tirto.id - Tujuh puluh tiga tahun silam, seorang bocah keturunan Yahudi bernama Nelly Tol terpaksa melarikan diri dari buruan Nazi. Di tengah perasaan takut yang berkecamuk, ia dan ibunya bersembunyi di sebuah apartemen milik seorang Katolik di Polandia dan memutuskan tak keluar rumah selama 18 bulan.
Dalam masa persembunyian itu, Nelly tak henti-hentinya mendengar kabar buruk tentang perang dan pembantaian. Guna menghilangkan rasa takutnya, Nelly akhirnya menghibur diri dengan membuat lukisan tentang keindahan dan kebahagiaan. Hal itu dilakukan sebagai upaya keluar dari kenyataan pahit yang dialaminya, terutama setelah menyaksikan ayah dan kakak kandungnya dibantai Nazi.
Selama perang berlangsung, Nelly mengaku telah menciptakan enam puluh lukisan. Salah satunya adalah "Girls In The Field" yang menggambarkan dua gadis mengenakan gaun biru dan merah yang berjalan melintasi rumput dan pohon-pohon hijau subur.
"Saya akan melakukan percakapan dengan karakter dalam lukisan saya selama berjam-jam... dan semua dari mereka mengungkapkan kebahagiaan," katanya dikutip dari National Post.
Nelly bukan satu-satunya korban yang merekam peristiwa holocaust melalui lukisan. Seorang dokter bernama Pavel Fantl juga melukis secara diam-diam di ghetto Theresienstadt, dengan bantuan bahan yang dipasok oleh seorang polisi Ceko.
Karyanya yang berjudul “The Song is Over” ini menggambarkan Hitler yang berperan sebagai badut, dengan tangan dan gitar yang bercucuran darah. Meski Fantl tewas terbunuh bersama anak dan istrinya, karyanya berhasil diselamatkan.
Selain Fantl, adapula karya Felix Nussbaum berjudul “The Refugee”. Dalam karya itu ia berusaha menggambarkan keadaan pengungsi Yahudi yang depresi akibat holocaust.
Nussbaum ditangkap bersama istrinya di Belgia pada tahun 1940 setelah melarikan diri dan bersembunyi di Brussels. Mereka akhirnya dibunuh di Auschwitz pada tahun 1944 saat berusia 39 tahun.
Sebelum meninggal, Nussbaum mengirim lukisan itu kepada ayahnya di Amsterdam, dan setelah ayahnya terbunuh di Auschwitz, karya itu dipindahkan ke tangan swasta dan dilelang.
Selain itu, adapula karya Leo Haas yang berjudul “Transport Arrival”. Ia berhasil selamat dari perang karena diminta membuat gambar arsitektur untuk manajemen konstruksi.
Dalam karya itu, Haas menggunakan motif burung pemangsa untuk menunjukkan nuansa kematian. Dia juga melukis huruf "V" di sudut kiri bawah lukisan sebagai simbol perlawanan bawah tanah orang-orang Yahudi.
Hallina Olomucki juga membuat karya yang berjudul “After the Shearing of the Beards,” dengan menggambarkan dua pria ortodoks dengan perban di sekitar kepala mereka setelah janggutnya dibakar oleh Jerman dalam ghetto Warsaw.
Merekam Sejarah Melalui Lukisan
Cerita di atas adalah sejarah singkat dari 100 lukisan dalam pameran bertajuk "Art From the Holocaust" yang diselenggarakan di German Historical Museum, Berlin pada Januari lalu. Dari 50 karya seniman Yahudi, 24 di antaranya meninggal karena pembantaian.
Eliad More-Rosenberg selaku kurator pameran mengatakan karya-karya itu setidaknya dapat menunjukkan bahwa seni dapat berperan dalam merekam sejarah masa lalu.
"Itu harapan mereka, jika mereka tidak bertahan hidup, setidaknya sesuatu dari mereka akan bertahan hidup melalui seni mereka." katanya kepada National Post.
Selain itu, Walter Smerling, co-kurator juga mengatakan bahwa karya-karya itu juga dipilih berdasarkan pertimbangan artistik yang dapat memprovokasi dan membuat seseorang bertanya-tanya mengenai cerita di balik gambar.
Sebagai contoh, dalam karya Fantl yang berjudul “The Song is Over”, sang pencipta seperti ingin menceritakan Hitler sedang memainkan sebuah melodi yang menipu seluruh orang dengan segala propagandanya, yang pada akhirnya kebohongan itu melukai Hitler sendiri.
Sementara dalam karya berjudul “The Refugee”, Felix Nussbaum juga seperti ingin menceritakan tentang seorang pengungsi yang kebingungan mencari jalan keluar atas persoalan yang menimpa dirinya.
Lantas apa yang melatarbelakangi karya-karya itu ditampilkan kembali?
Kanselir Jerman Angela Merkel yang membuka pameran itu mengatakan bahwa karya tersebut masih sangat relevan untuk mendidik pemuda Jerman tentang Holocaust, khususnya mereka yang tergolong anti-semitisme.
"Ini mengingatkan kita bahwa kita memiliki tanggung jawab abadi untuk apa yang telah dilakukan di masa lalu."
Merkel secara khusus mengatakan bahwa jumlah anti-Semitisme terus meningkat menyusul kedatangan 1,1 juta migran tahun lalu.
"Kami harus berurusan dengan itu [anti-semitisme], terutama di kalangan anak muda yang latar belakang keluarga dari negara-negara di mana kebencian Israel dan kebencian orang Yahudi tersebar luas," katanya.
Anti-semitisme adalah sikap permusuhan terhadap kaum Yahudi dalam bentuk-bentuk penganiayaan dan penyiksaan, baik itu terhadap agama, etnik, kelompok ras, mulai dari kebencian individu hingga lembaga. Fenomena anti-semitisme yang paling terkenal adalah ideologi Nazisme dari Adolf Hitler, yang menyebabkan pemusnahan terhadap jutaan kaum Yahudi Eropa.
Pernyataan Merkel memang benar adanya. Dilaporkan oleh The Times of Israel pada Oktober 2016 lalu, anti-semitisme tengah menyebar di seluruh Eropa, baik itu ejekan, ancaman di jalan, serangan kekerasan di sekolah-sekolah dan rumah-rumah ibadat, bahkan pemimpin Hungaria yang memberikan penghargaan bergengsi kepada penulis anti-Semit, Zsolt Bayer.
Menurut laporan Uni Badan Eropa untuk Hak Fundamental, antara tahun 2005 hingga 2014 telah tercatat adanya peningkatan insiden anti-semit, yakni di Perancis dari 508 meningkat hingga 851 kasus, di Jerman 60 meningkat hingga 173 kasus di Belgia 58 meningkat hingga 130 kasus, di Italia dari 49 meningkat hingga 86 kasus dan di Inggris dari 459 meningkat menjadi 1.168 kasus.
Sementara menurut sebuah laporan dari The Anti-Defamation League (ADL) menunjukkan adanya kenaikan anti-semit pada pengguna Twitter terutama pada calon presiden dari Partai Republik, Donald Trump. Dari Agustus 2015 sampai Juli 2016, ADL menemukan sekitar 2,6 juta tweet dengan bahasa-bahasa yang mengandung anti-Semit.
Melihat fakta anti-semitisme yang terus menghantui, karya-karya seperti ini justru sangat penting dihadirkan kembali, seperti kata Nelly Tol: "Saya berharap bahwa generasi yang akan datang akan melihat ini dan tahu kekejaman apa yang membuat saya melakukan [melukis] ini."
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti