tirto.id - Mengenakan setelas jas terbaiknya, Mahmoud Ahmadinejad berdiri di atas panggung yang menghadap ratusan ulama, politikus, dan pejabat tinggi negara pada acara inaugurasi dirinya sebagai Presiden Iran pada 3 Agustus 2005, tepat hari ini 16 tahun lalu. Dalam acara yang digelar di kompleks Masjid Imam Khomeini, Teheran, Ahmadinejad menyampaikan pidato resminya sebagai orang nomor satu Iran sekaligus memaparkan langkahnya dalam memimpin Negeri Para Mullah selama empat tahun ke depan.
Ahmadinejad hendak menciptakan pemerintahan yang anti-korupsi sekaligus membuat kebijakan yang adil bagi seluruh rakyat dan membangkitkan kembali ekonomi negara. Ia juga menyatakan ingin memasifkan pengembangan teknologi nuklir untuk tujuan damai, dan menyerukan agar senjata pemusnah massal yang dimiliki negara adikuasa harus dibongkar.
Pernyataan ini langsung menjadi sorotan. Apalagi Iran tengah menjadi perbincangan ihwal kebijakan nuklirnya. Sejumlah negara, khususnya Amerika Serikat, khawatir pengembangan nuklir Iran tidak untuk tujuan damai tetapi guna kepentingan agresi militer. Ketakutan ini semakin menyeruak saat pemimpin tertinggi Iran, Ayatulloh Khamenei, melontarkan pernyataan sesaat setelah Ahmadinejad berpidato yang secara tidak langsung mendukung langkah mantan Walikota Teheran itu:
“Seluruh kekuatan besar dunia khususnya the great satan United States of America harus mengetahui bahwa rakyat Iran tidak akan pernah menyerah pada kekuatan apapun.”
Meskipun tidak memegang langsung komando dalam menjalankan roda pemerintahan, tetapi Khamenei mempunyai pengaruh besar dalam sistem ketatanegaraan Iran. Sentimen dan amarahnya terhadap dunia Barat turut memengaruhi berbagai kebijakan yang dilakukan beberapa pemimpin Iran. Setetah pernyataan Ahmadinejad dan Khamenei, suhu politik regional dan global memanas.
Sentimen Iran terhadap dunia Barat khususnya Amerika Serikat sudah terbentuk sejak puluhan tahun. Masyarakat Iran berulangkali dikecewakan dengan kehadiran negara-negara asing. Menurut Amir Mohammad, peneliti politik dari Shahid Behesty University dalam “Political Culture and Iran’s Foreign policy” (2018), masyarakat seringkali merasa kehadiran negara-negara asing di Iran hanya untuk mengacak-acak keadaan dalam negeri, bukan untuk menyejahterakan.
Bagi mereka, kehadiran negara lain memang perlu tetapi sebatas untuk kerjasama, tidak sampai bergerak lebih jauh hingga mengurusi dinamika dalam negeri. Hal ini misalnya terjadi ketika Shah Iran, Reza Pahlavi (bertakhta 1941-1979) memiliki kedekatan khusus dengan Amerika Serikat dan Inggris hingga pada akhirnya kedua negara tersebut merecoki urusan internal Iran.
Kekecewaan inilah yang meletupkan Revolusi Islam Iran tahun 1979 yang salah satu dampaknya melahirkan kebijakan politik luar negeri Iran yang garang, khususnya kepada AS dan Israel.
Negara Barat dan Israel Ketar-ketir
Pada tahun pertama kepemimpinannya, salah satu kebijakan Ahmadinejad ialah melanjutkan pengembangan nuklir. Baginya, proyek nuklir Iran tidak akan menimbulkan ancaman karena hanya untuk pengembangan listrik murah, bukan untuk kepentingan militer. Meski demikian, negara-negara Barat khususnya Amerika Serikat yang memasukkan Iran dalam daftar negara pendukung teroris sejak tahun 1980-an, tidak percaya. AS mendesak PBB agar segera membuat kebijakan tegas terhadap Iran karena dapat mengganggu stabilitas global.
Di sisi lain, pernyataan Ahmadinejad memang terkadang tidak mencerminkan semangat perdamaian atas teknologi nuklir yang sering diucapkannya. Misalnya pada sidang tahunan PBB tahun 2005, Ahmadinejad dengan lantang mengatakan, “jika ada yang mencoba memaksakan kehendak mereka terhadap orang Iran yang mengancam keamanan Iran, maka kami tidak akan segan untuk mempertimbangkan kembali penyelesaian masalah dengan pendekatan nuklir.”
