Menuju konten utama

Tantangan Abadi Para Reformis: Menjinakkan Garda Revolusi Iran

Menguasai ekonomi dan mencampuri politik, pasukan elite Garda Revolusi terbukti jadi sandungan reformasi Iran.

Tantangan Abadi Para Reformis: Menjinakkan Garda Revolusi Iran
Angkatan Laut Garda Revolusi Iran. REUTERS/

tirto.id - Aksi demonstrasi besar di Iran dikabarkan sudah mereda. Garda Revolusi Iran (Sepâh-e Pâsdârân-e Enghelâb-e Eslâmi) menyatakan telah memadamkan kobaran massa pemrotes pemerintah di sejumlah tempat sejak akhir Desember 2017.

Pernyataan Garda Revolusi Iran dirilis setelah Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif menyampaikan peringatan kepada negeri-negeri jiran agar tidak memperkeruh kondisi internal Iran. “Beberapa negara mencoba menyalahgunakan insiden [demo] baru-baru ini,” ujarnya.

Garda Revolusi melakukan beberapa langkah untuk meredamkan aksi massa, seperti menangkapi para aktivis dan menghimpun massa pro-pemerintah. Garda Revolusi juga mengirim pasukan ke kota Hamadan, Isfahan, serta Lorestan yang dianggap berpotensi menimbulkan kericuhan baru.

Garda Revolusi Iran: Militer Elite dan Elite Bisnis

Korps Garda Revolusi Iran merupakan pasukan elite yang didirikan setelah Revolusi Islam pada 1979 oleh Pemimpin Agung Ayatollah Ruhollah Khomeini dan berkekuatan sekitar 125 ribu personel. Pasukan ini bertanggung jawab langsung kepada Pemimpin Agung yang sejak 1989 dipegang oleh Ali Khamenei.

Garda Revolusi didirikan untuk mencegah kudeta. Khomeini dikabarkan kurang mempercayai tentara reguler karena pernah terlibat dalam kudeta 1953 yang menggulingkan Perdana Menteri Mosaddegh. Bruce Riedel, mantan analis CIA dan peneliti senior dari Brookings, mengatakan Garda Revolusi didirikan sebagai “penyeimbang tentara reguler (Arteš) dan mencegah kudeta.”

Garda Revolusi dibentuk dengan menghimpun milisi dan kelompok-kelompok bersenjata yang aktif dalam Revolusi. Sebagai catatan, pada awal Revolusi 1979, pelbagai kekuatan dan faksi, kiri dan kanan, bersaing berebut kekuasaan, yang akhirnya dimenangkan oleh Khomeini. Afshon Ostovar, asisten profesor studi keamanan nasional Naval Postgraduate School lewat tulisannya di Foreign Affairs, “Soldiers of the Revolution: A Brief History of Iran's IRGC” (2016), menyatakan bahwa penggunaan kekerasan dan paksaan oleh Garda Revolusi berperan vital dalam “monopoli kekuasaan oleh faksi-faksi pendukung Khomeini.”

Ketika Perang Iran-Irak (1980-1988) meletus, Khomeini memberi wewenang luas kepada Garda Revolusi untuk membentuk angkatan laut dan udara secara terpisah dari matra-matra sejenis yang sudah ada dalam tentara reguler.

Faktor tersebut turut melatarbelakangi pembentukan dua sayap militer andalan Garda Revolusi: unit paramiliter Basij dan pasukan khusus untuk operasi asing bernama Quds. Unit paramiliter Basij, menurut laporan The New York Times, beranggotakan jutaan sukarelawan. Tugasnya: menindak para demonstran dan pembangkang.

Quds, yang dibentuk pada era Khamenei, beranggotakan sekitar 5.000 personel dan dibentuk untuk menerapkan amanat Konstitusi 1979, “[…] Mereka [tentara] tidak hanya bertanggung jawab untuk menjaga wilayah negara, tetapi juga untuk memenuhi misi ideologis jihad di jalan Tuhan, yakni dengan memperluas kedaulatan hukum Allah ke seluruh dunia.”

Atas dasar itulah Quds lebih sering terlibat dalam misi luar negeri, seperti bekerja sama dengan Hizbullah di Lebanon dan Hamas di Palestina. Cakupan bentuk kerjasamanya dari pelatihan pasukan, mengawal pasokan persenjataan, sampai membantu menekan massa anti-pemerintahan Bashar Assad di Suriah.

Aktivitas Quds memantik respons Amerika Serikat yang menuduhnya “sponsor terorisme”. Namun, karena takut pasukannya diserang oleh Quds, Paman Sam segan mencantumkan organisasi ini ke dalam kategori “kelompok teroris”.

Dari militer, kewenangan Garda Revolusi meluber sampai ekonomi. Pemicunya permintaan Presiden Iran Akbar Hashemi Rafsanjani (1989-1997) kepada militer untuk terlibat rekonstruksi negara pasca-perang Iran-Irak.

Di masa rekonstruksi itu, Garda Revolusi semula hanya memaksimalkan serdadunya yang menganggur untuk menggarap proyek infrastruktur pemerintah seusai perang. Namun, seiring kebijakan privatisasi industri negara seperti minyak, tembaga, besi, dan otomotif yang digaungkan Rafsanjani, Garda Revolusi menangkap peluang lain. Mereka lantas mendirikan perusahaan sendiri bernama Khatam al-Anbia.

Seiring waktu Khatam al-Anbia berubah menjadi salah satu perusahaan kontraktor terbesar Iran. Puncak kejayaan mereka ketika Ahmadinejad menjabat: mereka memegang banyak proyek industri dan pengembangan infrastruktur. Kontraknya dengan pemerintah meliputi pembangunan jalur kereta bawah tanah Teheran, bendungan hidroelektrik, pelabuhan, manufaktur, hingga jaringan sistem kereta api.

Mereka bahkan memperoleh kontrak miliaran dolar untuk membuka lapangan gas lepas pantai terbesar di Iran, Pars, yang ditinggalkan Shell, Repsol, dan Total akibat ketegangan Washington-Teheran. Keputusan ini menuai banyak kritik mengingat menyerahkan aset penting negara ke organisasi militer—yang tidak punya kompetensi mengurus energi—merupakan risiko besar. Pada 2009, di bawah kepemimpinan Ahmadinejad, tercatat 750 kontrak sudah diteken mereka dengan pemerintah dan meraup omset tahunan 12 miliar dolar AS.

Besarnya wewenang ini tak diiringi transparansi pengelolaan. Pemerintah Iran minim melakukan pengawasan, dan tak pula mewajibkan Garda Revolusi menyetor pembukuan ke parlemen.

Tak sebatas menjamah ekonomi, Garda Revolusi juga turun ke gelanggang politik. Berdasarkan laporan Brookings Institution, wadah pemikiran berbasis di Washington D.C., Garda Revolusi terjun politik tatkala ulama reformis Mohammad Khatami terpilih untuk kali kedua sebagai presiden pada 2001. Munculnya Garda Revolusi dalam spektrum politik Iran didasari faktor kekhawatiran bangkitnya kubu reformis yang dipandang mengancam kekuatan institusional Garda Revolusi.

Guna mencegah laju kelompok reformis, Garda Revolusi mulai mengambil sejumlah langkah. Salah satunya bekerja sama dengan Dewan Pelindung Konstitusi (Shūra-ye negahbān-e qānūn-e āsāsī) yang konservatif. Pada 2004, Dewan Pelindung untuk kali pertama membolehkan mantan perwira Garda Revolusi mencalonkan diri sebagai anggota parlemen. Dewan Pelindung juga turut mendiskualifikasi calon-calon dari kalangan reformis.

Antara 2005 sampai 2008, dominasi politik Garda Revolusi kian nyata seiring kemenangan Mahmoud Ahmadinejad. Di bawah pemerintahan Ahmadinejad, mereka menjabat di kabinet hingga parlemen. Ditambah lagi Alireza Afshar (mantan komandan Garda Revolusi) ditunjuk jadi pengawas pemilu.

Situasi diperburuk dengan keterlibatan aktif paramiliter Basij dalam mendulang suara untuk Ahmadinejad pada pemilihan 2009. Basij bahkan ikut kampanye di kota-kota besar, memobilisasi massa pro-Ahmadinejad, mengintimidasi para pemilih muda untuk pindah suara, sampai menyebarkan kampanye negatif terhadap Hussain Mousavi.

Segera setelah Ahmadinejad diumumkan sebagai pemenang, massa pro-Mousavi berbondong-bondong turun ke jalan menuntut pemilihan ulang. Untuk meredam aksi massa, Garda Revolusi dan Basij menangkap dan memenjarakan para aktivis.

Dilansir The Guardian, usaha meredam aksi massa yang dilakukan Garda Revolusi sejak 12 Juni 2009 telah mengakibatkan 2.500 orang ditangkap dan ratusan lain diperkirakan merenggang nyawa.

“Jika Mousavi, Mehdi Karroubi (kandidat presiden 2009), dan Khatami merupakan sosok di balik segala aksi revolusi ini, kami akan menuntut mereka diadili, ditangkap, dan dihukum,” ucap komandan senior Revolusi Garda kepada kantor berita resmi Iran, IRNA.

Infografik HL Indepth Iran

Melawan Khatami sampai Rouhani

Garda Revolusi tak ragu melawan para mullah untuk mempertahankan kekuasaan dan pengaruhnya di Iran.

Ramin Ahmadi, dalam tulisan “Tensions in Tehran”, yang dipublikasikan jurnal World Affairs pada 2013, menjelaskan bahwa saat delapan tahun kepemimpinan Khatami (1997-2005), Garda Revolusi berupaya menggembosi kekuasaannya dengan cara—mengutip ahli strategi Garda Revolusi Jenderal Aziz Jafari—"militerisasi politik.”

Militerisasi politik ala Garda Revolusi meliputi langkah-langkah seperti membentuk “pemerintah bayangan” dengan merancang apa yang disebut Ahmadi sebagai “parallel security apparatus” yang bertugas menggerakkan kampanye represi di luar pemerintahan. Mereka juga mengonsolidasikan “ekonomi bayangan” dengan cara memperluas mesin uang ke pelbagai sektor supaya bisnis Garda Revolusi tetap langgeng.

Pada pemilu 2005, Garda Revolusi menyokong Ahmadinejad melawan Rafsanjani—yang dulu turut mendirikan Garda Revolusi. Guna memuluskan langkah Ahmadinejad, Garda Revolusi mengembuskan desas-desus tentang korupsi yang dilakukan Rafsanjani. Strategi ini berhasil memenangkan Ahmadinejad.

Pada 2013, Hassan Rouhani, ulama moderat yang dipandang publik mampu memperbaiki tata kelola pemerintahan dengan langkah-langkah pembaruan, memenangkan pemilu. Ia mewarisi sanksi nuklir, isolasi ekonomi, serta korupsi di lingkaran elite yang berkembang selama pemerintahan Ahmadinejad.

Ramin Ahmadi, masih dalam “Tensions in Tehran”, menyatakan bahwa kemenangan Rouhani merupakan “ancaman” bagi Garda Revolusi. Alasannya: Rouhani menjadi simbol masyarakat yang ingin mengekspresikan perlawanan terhadap kekuasaan militer.

Upaya mengurangi kekuatan Garda Revolusi mulai ditempuh Rouhani sejak 2016, termasuk memangkas anggaran Garda Revolusi dan Khatam al-Anbiya, membuka pintu bagi asing untuk menggarap proyek pemerintah, hingga menangkap petinggi dan ulama Garda Revolusi yang korup.

Sadar kekuatannya terancam, Garda Revolusi memberikan perlawanan. Pada pemilu 2017, mereka mendukung kandidat presiden Ebrahim Raisi. Raisi dikenal ulama garis keras, sosok yang dekat dengan Khamenei, dan salah satu aktor utama eksekusi aktivis maupun politisi yang membangkang pada 1988.

Tak sebatas itu, Garda Revolusi juga menggunakan media untuk mengkritik kinerja pemerintahan Rouhani untuk menggerus citra sang presiden di mata publik.

Manuver politik Garda Revolusi bikin Rouhani melansir peringatan agar pasukan elite itu tak ikut campur dalam pemilu.

“Raisi adalah kandidat Garda Revolusi,” ungkap Mohsen Sazegara, salah seorang pendiri Garda Revolusi yang membangkang dan eksil ke Amerika Serikat kepada Reuters. “Ia bekerja sama dengan Garda Revolusi selama menjadi jaksa.”

Langkah Rouhani menggembosi kekuasaan Garda Revolusi terpaksa berhenti saat gelombang massa turun ke jalan di Iran sejak 28 Desember 2017. Upaya reformasi yang digalakkan Rouhani digantikan yelyel “Matilah Rouhani!”, yang merangkum keputusasaan para pendemo terkait masalah kemiskinan, pengangguran, kebijakan luar negeri, serta tingginya angka korupsi di pemerintahan.

Protes juga menyasar Ali Khamenei, yang dalam sistem politik Iran memiliki kewenangan melebihi presiden. Kubu reformis mengklaim demo itu didalangi loyalis Raisi. Seketika, fokus Rouhani—yang hendak mengurangi kewenangan Garda Revolusi—agak terhambat lantaran aksi massa di sejumlah daerah di Iran.

Pada akhirnya, keberadaan Garda Revolusi bakal sulit dicongkel dari sendi-sendi kehidupan di Iran. Terlebih lagi peran signifikan Garda Revolusi membereskan protes-protes di seluruh Iran tampaknya akan menaikkan daya tawar mereka dalam periode kedua pemerintahan Rouhani yang baru berumur enam bulan.

Melalui surat wasiatnya, Ayatollah Ruhollah Khomeini pernah berpesan agar militer menjauh dari politik. Garda Revolusi bukannya tak menyadari pesan sang Imam; mereka cukup hati-hati untuk tak terlihat secara gamblang mencampuri proses-proses politik. Namun, dengan akumulasi modal ekonomi dan politik selama bertahun-tahun, sangat mungkin wasiat Khomeini telah diabaikan oleh para pengawalnya sendiri.

Baca juga artikel terkait IRAN atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Politik
Reporter: Faisal Irfani
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf