tirto.id - Pada 24 Februari 1920, tepat hari ini 100 tahun lalu, sekitar dua ribu orang memenuhi lantai satu kedai bir Hofbräuhaus am Platzl, Munchen, Jerman. Teriakan menggema di seluruh ruangan, dan di beberapa sudut orang-orang berkelahi.
Ini terjadi setelah Johannes Dingfelder, seorang dokter yang terkenal di lingkaran kelompok beraliran politik populis bernama Völkisch, berpidato tentang asal-usul kesengsaraan masyarakat. Dokter yang aktif menulis di surat kabar dengan nama samaran Germanus Agricola ini mengatakan bahwa kesengsaraan timbul karena kesalahan masyarakat. Penyebabnya antara lain menurunnya moralitas dan tingkat kesalehan, sampai bangkitnya nilai-nilai materialistik dan egois.
Pada masa itu, kedai bir memang biasa jadi tempat pertemuan-pertemuan politik.
Setelah Dingfelder, pembicara kedua memulai pidato dengan tema yang kurang lebih sama. Pidatonya jauh dari nuansa akademik seperti Dingfelder, namun dengan nada suara lebih keras, agresif, dan mimik muka yang ekspresif. Ia juga lebih suka menggunakan kalimat-kalimat pendek dan membumi. Dalam pidato itu, ia juga berkali-kali menghina para politikus, pejabat pemerintah, dan orang-orang Yahudi.
Pembicara kedua ini dapat lekas mengubah atmosfer ruang pertemuan dan mendapat tepuk tangan meriah, selain juga berkali-kali diinterupsi kelompok Kiri. Orang itu bernama Adolf Hitler yang kelak dikenal sebagai diktator bengis haus darah yang membawa Perang Dunia II.
Pertemuan tersebut adalah rapat akbar The German Workers' Party atau Deutsche Arbeiterpartei atau DAP, di mana Hiter bertanggung jawab mengelola propaganda partai.
“Setelah hampir empat jam ruang pertemuan mulai kosong,” kata Hitler sebagaimana dicatat William L. Shirer dalam The Rise and Fall of the Third Reich (hlm 37), “saya tahu bahwa sekarang prinsip-prinsip gerakan yang tidak akan dilupakan telah bergerak keluar di antara rakyat Jerman.”
Prinsip gerakan yang ia maksud lantas ditetapkan sebagai program utama partai yang diberi nama 25 poin program, yang dibuat oleh Hitler bersama Anton Drexler, pendiri DAP, selama berminggu-minggu sebelum dibacakan di hadapan massa. Isinya adalah program-program anti-demokrasi dan rasis, seperti kebijakan diskriminatif terhadap orang Yahudi dan imigran, juga regulasi yang ketat untuk media massa.
Pada hari yang sama dengan pidato Hitler, tepat hari ini satu abad yang lalu, DAP resmi berganti nama menjadi Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei alias Partai Pekerja Jerman Nasional-Sosialis atau Partai Nazi.
Partai ini tidak berideologi Kiri, meski terdapat kata “sosialis” dalam namanya. Mereka bahkan anti-sosialis termasuk variannya seperti Marxisme. Tiga butir program dalam 25 poin program yang punya ‘napas sosialis’ juga sesungguhnya tidak sosialis sama sekali--yang gagasan utamanya, di bidang ekonomi, adalah redistribusi sumber daya.
Dalam butir ke-13 program, disebutkan bahwa “kami menuntut nasionalisasi seluruh industri.” Sementara butir 17 menyatakan “kami menuntut reforma agraria.” Poin ‘sosialis’ terakhir ada di butir 21, yaitu “negara akan berusaha meningkatkan kesehatan nasional dengan melindungi ibu dan anak, dengan melarang pekerja anak.”
Franz Neuman dalam Behemoth: The Structure and Practice of National Socialism 1933-1944 mencatat program nasionalisasi Nazi tak lebih sebagai pemindahtanganan perusahaan dari kapitalis non-Arya, yang Hitler anggap sebagai ras paling unggul, ke segelintir pengusaha pendukung Nazi. Begitu pula dengan reforma agraria yang justru hanya mengkonsentrasikan lahan ke segelintir tuan tanah yang dekat dengan partai dan memperpanjang barisan buruh tani.
Sementara tentang pekerja anak, yang terjadi justru sebaliknya: lewat operasi Heuaktion Nazi menculik anak-anak dari berbagai negara yang mereka kuasai untuk dijadikan pekerja paksa.
Thomas Weber dalam Becoming Hitler mencatat nama partai diganti agar mendapat simpati publik yang lebih luas, dan terbukti berhasil. Ditambah faktor Hitler yang segera “tidak dapat dipisahkan dari gerakan”--tulis sejarawan Ian Kershaw dalam Hitler--keanggotaan partai meningkat tajam dari 190 pada Januari 1920 menjadi 2.000 pada akhir 1920. Sejak pidato tersebut, rapat-rapat umum rutin didatangi setidaknya oleh dua ribu orang.
"Sekte" DAP dan Popularitas Hitler
Kelahiran DAP sebagai cikal bakal Partai Nazi, juga keberhasilan Hitler menghipnotis rakyat, tidak bisa dilepaskan dari situasi Jerman setelah Perang Dunia I.
Jerman tidak hanya harus menanggung kerusakan akibat perang di dalam negeri. Lebih dari itu, lewat Perjanjian Versailles, Jerman juga diwajibkan menyerahkan 10 persen wilayah dan aset mereka di luar negeri kepada Sekutu/negara pemenang perang--Inggris, Perancis, dan Rusia. Mereka juga diharuskan membayar uang setara 32 miliar dolar AS sebagai ganti rugi kepada negara-negara terdampak perang.
Sementara lewat Paris Peace Conference, sebagaimana dicatat oleh Deutsche Welle, Jerman diwajibkan membayar biaya reparasi perang sebesar 20 miliar goldmark (setara harga 7.000 ton emas).
Negara itu mengalami krisis ekonomi. Orang-orang menganggur. Kemiskinan, juga kriminalitas, terjadi di mana-mana.
Rakyat Jerman merespons situasi melarat ini dengan banyak cara. Anton Drexler, seorang tukang mesin yang juga terdampak oleh situasi tersebut, pada 5 Januari 1919 memilih mendirikan partai bernama German Workers' Party atau Deutsche Arbeiterpartei (DAP).
Menurutnya, Jerman bisa maju dan keluar dari krisis berkepanjangan jika dikelola oleh partai yang diisi para politikus yang patriotik dan nasionalis, bukan kelas proletar sebagaimana yang diimani kaum Marxis. Sedari awal, Drexler yang tidak ikut serta jadi tentara saat Perang Dunia I, memang sudah cenderung ultranasionalis.
DAP berkumpul setiap pekan di rumah bir. Mereka kerap bicara soal culasnya pemerintahan Republik Weimar--republik di Jerman yang menggantikan bentuk pemerintahan kekaisaran--dan apa yang seharusnya dilakukan, termasuk mengangkangi Perjanjian Versailles yang mereka anggap sumber segala bencana.
DAP sesungguhnya mirip sekte atau grup diskusi, alih-alih partai, karena jumlah anggota mereka yang kecil. Meski demikian, pemerintah tidak memandang remeh kelompok ini. Dari sinilah Hitler pertama kali berinteraksi dengan DAP. Hitler, seorang veteran Perang Dunia I yang diangkat menjadi Verbindungsmann (agen intelijen) dari Aufklärungskommando (unit pengintaian) pada Juli 1919, diperintahkan mendatangi rapat rutin DAP pada 12 September 1919.
Dikisahkan Joachim C Fest dalam The Face of the Third Reich, dalam pertemuan itu Hitler beradu debat dengan salah seorang anggota partai soal ‘bagaimana kapitalisme dieliminasi?’ Drexler terpesona dengan kemampuan bicara Hitler. “Kita bisa menggunakannya!” kata Drexler bungah kepada orang di sampingnya.
Setelah rapat, Drexler mengejar Hitler, yang saat itu sesungguhnya berstatus ‘mata-mata pemerintah’, dan memintanya kembali pada pertemuan selanjutnya. Drexler juga memberikan Hitler sebuah pamflet yang ditulis sendiri olehnya, Mein Politisches Erwachen. Ia juga mengajak Hitler mendaftar jadi kader partai.
Atas persetujuan atasannya, Hitler akhirnya menerima ajakan tersebut dan resmi jadi kader partai ke-555. Angka itu hanya akal-akalan DAP. Hitler sebenarnya anggota ke-55, DAP sengaja memulai registrasi anggota dari angka 500 untuk mengesankan kalau mereka punya banyak anggota.
Saat kali pertama berpolemik, Hitler mengaku belum sadar kalau kemampuannya dalam berbicara bisa memengaruhi orang-orang. Ia baru sadar “bisa membikin pidato yang baik” setelah berbicara 30 menit dalam pertemuan partai pada 16 Oktober 1919. Setahun kemudian ia dipercaya menjadi pembicara dan agitator utama DAP.
Dengan bergabungnya Hitler, satu kelemahan yang membuat DAP tak signifikan kini sudah terisi: agitator massa. Karier Hitler setelah itu bak roket, bersamaan dengan meningkatnya popularitas DAP.
Ia menjadi pembicara utama sebanyak 31 kali pada tahun pertama keanggotaannya. Dan sepanjang itu, catat Joachim C Fest, “dia selalu berbicara tentang hal yang sama: 22 kali judul ceramahnya mengacu ke Perjanjian Versailles dan masalah Yahudi.” Ideologi fasisme-nya mulai tampak nyata lewat pidato-pidato ini.
Sentimen anti-Yahudi/Semit ini memainkan peran penting dalam popularitas Hitler dan Nazi, mulai dari kedai-kedai bir kecil hingga rapat akbar di tempat terbuka.
Marcel Bois, sejarawan Jerman, mengatakan beberapa sejarawan menjelaskan keberhasilan Nazi adalah karena antisemitisme pada dasarnya sudah mengakar dalam budaya Jerman. Mereka hanya menunggu orang seperti Hitler muncul untuk memanifestasikan kebenciannya itu. Sejarawan lain berpendapat bahwa terdapat faktor lain yang tak kalah penting: bagi sebagian orang Jerman, kebijakan Nazi memang memberi mereka “insentif material.”
Bois sendiri berpendapat, naiknya Hitler ke kekuasaan tertinggi di Jerman adalah “hasil dari kondisi historis yang spesifik serta tindakan (dan tidak bertindak) dari berbagai kekuatan sosial,” termasuk Partai Sosial Demokrat Jerman (SPD) yang “gagal melakukan perlawanan yang diperlukan.” Saat itu, SPD memilih strategi “lesser evil” dengan mendukung lawan politik Hitler yang level jahatnya dianggap masih lebih rendah.
Nazi dan Kematian
Hitler ternyata tak puas hanya jadi agitator partai. Ia mulai menyoroti kepemimpinan Anton Drexler. Dalam Mein Kampf, buku yang ia tulis ketika berada di penjara tahun 1925, Hitler menyebut Drexler hanya seorang pekerja sederhana, bukan pembicara yang baik, bukan tentara, dan tidak cukup fanatik untuk mendorong partai menjadi lebih besar.
"Tugas-tugas seperti itu [hanya bisa dilakukan oleh mereka yang] sudah terlatih tubuh dan jiwanya dalam militer,” imbuhnya. Dan itu tidak lain adalah dirinya.
Drexler benar-benar tersingkir dari partai pada 29 Juli 1921. Dikutip dari The Coming of the Third Reich oleh Richard J Evans, lewat pertemuan umum luar biasa, para anggota Nazi bersepakat mengangkat Hitler menjadi ketua partai. Hari itu, Hitler resmi menjabat Führer Partai Nazi.
Karier Hitler juga terus menanjak di panggung politik nasional meski sempat ditahan karena kudeta yang gagal pada 1923, yang juga dimulai di sebuah kedai bir bernama Burgerbraukeller. Untuk mengembalikan namanya ke panggung politik Jerman, ia memanfaatkan sentimen kemelaratan rakyat, terutama setelah badai Great Depression pada 1930.
Pada 30 Januari 1933, Hitler menjadi Kanselir Jerman. Republik Weimar diubah menjadi Reich Jerman dengan ideologi resmi Naziisme. Kekuasaannya semakin absolut setelah Presiden Jerman Paul von Hindenburg meninggal pada 2 Agustus 1934. Jabatan presiden lekas dihapus, dan Hitler menjadi satu-satunya yang berkuasa di Jerman.
Gara-gara ambisi Hitler, Perang Dunia II pecah dengan skala yang tak pernah terbayang sebelumnya.
Ribuan lawan politik, termasuk aktivis-aktivis Kiri, homoseks, dan orang-orang cacat disiksa dan dibunuh. Kamp konsentrasi didirikan di mana-mana. Yad Vashem, sebuah pusat peringatan, pendidikan, dan dokumentasi holocaust, menyebut 6 juta orang Yahudi mati. Ini belum termasuk kematian 5 juta etnis non-Arya lainnya, serta 50 juta korban jiwa selama Perang Dunia II berlangsung.
Jerman akhirnya kalah perang. Hitler memilih bunuh diri pada 30 April 1945 di bungkernya di Berlin. Sementara petinggi Nazi lain yang dikenal sangat kejam seperti Hermann Göring, Rudolf Hess, Alfred Rosenberg, dan Albert Speer, diseret ke meja hijau Pengadilan Nuremberg sejak 20 November 1945. Dakwaan atas mereka adalah penjahat perang. Mereka kemudian dijatuhi hukuman mati atau penjara dengan durasi panjang.
Sebagai pengingat segala kekejaman Nazi di masa lalu, di depan bangunan tempat Hitler lahir pada 1889 di Salzburger Vorstadt 15, Braunau am Inn, Austria, didirikan batu peringatan dengan tulisan berbahasa Jerman, yang artinya:
“UNTUK PERDAMAIAN, KEBEBASAN
DAN DEMOKRASI
JANGAN ADA LAGI FASISME
JUTAAN ORANG YANG MATI MENGINGATKAN [KITA]”.
Editor: Irfan Teguh Pribadi