Menuju konten utama

Industri yang Menghamba pada NAZI dan Hitler

Apakah Anda tahu bahwa ada sejarah kelam di balik merek-merek seperti Adidas, Puma, dan Hugo Boss?

Industri yang Menghamba pada NAZI dan Hitler
Hugo Ferdinand Boss. FOTO/Istimewa

tirto.id - Setelah 1933 adalah masa kejayaan partai NAZI pimpinan Adolf Hitler. Namun, kejayaan itu bukan hanya disebabkan faktor Hiter. Bagaimanapun, perang tak hanya butuh serdadu dan bedil semata. Serdadu setidaknya butuh pakaian juga sepatu. Untuk angkut cepat pasukan, butuh pesawat. Di daratan, militer juga butuh mobil. Di sinilah letak peran para praktisi industri Jerman.

Beberapa merek sohor asal Jerman tak bisa mengelak bahwa perusahaannya pernah terkait dengan NAZI. Sempitnya pilihan di zaman Hitler membuat banyak orang mau bekerja untuk NAZI, tak terkecuali beberapa pendiri merek-merek terkenal asal Jerman.

Mereka yang bersikap anti-perang akan kehilangan merek yang dibangunnya seperti dialami Hugo Junkers, pengusaha yang dianggap sosialis-pasifis. Pabrik pesawatnya, yang didirikan pada 1895 dan memperkuat Jerman di masa Perang Dunia I, diambil alih NAZI. Pabrik hasil pengambilalihan itu kemudian menghasilkan pesawat tempur NAZI nan sohor di masa Perang Dunia II: Stuka.

Itulah hukum yang berlaku di Jerman masa NAZI-Hitler: tunduk pada keinginan negara atau tamat. Maka, tak semua bisa berdiri tegak sepeti Hugo Junkers. Beberapa yang lain memilih akomodatif terhadap permintaan dan kegilaan rezim Hitler.

Keluarga Dassler dan Sepatu

Adolf Dassler (1900-1978) alias Adi adalah anak Christop Dassler, seorang pembuat sepatu. Adi bukanlah satu-satunya anak, dia punya saudara laki-laki yang lebih tua darinya. Ada Rudolf Dassler (1898-1974) alias Rudi dan Fritz.

“Waktu PD I baru mulai, dua saudara laki-lakinya, Fritz dan Rudi, pergi berperang untuk Jerman, sementara Adi muda tinggal di rumah untuk membantu bisnis penatu keluarganya,” tulis John Nauright dan ‎Charles Parrish dalam buku Sports Around the World: History, Culture, and Practice (2012).

Adi baru ikut bergabung di Angkatan Darat Jerman menjelang berakhirnya perang. Menurut Barbara Smit dalam Pitch Invasion: Adidas, Puma and the Making of Modern Sport (2007), dia bergabung di usia 17 tahun dan bertemu abang-abangnya di front Belgia.

Begitu perang selesai, mereka kembali ke Herzogenaurach meneruskan tradisi keluarga mereka: membuat sepatu di ruang penatu. Meski kondisi ekonomi Jerman sangat terpuruk pasca-Perang Dunia I, tangan Adi dan anak-anak Christoph Dassler tetap membikin sepatu. Di tahun 1920, tanpa melupakan rasa cintanya pada olahraga, Adi bahkan mendirikan perusahaan.

Empat tahun setelahnya Rudi bergabung dengan Adi. Jadilah Gebruder Dassler Schuhfabrik alias Dassler Brother Shoe Factory. Sepatu olahraga buatan Dassler bersaudara itu masuk ke arena Olimpiade 1928. Peraih emas Olimpiade 1936, yang tak disukai Hitler, Jesse Owens, juga memakai sepatu dari pabrik Adi dan Rudi itu.

“Tiga Dassler bersaudara terdaftar sebagai anggota partai NAZI sejak 1 Mei 1933, sekitar 3 bulan setelah Hitler menjadi penguasa,” tulis Barbara Smit. Pada 7 Agustus 1940, Adi mendapat panggilan wajib militer selama satu tahun. Begitu juga Rudi.

“Selama Perang Dunia II pabrik sepatu Dassler diperintahkan menghasilkan sepatu bot militer untuk Tentara Jerman,” tulis Tina Grant dalam International Directory of Company Histories (1996). Menurut buku Sports Around the World: History, Culture, and Practice, Adi menjalankan bisnis sepatu bot itu, sementara Rudi bergabung lagi ke militer Jerman. Sang abang ikut bertempur sampai tertangkap tentara Amerika.

Setelah perang selesai, Dassler bersaudara itu pecah kongsi. Rudi membangun sendiri usaha dan produknya nan legendaris, sepatu Puma, sementara Adi membesarkan mereknya: Adidas.

Buruh Gratisan di Balik Seragam Gagah NAZI

Jika anak-anak keluarga Dassler sohor di bidang alas kaki, untuk setelan pakaian gagah ala NAZI ada merek Hugo Boss. Buku sejarah PD II bergambar nyaris selalu memperlihatkan potret gagahnya tentara Jerman dengan seragam mereka. Terutama seragam Schutzstafel (SS) yang dikenal sebagai pasukan andalan Hitler dalam PD II. Banyak pengamat Perang Dunia menilai seragam SS paling gagah dibanding pasukan lain dalam sejarah perang modern.

“Penghargaan untuk desain semua segaram hitam SS diberikan kepada Oberfuhrer Profesor Karl Diebitsch, sementara untuk desain perwira tinggi, anggota partai penghargaan diberikan kepada desainer Hugo Boss,” tulis buku New Images of Nazi Germany: A Photographic Collection (2012).

Tulisan lain dari Alison More dalam Sexual Myths of Modernity: Sadism, Masochism, and Historical (2015), menyebut “Hugo Boss merancang versi abu-abu segaram SS, tapi banyak membuat seragam SS dan SA (Sturmabsteilung, pendahulu SS) secara umum sejak 1931 dan setelahnya.”

Desainer Hugo Ferdinand Boss (1885-1948) membangun mereknya sejak 1924. Menurut laporan The New York Times, sebelum mendapat pesanan dari NAZI, usaha Hugo adalah membuat seragam Kantor Pos dan Polisi. Seragam-seragam NAZI rancangan Hugo Boss juga dikerjakan oleh penghuni kamp tawanan NAZI di Perancis dan Polandia. Hal inilah yang membuat perusahaan Boss Ltd, jauh setelah Hugo Boss meninggal, dituntut oleh korban Holocaust.

Menurut Roman Koster dalam Hugo Boss, 1924-1945: die Geschichte einer Kleiderfabrik zwischen (2011), Hugo sempat “menjalankan bisnis orang tuanya sampai 1914.” Di usia 29 tahun, dia kena dinas militer dengan pangkat terakhir kopral.

Menjadi NAZI di era Hitler berkuasa adalah hal biasa di Jerman. Seperti jadi Golkar di zaman orde baru. Tak heran jika putra Hugo, Sigfried Boss, bilang: "tentu saja ayahku termasuk dalam Partai NAZI, tapi siapa yang bukan anggota saat itu? Seluruh industri bekerja untuk tentara Nazi.”

Namun, catatan sejarah menunjukkan Hugo Boss berkontribusi pada NAZI Jerman beberapa tahun lebih dulu daripada anak-anak Dassler. Bukan sejak Hitler berkuasa, melainkan sejak sebelumnya.

infografik sejarah kelam merek jerman

Mobil Rakyat era NAZI

Tak hanya Boss saja yang jadi target tuntutan pengacara keturunan korban Holocaust, tapi juga pabrikan mobil Volkswagen (VW). Perusahaan mobil ini menurut laporan The New York Times juga dituntut oleh keturunan pekerja yang meninggal karena diabaikan. VW adalah mobil rakyat yang lahir di era Hitler.

“Reichsverband der Deutchen Automobiliindustrie (Asosiasi industri mobil Jerman) mempercayakan kepada Ferdinand

Porche untuk mendesain mobil rakyat pada 22 Juni 1934,” tulis Manfred Grieger dkk dalam Volkswagen Chronicle (2008).

Dari proyek ini kemudian perusahaan persiapan untuk mobil rakyat (Volkswagen),yang pada 28 Mei 1937 lahir di Berlin.

VW dikenal dengan mobil kodoknya alias VW Beetle. Untuk perang, VW tipe 82 yang dikenal sebagai VW Safari pun dibuat. Ia sering hadir bersama tentara Jerman di masa PD II.

Kelak, kaum hippies era 1970an pun besar bersama VW Combi yang panjang. VW berkembang dengan anak-anak perusahaannya seperti Audi, Bentley, Bugatti, Lamborghini, SEAT, Škoda Auto, dan Scania.

Tank dari Porsche

Selain urusan mobil, menurut Michael Green Thomas Anderson Frank Schulz dalam German Tanks of World War II (2000), Porsche yang sahabat Hitler itu juga ikut membuat tank Tiger—yang memperkuat Divisi Panzer Jerman sepanjang Perang Dunia II. Tak heran dia dianugerahi War Merit Cross. Bagi NAZI, tentu saja Porsche adalah Insinyur Besar Jerman. Setelah perang, Ferdinand Porsche (1875 –1951) lebih dikenal sebagai pendiri pabrikan mobil sport mewah Porsche.

Gas Pembunuh Bayer

Tak hanya VW dan Boss saja, pabrikan obat nyamuk yang lama sohor di Indonesia, Bayer, juga punya kasus sama. Di masa PD II, orang-orang Yahudi penghuni kamp dipekerjakan di pabrik kimia mereka.

Selain itu, Encyclopedia of Business in Today's World (2009)karya Charles Wankel mencatat, “Selama PD II, IG Farben pada umumnya, dan Bayer pada khususnya, menjadi bagian integral dari mesin perang NAZI. […] memainkan peran aktif dalam kekejaman Nazi. Ia mengembangkan Zyklon B yang digunakan di kamar gas di Auschwitz.”

Baca juga artikel terkait NAZI atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Bisnis
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani