tirto.id - Sebelum serdadu-serdadu fasis NAZI menyekapnya bertahun-tahun, Parlindoengan Loebis adalah seorang dokter yang membuka praktik di Amsterdam, jauh dari kampung halamannya. Saat itu, ia sudah beristrikan Clara Johana Loebis.
Loebis tak pernah lupa kejadian di rumahnya pada 26 Juni 1941 ketika dirinya didatangi dua reserse Belanda yang bekerja untuk tentara pendudukan Jerman. Tanpa basa-basi, ia dibawa secara paksa oleh dua reserse itu.
Sebagai mantan Ketua Perhimpunan Indonesia (PI), Loebis memang anti-fasis. Buku Pendidikan di Tapanuli Bagian Selatan (2017) menyebut, Parlindoengan Loebis adalah “salah satu pimpinan mahasiswa yang terbilang radikal, anti fasis pada saat pendudukan Belanda oleh Jerman” (hlm. 30).
NAZI Jerman nan fasis memang bukan sekutu yang layak diajak kerja sama. Loebis akhirnya tahu, sebenarnya Ketua PI yang masih menjabat lah yang hendak ditangkap, tapi sulit ditemukan.
Kala itu, Perang Eropa sudah berkecamuk. Salah satu musuh Jerman adalah Uni Soviet yang komunis. Jadi, sebelum kaum komunis atau sosialis di Belanda jadi kekuatan yang mengganggu, mereka mesti disingkirkan.
Merasakan Langsung Kekejaman NAZI
Orang Indonesia yang dicokok tak hanya Loebis. Kawan Loebis di PI, Sidartawan, juga terciduk. “Waktu itu, Sidartawan tinggal di Clubhuis Indonesia; memang ia sebagai penggeraknya,” catat buku Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 (2008) yang disusun Harry Poeze dengan bantuan tulisan dari Cees van Dijk dan Inge van der Meulen (hlm. 314).
Majalah Indonesia (21/7/1945) yang dikutip Poeze menyebut, “Tanggal 25 Juni 1941 pagi-pagi, bersama dengan banyak orang lainnya ia ditahan Polisi Politik Jerman.”
Tak hanya Sidartawan dan Loebis saja yang hendak ditangkap. Kawan-kawan mereka seperti Ilderem dan Setiadjit juga menjadi incaran polisi. Beruntung, mereka sukses meloloskan diri.
“Ia bercerita bahwa sepekan sebelum dia ditangkap, ia bersiap-siap dengan dua orang teman lain untuk datang ke rumah kami di Amsterdam,” aku Loebis tentang Sidartawan dalam autobiografinya, Orang Indonesia di Kamp Konsentrasi NAZI (2006: 132).
Mereka hendak merayakan ulang tahun Loebis, tapi Loebis keburu ditangkap. Sidartawan bahkan hendak menyelundupkan satu tas beras yang sulit didapat dan dilarang untuk dibawa ke luar kota oleh serdadu-serdadu NAZI.
Di Kamp Schoorl, Loebis dan Sidartawan bertemu. Tapi di kamp ini, derita belum dimulai. Mereka lebih banyak makan-tidur saja. Tak ada kerja paksa yang bikin sengsara. Makanan belum sulit didapat karena mereka masih boleh dikirimi makanan dari luar. Loebis mengaku pernah mendapat apel dari bekas Menteri Jajahan yang juga jadi tahanan di situ, namanya Welter, yang kenal Loebis sebelum ditahan.
Kamp Schoorl dijaga tentara NAZI, yang beberapa di antaranya berasal dari Austria. Sejak 1938, Austria sudah dicaplok Jerman. Loebis melihat serdadu-serdadu asal Austria terlihat benci kepada serdadu-serdadu asal Jerman.
“Serdadu Austria masih mau ngomong-ngomong dengan kami dan memberi berita tentang keadaan di luar. Serdadu Jerman sama sekali tidak mau bicara dan mukanya kelihatan seram. Jika ada kejadian yang tidak menyenangkan, mereka melampiaskannya pada kami orang-orang tawanan,” tutur Loebis (hlm. 137).
Pada September, Loebis dan tawanan lain dipindahkan ke Kamp Amersfoort. Di sini lah penderitaan dimulai: mereka dipaksa bekerja layaknya kuli tanpa bayaran. Dengan jeda istirahat yang sangat sedikit, mereka memasang pagar kawat berduri, mengangkat semen, mengangkut batu bara, dan barang lainnya. Loebis dan Sidartawan pernah kebagian kerja memasang pagar kawat. Pekerjaan ini tampak lebih berat ketimbang angkat-angkat ala kuli.
Udara yang dinginnya bukan main membuat tubuh semakin tersiksa. Selain diperintahkan melakukan kerja paksa, jatah makanan juga berkurang di Kamp Amersfoort. Beberapa tawanan mulai melemah karena kurang makan. Meski serdadu-serdadu Jeman yang menjaga sangat bengis, beberapa tawanan nekad mencuri bahan makanan seperti kentang atau bawang.
“Dengan sembunyi-sembunyi sering juga orang-orang tawanan meninggalkan pekerjaannya dan keluyuran di kamp, kebanyakan dekat dapur, kandang ayam dan kandang babi,” aku Loebis (hlm. 144).
Jika beruntung, mereka bisa menemukan kupasan kulit kentang, kentang busuk, atau kol busuk di dapur. Di kandang ayam, mereka bisa mendapat roti basi atau kol yang sedianya untuk makanan ayam. Sementara di kandang babi, yang terdapat gudang penimbun ubi untuk pakan ternak, Loebis pernah mencuri beberapa potong ubi. Ia harus kena tendang serdadu penjaga ketika ketahuan.
Rezim fasis Jerman nan gila kejayaan itu sukses dalam menghinakan lawan politiknya bak binatang. Tentu saja tawanan seperti Loebis tak punya pilihan. Makanan binatang mereka makan untuk bertahan hidup.
Memang ada sekelompok tawanan yang sukses mencuri, tapi bukan makanan untuk hewan. Mereka adalah tawanan-tawanan tua yang dipekerjakan di ruang hangat untuk mengupas kentang. Meski tubuh mereka diperiksa ketika keluar dari tempat kerja, mereka kerap berhasil mencuri kentang.
“Caranya ialah jika mereka pergi ke WC, maka kentangnya dimasukkan ke dalam kloset dan ketika kloset disiram kentang keluar,” catat Loebis (hlm. 145).
Aliran air kloset tak dialirkan ke bawah tanah tapi ke permukaan. Kloset tetaplah jalur tinja, tapi itu satu-satunya cara yang mereka bisa untuk mendapatkan kentang. Semenjijikkan apapun, perut tetap harus diisi.
Maret 1942 adalah bulan terakhir Loebis melihat Sidartawan. Serdadu fasis Jerman memisahkan mereka. Sidartawan dinaikkan ke dalam truk, tak tahu hendak dibawa kemana. Sebelum berpisah, Loebis berkata pada Sidartawan, “Lebih baik begini, barangkali ada salah satu di antara kita yang bisa selamat ke luar dapat menceritakan kesengsaraan kita di Kamp Konsentrasi ini.”
Dipindah ke Jerman
Seminggu setelah Sidartawan, giliran Loebis yang diangkut ke luar Belanda. Setelah dua hari perjalanan, Loebis tiba di Kamp Buchenwald, Jerman. Di sinilah Loebis dan tawanan lainnya mandi beramai-ramai, memangkas rambut dan bulu kaki hingga botak, dan diberi pakaian seragam khas penghuni Kamp NAZI: piyama bergaris. Alas kaki mereka adalah klompen.
“Selama berada di Buchenwald, aku hanya mendapat satu pasang pakaian. Dalam enam bulan, hanya dua kali aku bertukar pakaian. Mandi pakai douche hanya mendapat kesempatan sekali dalam sebulan. Coba bayangkan bagaimana baunya semua orang yang ada di sini,” kenang Loebis (hlm. 152).
Di Jerman, kesengsaraan Loebis kian meningkat. Dia pun menyiapkan diri untuk lebih menderita dalam waktu yang lama. Tak ada kepastian kapan dirinya akan dikeluarkan dari “neraka dunia” itu. Bisa saja dia terbunuh sia-sia di dalam kamp.
“Aku pertama-tama harus mempunya hati yang keras dan tanpa rasa, seperti batu. Segala perasaan yang sentimentil dan cengeng harus kubuang jauh-jauh,” ujarnya.
Semua kenangan manis bersama keluarga harus dilupakan. Tak butuh masa lalu dalam penderitaan. Loebis melihat, orang-orang sentimentil, seperti tawanan Perancis yang ia kenal, tak akan bisa hidup lama. Merasa diri sudah mati akan sangat lebih baik. Di kamp, seorang tawanan hanya perlu memikirkan kebutuhan paling primitifnya: makan.
Kamp Buchenwald punya jam kerja, yaitu dari pukul 06.00 hingga 20.00 atau 21.00, kira-kira 14 jam sehari. Di sini Loebis dan tawanan lain hanya memakai tanda dan nomor di baju, tak ada nama untuk mereka. Di nisan makam pun mereka tak bernama, hanya angka.
Pada Oktober 1942, Loebis pindah dari Buchenwald. Ia dibawa ke Kamp Sachenhaussen, di Oranienburg. Ada pabrik pesawat Heinkel di dekatnya dan para tawanan dipekerjakan di situ. Di kamp itu didirikan pula rumah bordil untuk tawanan yang bekerja di pabrik pesawat. Loebis jadi dokter di sana, status yang membuatnya lebih beruntung.
Di Buchenwald, seperti diungkap Loebis, dia tak dapat pekerjaan seberat tawanan kebanyakan. Loebis bahkan mengaku, “Dari pertengahan tahun 1943 sampai aku dibebaskan pada April 1945, penghidupanku di kamp lumayan juga. Paling menolong aku ialah diangkat menjadi dokter di kamp” (hlm. 193).
Semasa menjadi dokter di kamp, Loebis pernah berpura-pura mengoperasi usus buntu seorang keturunan bangsawan Polandia agar yang bersangkutan tidak segera dieksekusi mati. Setelah operasi, si bangsawan diberi status harus beristirahat. Setelah sembuh, eksekusi mati untuknya dibatalkan dan orang itu selamat hingga perang selesai.
Parlindoengan Loebis bisa keluar hidup-hidup dari kamp NAZI, tapi tidak Sidartawan. Dia meninggal di Kamp Dachau pada minggu pertama bulan November 1942. “Sidartawan adalah orang Indonesia yang terkuat di antara orang-orang Indonesia di negeri (Belanda) ini. Namun kehidupan mengerikan di kamp konsentrasi NAZI yang terkenal buruk merusak fisiknya,” tulis Indonesia (21/7/1945).
Setelah Perang Dunia II berlalu, Loebis—yang bertemu kembali dengan Jo—pulang ke Indonesia dan melanjutkan hidupnya sebagai seorang dokter. Ia meninggal di Jakarta pada 31 Desember 1994.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan