tirto.id - "Pada Januari 1979, ketika miniseri buatan Amerika Serikat berjudul 'Holocaust' disiarkan stasiun televisi Jerman Barat ZDF, perasaan malu, sedih, juga marah membuncah dari dalam diri masyarakat Jerman," tulis Timothy W. Ryback dalam "Report From Dachau" (The New Yorker, Edisi 3 Agustus 1992).
Seseorang mengancam akan meledakkan kantor ZDF yang berada di Mainz. Sementara Johann Waltenberger, seorang tokoh masyarakat di Dachau, kota kecil berjarak 30 menit perjalanan dari Munich, memilih berinisiatif mengundang Nikolaus Lehler, penyintas Holocaust yang tinggal di Dachau. Ia meminta Lehler menceritakan kisah kelamnya saat ditindas Nazi Jerman di hadapan siswa-siswi sekolah Josef Effner Gymnasium.
Waltenerger dan Lehler terkejut saat mengetahui bahwa hanya sedikit siswa yang tahu apa itu Holocaust. Seorang siswa bahkan mengatakan bahwa ia tak tahu-menahu soal Holocaust. Ini terjadi karena saat rasa ingin tahu tentang masa lalu Jerman diutarakan kepada orang tuanya, mereka menjawab bahwa sejarah Jerman "hanyalah kisah masa lalu biasa saja, seburuk apapun, dan kamu (anaknya) lebih baik belajar tentang masa depan."
Lehler menyimpulkan bahwa Dachau wajib memiliki institusi atau museum atau lembaga khusus yang memberikan pengajaran/informasi tentang Holocaust. Diamini oleh Waltenerger, ia berinisiatif mendirikan "Haus der Begegnung" atau "Rumah Pertemuan" dan meminta bantuan dana serta izin dari Pemerintah Dachau untuk merealisasikannya.
"Herr (Tuan) Waltenberger dan saya menyadari bahwa kota ini, Dachau, membutuhan tempat untuk menampung informasi tentang periode kelam dari sejarah Jerman," tutur Lehler kepada Ryback, penulis The New Yorker sekaligus Kepala Institute for Historical Justice and Reconciliation, di Den Haag, Belanda.
Namun, setelah mengutarakan niat pembangunan Haus der Begegnung kepada Walikota Dachau melalui surat setebal lima halaman yang dikirim pada Juni 1980, Lorenz Reitmeier, sang Walikota, dan Manfred Probst, anggota Dewan Kota, menolak mentah-mentah ide ini.
"Kami akan memastikan hingga titik darah penghabisan Haus der Begegnung tidak akan berdiri," tegas Probst.
Sementara Reitmeier menolak pendirian Haus der Begegnung dengan bertanya: "Mengapa harus didirikan di Dachau? Mengapa Berlin, pusat Third Reich, kini terlepas dari bayang kelam Hitler; Nurnberg, tempat pertemuan tahunan Nazi dilakukan, pun demikian; juga Munich, lokasi Partai Nazi berdiri, kini telah jauh dari bayang-bayang Nazi. Ada apa dengan Dachau?"
Kamp Konsentrasi Pertama
Sore tanggal 30 Januari 1937, saat berpidato di hadapan rakyatnya dalam perayaan empat tahun sebagai Kanselir, Adolf Hitler menyebut bahwa dirinya dan Partai Nazi telah berhasil menyelamatkan Jerman dari malapetaka politik dan kehancuran ekonomi. Ia juga mengklaim telah mengembalikan muruah Jerman setelah kalah dalam Perang Dunia I melalui Perjanjian Versailles.
Menurutnya, keberhasilan itu diperoleh dengan cara damai. Hitler membandingkan dengan Revolusi Bolshevik yang terjadi dua dekade sebelumnya di Rusia. Ia yakin revolusi yang diinisiasinya untuk mengembalikan kejayaan Jerman dilakukan "tanpa ada satupun jendela rumah yang pecah."
"Ini adalah revolusi pertama di dunia yang berhasil dilakukan tanpa kekerasan," ujarnya.
Setelah dilantik menjadi Kanselir Jerman sejak 30 Januari 1933, Hitler langsung bergerak cepat mencari kambing hitam kehancuran Republik Weimar (Republik Jerman) dengan kekerasan. Ia percaya bahwa biang keladi rubuhnya Republik Weimar ialah "defeatism" atau "stab in the back" alias "ditusuk dari belakang", sebagaimana dituturkan Timothy W. Ryback dalam Hitler's Private Library: The Books That Shaped His Life (2008).
Menurut Hitler solusi mengembalikan kejayaan Jerman dari keterpurukan adalah dengan "represi radikal pada masyarakat Jerman sendiri, pada masyarakat yang dianggap tak setia." Dan masyarakat yang dianggap tak setia itu--meskipun terdapat kata "sosialis" pada Nazi (National Socialist atau Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei)-- adalah kaum sosialis, kaum komunis-marxis.
"Tak ada ampun bagi kalian pendukung komunis, dan siapapun yang melindungi mereka, kami tumpas juga," ujar Hitler dalam The Spectre of War (2021) karya Jonathan Haslam.
Pada 27 Februari 1933, Reichstag atau Parlemen Jerman terbakar. Meskipun tahu bahwa Reichstag dibakar oleh seorang warga Belanda, namun polisi dan militer bergerak menangkapi pengikut sosialis, komunisme, dan marxisme di seantero Jerman. Dalam tiga hari lebih dari lima ribu orang ditangkap.
Dalam proses penangkapan, Hitler memanfaatkan simpatisan Partai Nazi yang gagah-gagahan berbaju militer (SA atau Sturmabteilung dan SS atau Schutzstaffel) sehingga terjadi kekerasan dan pembunuhan.
"Tidak, saya tidak peduli dengan aturan hukum. Membunuh dan membinasakan komunis adalah tugas saya," tegas Herman Goring, tangan kanan Hitler. Tindakan sembrono ini akhirnya dilegalkan Hitler melalui penerbitan dekrit tentang penangguhan hak-hak dasar masyarakat sipil pada 1933.
Sepanjang tahun 1933, sebanyak 200 ribu warga Jerman yang merupakan simpatisan atau dituduh sebagai simpatisan sosialis ditangkap. Mereka ditahan dalam sejumlah penjara tanpa proses hukum apapun.
Dalam KL: A History of the Nazi Concentration Camps (2015), Nikolaus Wachsmann menyebut bahwa penahanan ribuan simpatisan sosialis itu menimbulkan masalah tersendiri, terutama karena ruang-ruang tahanan penjara di kota-kota utama Jerman telah penuh diisi penjahat sungguhan.
Untuk mengatasi hal ini, maka didirikanlah kamp konsentrasi atau Konzentrationslager (KL) di banyak tempat di Jerman melalui tangan kanan Hitler, Heinrich Himmler. Sebuah tempat khusus "untuk mengisolasi warga sipil--dengan atau tanpa tuduhan legal--yang dianggap negara berbahaya atau musuh," tulis Dan Stone dalam Concentration Camps: A Very Short Introduction (2016).
Di Dachau, di bekas pabrik senjata, didirikanlah kamp konsentrasi pertama pada 21 Maret 1933, tepat hari ini 89 tahun lalu. Ini sebagai pembuka dari 34 kamp konsentrasi lainnya yang dibuat di seantero Jerman. Dalam dua bulan setelah peristiwa Reichstag terjadi, mengutip arsip The New York Times tanggal 5 April 1933, 5.000 warga Jerman beraliran ditahan di Dachau. Mereka akan dibebaskan atau hanya dicabut hak dasar sebagai masyarakat sementara waktu hingga "para tahanan sadar dan berkelakuan baik."
Hampir semua warga negara Jerman yang ditangkap dan ditahan di penjara maupun kamp konsentrasi gegara dituduh komunis memang akhirnya dibebaskan. Bahkan, meskipun kesewenangan-wenangan terjadi, mayoritas tahanan diperlakukan baik, khususnya mereka yang mendekam di penjara (bukan kamp konsentrasi). Ini terjadi karena penjara dijalankan oleh sipir-sipir sungguhan yang tahu tata cara dan etika dalam memperlakukan tahanan.
Sejak Republik Weimar berdiri, sipir dilarang memukul atau menggunakan cara-cara fisik ketika berhadapan dengan tahanan. Namun, karena profesionalisme sipir dalam menangani tahanan dianggap salah karena tak akan membuat tahanan jera, maka Himmler bereksperimen dalam kamp konsentrasi dengan melakukan serangkaian uji coba teknik-teknik keji, termasuk kekerasan seksual dan pembunuhan. Eksperimen ini dimulai di Dachau dengan bantuan pasukan SA dan SS.
Di Dachau, 31.951 dari 206.206 tahanan Yahudi meninggal, sehingga kota ini dicap sebagai "kota busuk", kota yang menjadi titik mula Hitler bertransformasi dari manusia menjadi setan. Dachau tak bisa lepas dari beban masa lalu Nazi, tak seperti Munich, Dresden, ataupun Berlin. Padahal, dalam pemilu tahun 1932, Partai Nazi kalah telak di kota ini--hanya mampu mendulang kurang dari 13 persen suara.
"Jika seluruh penduduk Jerman memilih sesuai apa yang terjadi di Dachau, maka Third Reich (Nazi Jerman atau Kekaisaran Ketiga, setelah Kekaisaran Romawi Suci dan Kekaisaran Jerman) tak akan pernah ada di dunia," sebut Hans-Guter Richardia, jurnalis Jerman yang melakukan penelitian mendalam tentang sejarah Dachau kepada Timothy W. Ryback untuk The New Yorker.
Editor: Irfan Teguh Pribadi