tirto.id - Pemilu Jerman yang diselenggarakan pada Minggu (24/9/2017) waktu setempat melahirkan kemenangan yang ke sekian kalinya untuk Angela Merkel. Ia mewakili CDU/CSU, koalisi dua partai yakni Uni Demokratik Kristen Jerman & Persatuan Sosial Kristen di Bavaria yang memperoleh suara tertinggi, 32,9 persen, dan dikalkulasikan oleh Guardian akan mendapat porsi 34,7 persen di total perolehan kursi di parlemen.
Tidak ada batasan berapa jumlah periode jabatan untuk Kanselir Jerman. Maka, saat Angela Merkel menjawab pertanyaan “mengapa Anda berencana maju di pemilu 2017?” dengan “karena boleh” atau “karena saya bisa”, tidak akan ada yang bisa protes—setidak-tidaknya dengan alasan legal-formal.
"Saya sudah banyak berpikir mengenai itu, dan keputusan mengenai pencalonan keempat tidak sepele setelah 11 tahun, bagi negara ini, bagi partai, maupun bagi saya," kata perempuan yang memimpin CDU sejak April 2000 serta berstatus sebagai Kanselir Jerman sejak November 2005 itu dalam sebuah konferensi pers di Berlin pada Minggu (20/11/2016) waktu setempat.
Kabar pencalonan diri Merkel untuk kembali maju sebagai calon kanselir Jerman pada pemilu 2017 didukung oleh mayoritas masyarakat Jerman. Berbagai survei sebelum digelarnya pesta demokrasi kemarin menunjukkan bahwa Merkel masih memiliki citra positif.
Baca juga: Wahai Kaum Liberal, Jangan Terlalu Mengkhawatirkan Jerman
Hasil survei Zweites Deutsches Fernsehen (ZDF), televisi publik Jerman, yang dirilis pada akhir November tahun lalu, menunjukkan bahwa 64 persen masyarakat Jerman mendukung Merkel. Sementara itu survei versi Emnid yang disiarkan koran Jerman Bild am Sonntag pada waktu yang bersamaan menunjukkan bahwa 55 persen warga Jerman menginginkan pemberian mandat lebih lanjut kepadanya.
Media lain, ARD, mengumumkan survei dukungan untuk Merkel pada Desember 2016 meningkat menjadi 59 persen. Pada bulan September atau sebelum Merkel mengumumkan keputusannya, masih menurut survei ARD, dukungan untuk Merkel hanya 46 persen. Angka-angka ini cukup untuk memenangkan pertarungan pada sembilan bulan berikutnya. CDU/CSU masih solid untuk berada di belakang sang pemimpin Uni Eropa.
Di balik nuansa kegembiraan, rasa khawatir juga melanda melanda Merkel sebab pemilu lalu menjadi pentas turunnya dukungan kepada CDU/CSU sebesar 8.6 persen dibandingkan besaran dukungan pada pemilu tahun 2013. Perolehan suara CDU/CSU di pemilu ini adalah yang terburuk sejak tahun 1949 atau ketika Jerman menyelenggarakan pemilihan umum pertama sejak berakhirnya Perang Dunia II.
Baca juga: Industri yang Menghamba pada NAZI dan Hitler
Kekhawatiran kedua, Partai Demokrat Sosial Jerman (SPD) yang mengamankan posisi kedua dengan perolehan suara 20,5 persen, menyatakan akan mengakhiri koalisi besarnya dengan CDU/CSU. Sebagai sayap tengah-kiri Jerman, SPD pun sedang mengalami krisis dukungan sebab mengalami penurunan suara sebesar 5,2 persen dibanding Pemilu 2013. Pemimpin SPD, Martin Schulzt, mengatakan keputusannya didasari setidaknya dua hal: agar SPD bisa membangun lagi kekuatannya secara mandiri, dan mencegah Alternatif untuk Jerman atau AfD jadi oposisi utama untuk CDU/CSU.
Merkel, Schultz, dan pihak-pihak berideologi tengah, tengah-kiri, hingga kiri jauh sedang merasa khawatir dengan kebangkitan populis sayap kanan yang diwakilkan oleh Partai AfD. AfD sukses memperoleh 12,6 persen suara di pemilu tahun ini atau melonjak 7,9 persen dibanding pemilu empat tahun lalu. AfD kini menjadi partai ketiga terbesar di Jerman, berjarak delapan persen saja dari SPD.
AfD didirikan pada April 2013 dan memenangkan 4,7 persen dalam pemilu tahun 2013 sehingga belum bisa masuk Bundestag (Parlemen Federal Jerman) sebab minimal suara mesti 5 persen atau lebih. Pada 2014 AfD meraup 7,1 persen suara dan 7 dari total 96 kursi Jerman di pemilihan Parlemen Eropa.
Partai yang dipimpin oleh Frauke Petry dan Jorg Meuthen itu adalah anggota dari Konservatif dan Reformis Eropa (ECR) sebelum akhirnya dikeluarkan pada April 2016 karena beraliansi dengan Partai Kebebasan Austria dan menyerukan agar pemerintah kedua negara mempersenjatai pasukan penjaga perbatasan.
Pada acara konvensi partai di akhir April 2016, salah satu anggota Parlemen Eropa dari AfD, Marcus Pretzell, mengumumkan akan mendaftar menjadi bagian dari kelompok Europe of Nations and Freedom (ENL). Kelompok kecil di Parlemen Eropa itu diluncurkan pada tanggal 15 Juni 2015 dan jumlah anggotanya kini sekitar 40-an politisi sayap kanan dari berbagai negara.
Baca juga: Cara Orang Jerman Mengajarkan Toleransi
ENL adalah wajah kebangkitan populisme sayap kanan di Eropa yang meraih lonjakan dukungan sejak gelombang imigran datang dari Timur-Tengah dan Afrika ke Eropa pada beberapa tahun lalu. Sosok penggerak utamanya adalah Marine Le Pen dari partai populis sayap kanan Perancis, Front Nasional (FN). Kini ENL juga berisi perwakilan partai-partai populis sayap kanan dari Austria, Belgia, Italia, Belanda, Polandia, Rumania, dan Inggris. Mereka gemar mempromosikan ide-ide nasionalistik, skeptis dengan Uni Eropa, dan tentu saja anti-imigran di negaranya masing-masing.
Merkel otomatis punya sikap yang berseberangan dengan AfD. Merkel dinilai banyak pihak sebagai benteng terakhir nilai-nilai liberal di Eropa—meski partainya sesungguhnya konservatif. El Mundo, surat kabar konservatif Spanyol, memandang Merkel sebagai opsi terbaik untuk meredam gerakan kanan ekstrem di Jerman. Sedangkan surat kabar liberal Swedia Sydsvenskan menyebut Merkel sebagai daya pemersatu di Eropa dan Uni Eropa—dan dunia—yang sangat dibutuhkan saat ini.
Menurunnya dukungan terhadap Merkel dan CDU/CSU pada pemilu tahun ini dinilai bahaya bagi masa depan kemanusiaan karena Jerman adalah salah satu negara paling terdepan dalam menanggulangi krisis pengungsi. Menurut catatan Kantor Statistik Federal Jerman yang dikutip CNN, sejak 2013 imigran di Jerman telah mencapai lebih dari 1 juta orang. Pada 2015, ketika eskalasi konflik makin panas di Timur Tengah, sikap terbuka Merkel menghasilkan total 2 juta imigran, dan terus bertambah hingga kini.
Baca juga: Setelah Keok PD II, Kini Militer Jepang & Jerman Mulai Panas
AfD terang-terangan menolak imigrasi sejak pembentukan partainya. Bahkan ada analis yang mengatakan bahwa pembentukan AfD disebabkan oleh banjir imigran di Jerman itu sendiri. Terlepas dari rumor tersebut, AfD jelas-jelas memakai isu imigrasi untuk meraih dukungan sejak dua tahun lalu, dan makin berkobar hebat pada kampanye pemilu 2017. Salah satu pemimpin inti AfD, Alexander Gauland, telah bersumpah untuk membendung “invasi dari pendatang” ke Jerman.
AfD memanfaatkan ketakutan dan kemarahan sebagian masyarakat Jerman yang menilai kebijakan Merkel berlebihan. Jerman terlalu ramah, kata mereka. Apesnya, dukungan untuk AfD selain datang dari para pendukungnya, juga datang dari orang-orang yang tidak mendukung mereka sebelumnya dan—ini yang lebih mengejutkan—dari para pendukung CDU, partai Merkel sendiri. Bahkan sebagian anggota partai CSU juga berseberangan dengan Merkel. Namun Markel tetap bersikeras untuk membuka pintu bagi para pengungsi.
Selain anti-imigran, AfD juga anti-Islam. AfD mengadopsi sebuah kebijakan anti-Islam secara eksplisit pada bulan Mei 2016 dan dalam manifesto pemilihannya ada sebuah bagian yang menyatakan (dalam bahasa Jerman) tentang mengapa “Islam tidak cocok di Jerman”. Dalam bagian lain salah satu poster yang disebarkan AfD di berbagai penjuru kota-kota kantong pendukungnya, ada juga yang berbunyi “Burka? Kami suka bikini.”
Baca juga: Masjid Liberal Pertama dan Imam Wanita di Jerman
Sikap AfD kemudian selaras dengan idealisme organisasi PEGIDA atau Patriotische Europäer gegen die Islamisierung des Abendlandes, yang kira-kira diterjemahkan sebagai “Orang Eropa Patriotik Melawan Islamisasi (di) Barat”. Sejak Oktober 2014 anggota-anggota PEGIDA telah mengadakan demonstrasi melawan proses Islamisasi di Eropa yang menurut mereka sedang masif-masifnya dan perlu dicegah sebelum Eropa dikuasai golongan pecinta hukum Syariah.
AfD sebenarnya tak mau berhubungan dengan PEGIDA. Ideologi PEGIDA yang sering digolongkan sebagai Nazi gaya baru membuat citra siapapun yang terasosiasikan dengannya jadi buruk. Meski demikian, pada kenyataannya anggota-anggota PEGIDA banyak yang menjadi pendongkrak suara AfD di berbagai pemilihan. AfD sendiri, ironisnya, juga kerap dinilai sebagai partai neo-Nazi sebab memiliki kebijakan nasionalistik yang serupa, termasuk menentang gagasan multikulturalisme. Kebangkitan mereka sebagai partai terbesar ketiga di Jerman menjadi perhatian banyak pihak yang alergi dengan kebangkitan fasisme.
Barangkali jalan keluar bagi problema masa depan politik Merkel ada di pertumbuhan ekonomi yang Jerman raih secara stabil sejak ia menduduki kursi kanselir sejak 2005. Produk Domestik Bruto Jerman di tahun 2005 sebesar 32.632 dolar AS per kapita, merangkak naik menjadi 40.377 dolar AS per kapita, dan sudah di angka 47.218 dolar AS per kapita pada tahun 2015. Kini angkanya sudah bertambah menjadi 48.989 dolar AS per kapita. Angka pengangguran juga turun setengahnya, dari angka 11,2 persen (tertinggi sejak 2000), turun menjadi 4,6 persen di tahun 2015.
Pertumbuhan ekonomi dinilai sebagai salah satu faktor utama mengapa Merkel masih menang di pemilu tahun ini. Namun pengurangan jumlah suara juga membuktikan bahwa Jerman makin terpolarisasi akibat populisme sayap kanan juga kian mendapat tempat di hati rakyat Jerman. Empat tahun berikutnya Merkel masih harus bergulat dengan isu politik identitas yang akan sering digaungkan oleh fraksi AfD di Bundestag sembari tetap fokus mempertahankan kekuatan ekonomi negara.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf