tirto.id - Bagi orang-orang Yahudi, hidup adalah tentang menolak lupa.
Pada November 1938, Nazi meluncurkan pogrom—serangan penuh kekerasan berskala masif atas kelompok etnis dan keagamaan tertentu yang dibarengi penghancuran terhadap lingkungannya--anti-Yahudi yang bernama Kristallnacht (“Night of Broken Glass”).
Kebijakan ini diterapkan di seluruh wilayah Jerman Reich yang kala itu meliputi Austria hingga wilayah Sudetenland (istilah untuk menyebut daerah selatan, utara, dan barat Cekoslowakia). Nazi mengerahkan pasukan Sturmabteilung, ormas paramiliter bentukan langsung Adolf Hitler, untuk melakukan pogrom ini.
Selain karena didorong kebencian terhadap Yahudi, serangan Kristallnacht dimaknai pula sebagai misi balas dendam atas pembunuhan diplomat Nazi, Ernst vom Rath, yang dilakukan oleh Herschel Grynszpan, seorang Yahudi-Polandia kelahiran Jerman berusia 17 tahun dan tinggal di Paris, dua hari sebelumnya.
Teror dimulai dengan merusak seluruh properti yang (diduga) merupakan milik atau bersangkutan dengan kaum Yahudi. Toko, rumah, sekolah, rumah sakit, hingga sinagoga dirusak.
Dampaknya tidak main-main. Laporan awal menyebut 267 sinagoga hancur, lebih dari 7.000 toko dirusak, dan 91 orang tewas dalam penyeranganitu. Lalu, sekitar 30.000 kaum Yahudi kemudian dibawa ke kamp konsentrasi Dachau, Buchenwald, dan Sachsenhausen usai terjadinya Kristallnacht.
Namun, serangan tak berhenti sampai situ. Kristallnacht hanyalah permulaan. Yang muncul setelahnya lebih mengerikan lagi: enam juta kaum Yahudi dibantai habis oleh Nazi.
Menghancurkan Makam, Menghancurkan Ingatan Kolektif
Strasse Grosse Hamburger merupakan salah satu pemakaman Yahudi tertua di Berlin, Jerman. Pemakaman ini didirikan oleh 50 keluarga Yahudi yang datang dari Wina pada 1671. Mereka berstatus “Schutzjuden”—Yahudi di bawah perlindungan khusus kepala negara—serta diizinkan menetap di wilayah Spandauer Tor yang berlokasi tidak jauh dari pemakaman.
Terdapat sekitar 2.767 nisan di Strasse Hamburger hingga masa penutupannya pada 1827. Beberapa tokoh Yahudi ternama, seperti filsuf Moses Mendelssohn (1729-1786), Veitel Heine Ephraim (1703-1775), Marcus Herz (1747-1803), Jacob Herz Beer (1769-1825), dan ayah dari komposer operet Giacomo Meyerbeer dimakamkan di sini.
Akan tetapi, ketenangan orang-orang Yahudi di sana sirna usai Nazi berkuasa. Pada 1943, Gestapo memerintahkan anggotanya untuk menghancurkan makam Strasse Hamburger. Keberadaan makam lantas diubah menjadi markas militer yang berfungsi melindungi wilayah tersebut dari serangan udara.
Penghancuran makam Strasse Hamburger diikuti dengan penghancuran bangunan milik Yahudi lainnya. Sekolah dan tempat penampungan lansia di sana, misalnya, ditutup serta diubah oleh Nazi jadi penjara untuk orang-orang Yahudi sebelum dideportasi dari Jerman.
Makam kembali beralih fungsi tak lama selepas Nazi kolaps pada 1945. Oleh pemerintah, Strasse Hamburger dipakai sebagai kuburan massal bagi tentara dan warga sipil yang tewas akibat serangan udara pasukan Sekutu.
Menghancurkan makam merupakan salah satu bagian dari pogrom Kristallnacht. Dengan strategi ini, Nazi berharap dapat menghilangkan jejak-jejak kelompok Yahudi. Sentimen kebencian menjadi bahan bakar Nazi dalam mewujudkan aksinya. Tak sekadar di Jerman, Nazi menempuh tindakan serupa di beberapa negara Eropa lainnya.
Di Yunani, komunitas Yahudi terbesar terdapat di wilayah Thessaloniki. Di sana, berdiri pemakaman yang dibangun pada akhir abad 15 oleh orang-orang Yahudi yang diusir dari Spanyol dan Portugal. Orang-orang tersebut kemudian tiba di Yunani dan membangun fasilitas bersama seperti sinagoga hingga makam.
Namun, lagi-lagi, Nazi merusak ketenangan hidup komunitas Yahudi. Tiga tahun setelah Kristallnacht diluncurkan, Nazi datang ke Yunani dan dengan serta merta menghancurkan pemakaman orang-orang Yahudi di Thessaloniki. Pengelolaan makam lantas diberikan kepada pemerintah kota setempat. Makam pun berubah fungsi jadi gereja, ruas jalan kota, hingga barak tentara.
Sebetulnya upaya menguasai lahan makam Yahudi tak cuma dilakukan Nazi. Beberapa tahun sebelum Nazi tiba, pemerintah kota berencana mengambil alih makam Yahudi dan menyerahkannya kepada Universitas Aristoteles. Tapi, rencana pemerintah tak pernah terwujud.
Hancurnya makam, di saat bersamaan, menggambarkan nasib buruk yang menimpa komunitas Yahudi di Thessaloniki manakala sekitar 50 ribu orang—atau 96 persen dari total populasi—tewas dalam Holocaust.
Nazi memang sudah hancur, namun perusakan terhadap makam orang-orang Yahudi tetap berlanjut.
Di New York, misalnya, coretan bertuliskan “SS”—polisi militer era Nazi—dan “Heil Hitler” menutupi pintu gerbang pemakaman Beth Shalom yang terletak di Warwick, 55 mil barat laut dari New York. Coretan ini ditemukan aparat beberapa hari sebelum perayaan Yom Kippur.
Pemandangan serupa juga ditemui di Philadelphia. Sekitar 75 sampai 100 nisan yang terletak di pemakaman Mount Carmel rusak. Aksi perusakan ini, sebagaimana diwartakan CNN, terjadi kurang dari seminggu usai insiden yang sama di makam Yahudi di St. Louis.
Data dari FBI, dilansir The New York Times, menyebut bahwa kelompok Yahudi di AS kerap menjadi target kekerasan. Pada 2015, sebagai contoh, ada sekitar 644 insiden kekerasan bermotif anti-Semit yang muncul di seluruh penjuru negeri. Angka itu masih jauh dibanding catatan 2010 tatkala 887 aksi anti-Semit terjadi di lapangan.
Tak cuma terjadi di AS, aksi perusakan makam Yahudi nyatanya juga muncul di Eropa. Di Manchester, Inggris, mengutip BBC, sekitar 30 nisan di makam Urmston ditemukan hancur. pihak kepolisian belum melakukan penangkapan usai insiden. Kuat dugaan, aksi perusakan tersebut didorong oleh paham anti-Semit.
Sementara di Strasbourg, Perancis, sebanyak 37 batu nisan para korban Holocaust dirusak dengan coretan lambang Swastika dan anti-Semit lainnya. Menteri Dalam Negeri Perancis, Christophe Castaner, menyebut aksi tersebut “menodai perasaan seluruh warga Perancis.”
Perdana Menteri Édouard Philippe mengatakan bahwa serangan anti-Semit di Perancis pada 2018 melonjak sekitar 69 persen dibanding 2017.
Aksi-aksi perusakan makam Yahudi yang muncul dalam beberapa tahun terakhir tak bisa dilepaskan dari bangkitnya populisme sayap kanan di berbagai negara. Fenomena itu dianggap sebagai lampu hijau oleh kelompok-kelompok kekerasan untuk mengganyang siapapun yang dianggap tidak mewakili dan mengancam dominasi kelompok mereka. Tak terkecuali Yahudi.
Dalam peristiwa-peristiwa lainnya seperti penyerangan terhadap rumah ibadah, sentra-sentra minoritas, atau serangan acak yang menimpa perorangan, pelakunya diidentifikasi berafiliasi dengan individu atau kelompok sayap kanan yang mengusung ideologi supremasi kulit putih atau Kristen fundamentalis.
Upaya Untuk Bangkit
Bagaimana komunitas Yahudi merespons perusakan-perusakan makam yang terjadi di era Nazi dan sekarang?
Di Prostejov, Ceko, sekelompok peneliti berusaha untuk memperbaiki kembali pemakaman Yahudi yang dihancurkan selama pendudukan Nazi. Marie Dokoupilova, sejarawan lokal, mengatakan kepada CBS bahwa terdapat sekitar 1.924 batu nisan milik Yahudi di Prostejov yang dirusak Nazi pada 1943.
Selama berabad-abad, Prostejov merupakan salah satu titik penting bagi komunitas Yahudi di Eropa. Daerah ini menjadi tempat lahir Edmund Husserl, filsuf yang kemudian dikenal sebagai bapak fenomenologi.
Pemakaman Yahudi di Prostejov sendiri sudah ada sejak awal abad 18. Sebelum Nazi mengambil alih, upaya untuk menguasai makam lebih dulu ditawarkan pemerintah kota setempat dan ditolak. Situasi berubah ketika Nazi datang. Selain membuang 1.442 orang Yahudi ke kamp konsentrasi di Terezin, mereka juga menghancurkan makam di Prostejov.
Usaha memperbaiki makam Yahudi di Prostejov awalnya seperti misi yang mustahil, demikian kata Tomas Jelinek, kepala proyek restorasi. Tapi, kemudahan datang usai tim memasang iklan di koran City Hall. Masyarakat berbondong-bondong memberikan informasi yang ada kaitannya dengan keberadaan makam.
Perlahan, hasilnya mulai terlihat. Sejak proyek dimulai pada Juli, Jelinek dan rekan-rekannya telah melacak sekitar 150 batu nisan.
Kondisi lebih pelik terjadi di Polandia. Di negara tersebut, terdapat sekitar 1.200 hingga 1.500 makam Yahudi. Yayasan Pelestarian Warisan Yahudi Polandia (FODZ) mengatakan bahwa sebagian makam berada dalam keadaan tak terawat, tanpa perlindungan, dan tidak dapat diakses oleh pengunjung.
Menurut FODZ, tidak mudah untuk mencari tahu siapa yang bertanggung jawab atas keadaan tersebut. Perusakan makam Yahudi di Polandia terjadi atas andil Nazi dan Soviet. Makam yang dirusak lantas diubah jadi bangunan pribadi, publik, hingga kuburan Kristen. Tak hanya merusak, Nazi pun juga melenyapkan arsip yang berisikan daftar warga Yahudi yang dimakamkan.
Faktor ini membikin FODZ kelimpungan. Seperti dilaporkan Haaretz, dari 200 makam yang masuk rencana untuk diperbaiki, mereka, dalam dua tahun terakhir, baru bisa memperbaiki 10 di antaranya.
Demi melancarkan misinya, FODZ kemudian berjejaring hingga luar Polandia. Menggandeng pemerintah pusat maupun keturunan Yahudi Polandia yang tinggal di Jerman sampai Israel. Hasilnya pun signifikan: aliran dana mulai mengalir deras. Pemerintah, misalnya, mengalokasikan 100 juta zloty Polandia untuk memulihkan Pemakaman Yahudi Warsawa yang menampung kurang lebih 250 ribu orang Yahudi—sebagian besar sudah tidak dikenali lagi.
Sumbangan dana, terang FODZ, telah memungkin adanya perubahan nyata dalam proyek restorasi makam Yahudi di Polandia: tak ada lagi pohon-pohon yang tumbang di area makam, batu nisan yang rusak, maupun yang tidak dapat dibaca.
Sementara di AS, yang terjadi lebih meneduhkan. Usai perusakan sekitar 100 nisan di makam St. Louis, Missouri, pada Februari 2017, masyarakat Muslim dan Yahudi di sana berkolaborasi untuk memperbaiki makam. Mereka berhasil mengumpulkan lebih dari 130 ribu dolar lewat kampanye penggalangan dana.
Tarek El-Messidi, perwakilan dari Celebrate Mercy, organisasi nirlaba yang menginisiasi penggalangan dana, mengatakan alasan mengapa masyarakat Muslim ingin turun tangan membantu perbaikan makam ialah karena mereka terinspirasi kisah Nabi Muhammad yang menghadiri prosesi pemakaman seorang Yahudi sebagai wujud penghormatan.
“Komunitas Yahudi dan Muslim di Amerika belum pernah bekerja sama erat sebelumnya,” El-Messidi bilang. “Masalah seperti Israel-Palestina saya akui sering memecah belah dua komunitas. Tapi, ketika makam orang dirusak, kami harus memperbaikinya. Tak peduli soal politik.”
Editor: Nuran Wibisono