Ini menandakan bahwa Iran tidak konsisten dengan pernyataan damainya tentang teknologi nuklir dan semakin menujukkan sikap arogan. Maka itu, negara-negara Barat langsung pasang badan dan hubungan mereka dengan Iran semakin meruncing.
Pada pertengahan 2006, Teheran mengklaim sudah mampu mengembangkan uranium untuk nuklir. Pernyataan ini membuat negara-negara Barat kalang kabut. Amerika Serikat, Prancis, Inggris, dan Jerman langsung merumuskan resolusi atau aturan yang bertujuan untuk membatasi gerak Iran. Lalu lahirlah berbagai macam sanksi ekonomi.
Ahmadinejad tidak tinggal diam, ia mempertanyakan sikap mereka, khususnya AS. Menurut Maaike Warnaar dalam Iran Foreign Policy during Ahmadinejad (2013, hlm. 86), Ahmadinejad mempertanyakan mengapa mereka tidak memperbolehkan Iran mengembangkan nuklir. Padahal mereka memperbolehkan negara-negara lain seperti Israel untuk mengembangkan nuklir.
Ia memandang bahwa negara-negara Barat bersikap arogan dan bermuka dua. Baginya, kebijakan proyek nuklir adalah hak setiap negara, tidak bisa diganggu gugat. Alhasil, Ahmadinejad pun tetap tancap gas meski dibayang-bayangi ancaman isolasi, embargo, dan serangan militer AS.
Di sisi lain, keyakinan Iran menggapai teknologi nuklir membuat Israel waswas. Ketakutan Israel terhadap Ahmadinejad bermula pada akhir 2005 ketika ia mengomentari konflik Israel-Palestina. Ahmadinejad dengan tegas mengatakan bahwa Israel lebih baik dihapus dari peta. Perkataan ini dipandang oleh banyak pihak sebagai keseriusan Teheran untuk menghancurkan kekuatan Tel Aviv. Berawal dari sini Israel turut sentimen terhadap Iran.
Elite politik Tel Aviv memandang pengembangan nuklir Iran sarat dengan tujuan militer dan mengancam keamanan Israel. Atas dasar ini, pada tahun 2008 pemerintah Israel melalui Menteri Shaul Mofas mengancam akan melakukan serangan militer apabila Iran tetap menjalankan proyek nuklirnya. Israel tercatat beberapa kali melakukan latihan rutin dan menambah alutsista sebagai tanda keseriusannya melawan Teheran.
Iran Mencari Dukungan
Pada tahun 2006 ketika menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi D-8 di Bali, perwakilan Iran mengklaim bahwa Ahmadinejad sukses menggaet perhatian Bangladesh, Malaysia, Pakistan, Indonesia, Nigeria, Mesir, dan Turki dengan menghasilkan keputusan mendukung pengembangan energi nuklir untuk tujuan damai.
Sementara dalam kasus Palestina, sejak awal kepemimpinannya Ahmadinejad dan para diplomat Iran beberapa kali melakukan lobi-lobi politik kepada negara-negara Arab agar tidak saling bermusuhan dan menyatukan kekuatan untuk melawan Israel. Meski demikian, tidak semua negara di Timur Tengah mendukung langkah Iran.
Selain itu, Iran juga mendekati negara-negara yang menjadi “musuh” AS, seperti Cina, Rusia, dan Korea Utara. Bagi Iran, kerjasama dengan ketiganya menyenangkan karena mereka tidak merecoki internal Iran. Mereka beberapa kali melakukan pelatihan militer dan mengirimkan bantuan persenjataan yang dapat meningkatkan kemampuan militer Iran.
Langkah-langkah Iran ini terus menjadi kecaman internasional. Kebijakan isolasi dan sanksi ekonomi yang berulang kali dikeluarkan tidak menggetarkan langkah Ahmadinejad. Sikapnya ini justru disukai masyarakat hingga ia terpilih kembali dalam pemilu dan meneruskan kekuasaannya hingga tahun 2013.
Sepanjang dua periode memimpin Iran dan beberapa kali dikecam publik internasional, tak membuat Ahmadinejad menghentikan "perang kata-kata". Pada tahun 2009, ia menyebut Holocaust sebagai kebohongan. Setelah tidak lagi menjadi presiden, Ahmadinejad menjadi mitra kritis pemerintah.
Editor: Irfan Teguh Pribadi