tirto.id - Demonstrasi di sejumlah kota di Iran menjelang tahun baru 2018 adalah aksi protes terbesar setelah demo pasca-pilpres 2009. Didorong oleh kenaikan harga pangan, tingginya angka pengangguran dan pencabutan subsidi, protes tersebut berkembang ke ranah politik dengan tuntutan perubahan sistemik dalam pemerintahan.
Reporter TirtoAhsan Ridhoi mewawancarai guru besar kajian Timur Tengah dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Zulkifli, MA., untuk mengetahui dinamika terkini masyarakat dan politik di Iran.
Kepada Tirto, Zulkifli menjelaskan posisi presiden dan pemimpin agung atau rahbar di Iran. Menurutnya, rahbar yang saat ini dijabat oleh Ayatullah Ali Khamenei bisa dibilang “pemimpin spiritual sekaligus pemimpin tertinggi di Republik Islam Iran. Dia sekaligus menjadi pemimpin Muslim Syiah atau paling tidak mengklaim sebagai pemimpin spiritual orang-orang Syiah.”
Rahbar, menurut Zulkifli, merupakan istilah dalam bahasa Iran untuk menyebut wilayatul faqih, sebuah konsep kepemimpinan yang diturunkan dari konsep imamah dalam Syiah.
“Konsep wilayatul faqih di Iran dikeluarkan oleh Ayatullah Khamenei pasca-Revolusi dan pendirian Republik Islam Iran. Prinsipnya, kekuasaan tertinggi dipegang seorang ulama atau faqih (secara harfiah dapat diartikan pembuat hukum),” kata Zulkifli.
Perkembangan teknologi, ujar Zulkifli, turut memengaruhi perkembangan pemikiran Islam dan gerakan sosial di Iran, tak terkecuali protes belakangan ini.
Berikut petikan wawancaranya.
Protes di Iran belakangan menyasar Pemimpin Agung Iran Ali Khamenei. Bisa Anda jelaskan seperti apa relasi antara pemimpin tertinggi dan presiden di Iran?
Protes yang terjadi baru-baru ini memang pemicunya ekonomi yang terus menurun. Itu menurut informasi yang kita dapatkan.
Di Iran, posisi rahbar dipegang Ayatullah Ali Khamenei saat ini. Dalam Syiah, yang namanya faqih harus melalui seleksi, mulai dari pendidikan di hauzah (sekolah pendidikan calon ulama Syiah di Iran) sampai seseorang itu dianggap sebagai mujtahid (penggali hukum-hukum Islam) atau mampu menulis risalah amaliyah (tuntunan hukum) untuk hal-hal fikih.
Kemampuannya juga diakui oleh mujtahid lain. Itu yang dianggap kredibel.
Lalu, ketika mujtahid diakui dan diikuti oleh masyarakat awam, dia dinamakan marja’taqlid. Jadi di Syiah itu ada muqalid (orang yang secara buta mengikuti suatu ajaran) dan marja’taqlid. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan marja’taqlid itu menjadi bahan rujukan para muqalid.
Ada banyak marja’taqlid di Iran dan wilayah Syiah lain seperti di Irak atau Lebanon.
Kepemimpinan pemimpin tertinggi condong ke arah politik?
Kita bicara soal marja’iyah atau hubungan muqalid dan marja’taqlid. Nah, marja’ itu banyak. Di antara marja’ itu ada yang menjadi wilayatul faqih yang kemudian disebut pemimpin tertinggi. Pertama kali posisi itu dipegang [Ruhollah] Khomeini dan sekarang [sejak 1989] oleh Ali Khamenei.
Jadi hubungan muqallid dan marja’taqlid itu hubungan agama dan politik. Semuanya di situ. Kalau di Syiah itu agama dan politik tidak terpisahkan. Lahirnya Syiah saja karena masalah politik, yakni persoalan siapa yang lebih berhak menjadi pemimpin setelah Nabi Muhammad meninggal. Kelompok Syiah menganggap Ali lebih berhak, sementara kelompok Sunni merasa Abu Bakar lebih berhak.
Di Iran, presiden berada di bawah Pemimpin Agung. Karena rahbar itu mengatur semua. Dia menjadi yang paling tinggi di Iran. Namun, dia tidak memimpin negara sehari-hari. Dia adalah pemimpin dalam pengertian memberi fatwa, jadi hal-hal yang sifatnya tidak formal.
Kalau soal negara, ada undang-undang yang mengatur, misalnya pemilihan umum secara demokratis dan kursi parlemen untuk kelompok minoritas. Itu jelas dalam konstitusi Republik Islam Iran.
Ayatullah Ali Khamenei memandang perjanjian nuklir yang dibuat Presiden Hassan Rouhani membuat ekonomi lesu. Adakah intervensi Khamenei kepada pemerintahan Rouhani?
Bisa saja. Jangankan dia, siapa pun, kan, boleh ngomong begitu. Dalam negara demokrasi, itu boleh saja.
Tapi apa ucapan itu bisa mengubah kebijakan, mengingat dia memegang posisi tertinggi di Iran?
Kan dia tidak mengurus secara administratif sehari-hari. Dalam negara ada presiden, menteri, dan segala macamnya. Struktur negara, kan, seperti itu.
Sedangkan rahbah adalah turunan dari konsep imamah dalam Islam Syiah. Dalam arti secara umum, dia adalah bentuk realisasi pelaksanaan pemerintah Islam.
Bahkan, dalam batas tertentu, dia sebenarnya bisa lintas negara. Dalam hubungan marja’iyah, bisa saja orang di luar Iran patuh kepada dia, kalau orang menganggap dia sebagai marja’-nya.
Artinya pemilihan Ayatullah Khamenei ini berdasarkan konsensus?
Dalam pandangan Syiah, tidak bisa seseorang dipilih jadi pemimpin karena mendapat mendapat suara terbanyak. Ini sama analoginya dengan imam-imam yang tidak dipilih tetapi ditunjuk. Orang awam yang tidak paham secara keilmuan mana mungkin jadi marja’taqlid.
Bagaimana corak politik masyarakat Iran? Apakah ada kelompok di luar konservatif dan reformis?
Sistem politik di Iran melalui partai. Saya tidak begitu paham secara teknis sistem politiknya.
Dan ada lebih banyak golongan-golongan di luar konservatif dan reformis. Ada yang liberal juga. Namun, orang lebih banyak menyebut dua golongan itu. Bahkan, oleh pers dan pengamat Barat, kelompok konservatif dengan Ahmadinejad sebagai salah satu tokohnya, disebut juga ultra-konservatif di Iran.
Ada yang kubu reformis. Kubu itu jangan dibayangkan ingin mengubah seperti demokrasi yang kita bayangkan. Enggak seperti itu juga. Kelompoknya macam-macam. Ada yang memang tidak setuju dengan wilayatul faqih dalam konsep Republik Islam Iran. Kelompok anak muda banyak yang tidak setuju dengan konsep itu. Yang sekuler juga banyak. Mereka menuntut penghapusan sistem Republik Islam dan menuntut demokrasi penuh.
Bisa jadi juga yang bermain sekarang ini adalah kelompok tersebut dengan dukungan dari luar Iran. Sekarang yang paling berperan, kan, media. Melalui media itu mereka menyatukan kekuatan.
Seperti yang dikabarkan media, ada yel-yel “Gantung Rouhani” dan “Turunkan Khamenei”. Yang menarik, anak-anak muda di Iran menuntut “Islam yang lebih luwes”. Bagaimana kondisi kehidupan beragama Islam di Iran?
Memang ada kelompok yang menolak sistem pemerintahan wilayatul faqih di Iran. Rezim yang diisi orang-orang bergelar Ayatullah ini, kan, mengatur dari level atas sampai ke bawah yang levelnya teknis.
Yang berpendidikan murni Barat juga tidak mungkin sepakat. Yang masuk sana biasanya orang-orang yang punya pengalaman pendidikan di hauzah (sekolah pendidikan agama), meskipun ada campuran sedikit pendidikan Barat.
Yang tidak setuju juga banyak, misalnya dari Universitas Teheran. Saya juga punya teman-teman di sana yang mengatakan wilayatul faqih ini seperti virus. Mereka menanti saat-saat untuk mengganti sistem. Saya kira arah protes ini ya ke situ.
Apa mereka berkelompok jadi satu golongan yang terstruktur?
Agak susah. Kalau secara fisik mereka ketahuan, itu pasti dilarang. Namun, media itu yang menyatukan. Pemerintah juga terkejut karena tidak membayangkan bakal terjadi demonstrasi besar setelah Revolusi 1979. Ini baru sekarang.
Apakah protes untuk mengganti sistem ini terdiri dari suara-suara yang sudah lama tidak terdengar?
Iya itu suara yang terpendam, tersimpan. Mereka menanti saat-saat yang tepat.
Ada yang menyebutkan protes ini digerakkan kubu Ebrahim Raisi karena lawannya Rouhani menang dalam pilpres. Apakah ada tokoh lain?
Saya tidak tahu. Saya rasa tidak sesederhana itu. Kalau orang yang masuk dalam lingkaran kekuasaan dan kalah sebenarnya juga masih kelompok itu juga.
Saya tidak melihatnya secara sesederhana itu. Ketika orang masuk dalam kandidat presiden Iran, itu pasti sudah masuk dalam kelompok ini.
Kalau Garda Revolusi Iran, apakah itu bagian dari kelompok tersebut juga?
Saya kira juga iya.
Namun, yang namanya kekuasaan, kan, ada kelompok-kelompok lagi di dalamnya. Jangankan begitu, saudara saja bisa pecah kalau soal kekuasaan. Apalagi kalau mereka kelompok besar, pasti ada kelompok di dalam yang menginginkan kekuasaan juga.
Soal media sosial, baru-baru ini Rouhani melarang Telegram. Seberapa besar pengaruh media sosial dalam pembentukan wacana anti-wilayatul faqih?
Besar sekali. Di situ mereka menyebarkan, berinteraksi, menyatukan keinginan, dan membingkai apa yang mau dilakukan untuk tujuan mengganti sistem. Media sangat mungkin menggerakkan mereka untuk satu tujuan tertentu. Kekuatan media sekarang ini, di belahan mana pun luar biasa. Tanpa media, hal itu sulit dibayangkan.
Jangan lupa, zaman Khomeini itu juga pakai media, tapi masih kaset dan radio-radio. Itu pidato dan ceramahnya disebarkan ke seluruh Iran untuk menggerakkan revolusi lewat media, tetapi pada saat itu menggunakan kaset dan radio.
Sekarang lebih mudah. Maka tidak heran jika kebijakan Rouhani seperti itu. Tujuannya untuk mengontrol saja.
Apa yang membedakan Ayatullah Ali Khamenei dan Ruhollah Khomeini?
Sama. Dia melanjutkan sistem pemerintahan yang sudah dibangun. Dia tidak membuat kebijakan, dia memberikan pandangan-pandangan keagamaan. Dia bukan kepala pemerintah.
Untuk masyarakat, mana yang lebih besar pengaruhnya, Khomeini atau Khamenei?
Jelas Khomeini. Cuma dia tidak bisa dibandingkan karena konteksnya berbeda. Khomeini berhasil menumbangkan rezim Shah dan menggerakkan revolusi. Dia juga hidup 10 tahun setelahnya. Kekaguman terhadap Khomeini itu lintas batas, tidak hanya bagi muslim, yang non-muslim pun mengakui kehebatan dan karisma yang dimiliki Khomeini.
Buya Hamka itu memuji pengaruh besar Khomeini. Shah Reza itu, kan, sekutu Amerika Serikat dan Arab Saudi yang kuat dan berkuasa di wilayah Timur Tengah. Tidak ada yang menduga kalau dia bakal tergusur oleh seorang ulama.
Jadi, sulit untuk membandingkan. Khamenei hanya melanjutkan.
Secara keulamaan, Khomeini jauh lebih tinggi. Saat Khamenei diangkat banyak ulama lain yang masih meragukan. Tetapi dia sudah presiden dua kali di zaman Khomeini. Baru dia menjadi wilayatul faqih.
Apakah kemungkinan jatuhnya Rouhani karena ulama bisa terjadi?
Belum tentu. Apakah Rouhani itu Ayatullah?
Bukan.
Kalau marja’taqlid itu dipanggilnya Ayatullah Usmad atau Ayatullah saja. Presiden sebelum Rouhani, Rafsanjani, bukan Ayatullah tetapi kadang disebut hutajul Islam. Kalau Ahamadinejad tidak ada pendidikan hauzah-nya. Kalau habis presiden jadi Ayatullah saya kira enggak.
Ada anggapan di luar Iran bahwa ulama Iran tidak pro-kelompok Sunni.
Setahu saya itu tidak ada. Biasanya itu framing yang dikeluarkan kelompok-kelompok anti-Syiah yang tidak tahu sama sekali kondisi Iran dan tidak pernah paham Syiah itu sebenarnya seperti apa.
Mungkin mereka tidak pernah bersalaman dengan orang Syiah. Lantas mereka marah, benci, dan tidak suka dengan Syiah dan orang-orangnya.
Di Timur Tengah, isu Syiah dijadikan alat politik untuk menyudutkan Iran?
Iya. Ini, kan, geopolitik Iran dan Arab Saudi merebutkan supremasi siapa yang paling Islami, berkuasa, dan kuat di Timur Tengah. Walaupun negara-negara lain juga ada kerja sama. Karena dulu Khomeini setelah menang revolusi menyatakan bahwa sistem kerajaan harus dihapuskan. Khomeini mementingkan demokrasi. Arab Saudi adalah kerajaan yang paling dekat dengan Iran.
Bagaimana dengan aspirasi politik orang-orang Sunni di Iran?
Saya dikasih tahu orang Iran kalau jumlah mereka sedikit tetapi mereka punya jumlah perwakilan yang besar. Kelompok Zoroaster yang jumlahnya sedikit juga paling tidak mendapatkan 1 kursi di parlemen, melebihi dari proporsi seharusnya.
Ada juga ulama Sunni Iran yang pernah ke Indonesia. Dia juga bagus. Namun, dia dianggap pelat merah oleh kelompok yang anti-Syiah. Itu tidak fair karena sudah terpendam anggapan Syiah itu sesat dan diklaim ingin revolusi mengganti NKRI. Padahal, itu framing yang dibangun dari aktivisme anti-Syiah dengan tujuan Syiah dianggap sesat dan harus dibubarkan di Indonesia.
Terakhir, gejolak di Iran bukan murni dari dari dalam Iran sendiri?
Dari dalam ada. Saya yakin juga ada dari luar Iran yang membantu. Mana ada sih di dunia ini kejadian di mana bebas dan murni tanpa pengaruh luar? Saya yakin, tetapi tidak punya bukti kalau demonstrasi yang sangat luas dan besar dapat pengaruh dari luar negeri. Saya tidak tahu.
Apalagi posisi Iran, kan, hubungannya dengan persoalan Arab Saudi, Suriah, Yaman, dan Lebanon. Semuanya berkaitan dan dihubungkan dengan Iran. Mustahil protes itu tak berkaitan dengan geopolitik Timur Tengah.
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Windu Jusuf