninggal pada 26 Januari 1944.
Serdadu yang Selamat
Orang-orang Indonesia di front Eropa ada juga yang selamat, salah satunya adalah Andi Abdul Azis. Sejak usia sebelas tahun, putra bangsawan Bugis ini telah berada di Belanda, sebagai anak angkat dari orang Belanda yang pernah jadi Asisten Residen di Barru, Sulawesi Selatan. Di sana ia disekolahkan sampai serangan Jerman mengganggu sekolahnya.
Andi Azis bergabung dengan Angkatan Darat Belanda dan ikut serta dalam rombongan gerakan bawah tanah yang kabur ke Inggris. Ia kemudian ikut sekolah calon bintara dan mengikuti latihan pasukan komando di luar London. Saat perang Eropa berakhir, pangkatnya telah sersan.
Dengan kualifikasi pasukan penerjun, ia kemudian dikirim ke Asia Tenggara dan pulang ke Indonesia. Ia termasuk perwira KNIL yang disegani dan pernah jadi Ajudan Presiden Negara Indonesi Timur.
Selain Andi Azis, ada juga Abdul Halim Perdanakusuma. Ia adalah perwira Angkatan Laut Belanda di kapal torpedo yang hancur dibom musuh. Bersama Angkatan Udara Inggris dan Kanada, Halim ikut serta dalam misi berbahaya di front pertempuran Eropa.
Sebagai navigator, ia turut serta dalam pesawat Sekutu yang membombardir berbagai posisi tentara Jerman di Eropa. Halim telah menempuh 42 misi dan kembali dengan selamat. Pangkat terakhirnya dalam armada udara Sekutu adalah Kapten. Setelah Perang Dunia II selesai, Halim ikut mendirikan Angkatan Udara Indonesia dan namanya diabadikan sebagai bandar udara di Jakarta.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 27 Mei 2016. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti & Irfan Teguh Pribadi