tirto.id - Pada pekan perdana Januari ini, Mohsen, mahasiswa berusia 18 tahun, turun ke jalan di Teheran, ibu kota Iran. Selama empat malam berturut-turut, bersama ribuan demonstran, ia menyerukan agar Presiden Hassan Rouhani dimakzulkan. Kemarahan itu bermula dari kekecewaan Mohsen atas tak ditepatinya janji kampanye sang presiden.
Tahun lalu, saat pemilihan umum presiden Iran, Mohsen memang belum cukup umur untuk sumbang suara. Namun, ia sibuk menyuruh saudara dan kerabat untuk memilih Rouhani karena terpikat janji sang petahana meningkatkan ekonomi dan memperbaiki hubungan dengan Barat. Rouhani menang dan dipilih lagi jadi presiden pada Mei lalu, tapi kondisi ekonomi Iran tak kunjung membaik.
Kesulitan ekonomi itu bukan cuma dirasakan si mahasiswa. Sekitar 10 ribu orang turun ke jalan—setidaknya menurut catatanThe New York Times—di lebih dari 80 kota di Iran. Vox menyebut protes itu disebabkan oleh “kenaikan harga telur” sebagai simbol inflasi yang mencekik rakyat Iran.
Tak hanya itu, angka pengangguran yang tinggi juga diraba sebagai penyebab kekecewaan para demonstran. Pada kelompok pekerja muda, angkanya bahkan mencapai 24,4 persen. Allison Kaplan Sommer dari Hareetzmenyebutkan, ada banyak keluarga kelas menengah Iran yang bahkan harus menjalankan lebih dari satu pekerjaan.
Tradisi Turun ke Jalan di Iran
Dikontak via email oleh Tirto, Hadi Ghaemi, Direktur Eksekutif Center for Human Rights in Iran yang berbasis di New York, menjelaskan perbedaan demo 2009 dan 2018. "Demo 2009 dihadiri kelas menengah dan kelas menegah atas dari segala usia di kota-kota besar, terutama Tehran. Sementara dalam demo 2017/2018, kita menyaksikan peserta aksi yang masih sangat muda, 90% di bawah usia 25--menurut Kementerian Dalam Negeri Iran—dan demo berlangsung di kota-kota kecil dengan beragam slogan, dari yang meneriakkan kesulitan ekonomi hingga perubahan rezim," tulis Ghaemi.
Iran punya sejarah protes berskala raksasa. Yang paling besar adalah Revolusi Iran pada 1979—sebuah gerakan jalanan yang berhasil menggusur Monarki di bawah Shah Mohammad Reza Pahlavi, dan mendirikan Republik Islam.
Rangkaian protes sepanjang 1978-79 jadi yang paling besar dan sukses. Sparsha Saha, pengajar dan peneliti dari University of Southern California, mencatat dalam “Iran’s Situation: Military Violence, Protests, dan Group Dynamics” (2014) bahwa demoralisasi militer Shah dan keputusan sebagian tentara yang ogah melawan para demonstran adalah penyebab paling signifikan keberhasilan gerakan protes 1979. Sementara kekuatan militer yang lebih tegas dan tak segan melakukan kekerasan jadi faktor mengapa demonstran kalah menyuarakan aspirasinya dalam protes "Gerakan Hijau" pada 2009.
Sedangkan protes awal tahun ini lebih susah diprediksi. Meski jumlah demonstrannya lebih sedikit, protes ini dilakukan dengan sebaran geografis yang lebih luas.
Pada 2009, jutaan orang yang turun ke jalan, ribuan ditahan, 150 orang tewas; dan dua orang demonstran dieksekusi mati. Aksi massa ini terkonsentrasi di Teheran, dan digagas oleh para mahasiswa dan warga kelas menengah ke atas yang berpendidikan.
“Anak muda, perempuan, dan para intelektual sangat marah atas pemilihan kembali Presiden Mahmoud Ahmadinejad, yang menurut mereka sebuah kesalahan. Dipimpin oleh dua kandidat presiden yang kalah: Mir Hossein Mousavi dan Mehdi Karroubi, mereka turun ke jalan, menghadapi pasukan keamanan bersenjata berat,” tulis Thomas Erdbrink di New York Times.
Sementara menurut Haaretz, kelompok yang turun ke jalanan justru lebih beragam dari segi etnis dan kelompok pendapatan.
ABC Newsmelaporkan ada 3.700 orang yang ditahan pada protes kali ini. Angka ini mengejutkan karena perbedaan jumlah demonstran sangat besar dengan protes 2009. Namun, selisih mereka yang ditangkap justru tipis: sekitar empat ribu ditahan dari jutaan massa pendemo pada 2009.
Satu hal yang menarik, sejumlah media menyebut protes kali ini lebih serampangan: tanpa pemimpin, tanpa agenda spesifik yang jelas, dan para demonstran menggunakan media sosial sebagai perkakas utama untuk koordinasi.
Selain tiga protes ini, pada 1999, sejumlah mahasiswa di Teheran juga menggalang aksi demo yang cukup signifikan dampaknya. Protes ini adalah reaksi mahasiswa atas pemberedelan koran reformis Salaam dan terkuaknya pembunuhan politik yang dilakukan oleh Kementerian Intelijen antara 1988-1998.
Brookings Institutions, wadah pemikiran berbasis di Washington D.C., mencatat sekitar 1.500 mahasiswa ditahan, ratusan luka-luka, dan beberapa terbunuh. Dalam protes itu, aparat negara—kali ini polisi—dikerahkan ke asrama dan menangkapi mahasiswa sebagai upaya mencegah mereka turun ke jalan.
Seperti protes 2009 dan 1979, demonstrasi 1999 juga bermula di Teheran, yang kemudian sedikit menyebar ke kota sekitarnya.
Peran Internet dan Media Sosial
Pertumbuhan media sosial sejak 2009 hingga sekarang jelas berbeda.
“Saya percaya bahwa internet membuat perbedaan luar biasa antara dulu dan sekarang,” ujar Ghaemi kepada CBC News.
“Satu perbedaan antara sekarang dan 2009 adalah bahwa hampir seluruh warga sekarang terhubung secara online.”
Menurut analisis Ghaemi, protes yang bermula di Masyhad pada 28 Desember malam itu mustahil menyulut protes lain yang berjarak ribuan kilometer dalam waktu kurang dari 24 jam jika bukan karena media sosial dan internet.
Salah satu aplikasi yang populer di Iran adalah Telegram. Penggunanya lebih dari 40 juta—lebih dari separuh populasi Iran yang jumlahnya 80 juta orang.
Penggunaan aplikasi itu terus meroket, ujar Ghaemi, setelah muncul layanan 4G. Mahsa Alimardani, peneliti internet keturunan Iran-Kanada, mengatakan kepada CBC bahwa pemerintah Iran telah menghubungi Telegram untuk membatasi penggunaannya. Tapi ketika pihak perusahaan tak merespons, pemerintah dikabarkan mengambil langkah menutup dan memblokir tak hanya Telegram, tapi juga Instagram.
“Telegram sudah populer sejak 2015, tapi baru beberapa hari belakangan saja mereka menghajar (Telegram) dan jadi sangat sensitif,” kata Alimardani kepada CBC.
Pelbagai laporan menyebutkan, selama satu dekade terakhir, pemerintah Iran memang berupaya mengisolasi jaringan internet untuk warganya. Bukan cuma sensor, pemerintah Ahmadinejad memberlakukan “Jaringan Internet Halal”, yang dalam catatan CHRI menjadi sarana pemerintah Iran untuk melakukan phising dan serangan siber terhadap warganya.
Teheran menuding protes tahun ini "digerakkan oleh Barat." Para pemimpin Iran membingkai protes ini sebagai "konspirasi asing" yang dipimpin oleh AS, Arab Saudi, dan Israel—kendati secara historis dalam konteks geopolitik, upaya pergantian rezim dari pihak eksternal sudah jadi makanan sehari-hari Teheran. Dalam bingkai ini, pesan yang ingin disampaikan pemerintah lewat Komandan garda Revolusi Mohammad Ali Jafari adalah protes tersebut tak berdampak signifikan bagi Teheran.
Hal serupa juga pernah dinyatakan Khamenei dalam protes 1999. Ia menyebut razia oleh polisi pada asrama mahasiswa sebagai “tindakan yang menyakitkan hati (Khamenei)”, tetapi juga menyalahkan CIA sebagai “tangan tersembunyi di balik layar” yang mengarahkan protes tersebut.
Meir Javedanfar, seorang pengajar di University of Haifa, yang memantau media sosial sejak kerusuhan dimulai, menyebutkan bahwa kekecewaan pada pemerintahan Rouhani jadi faktor utama yang tidak bisa dianggap sepele. Meski angka demonstran lebih kecil dari protes 2009, sebaran wilayah demonstran yang lebih luas perlu jadi perhatian pemerintah Iran. "Kalau mereka merasa Rouhani gagal, siapa lagi yang bisa mengubah Iran?”
Hadi Ghaemi menyatakan sulit memprediksi situasi politik Iran pasca protes ini. "Para jebatan negara paham warganya tidak bahagia dengan arah negeri ini. Tapi bagaimana pemerintah merespon kecenderungan ini dalam jangka panjang adalah soal lain," ujar Ghaemi kepada Tirto.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam