Menuju konten utama

Wahai Kaum Liberal, Jangan Terlalu Mengkhawatirkan Jerman

Setelah Obama tak lagi berkantor di Gedung Putih, Angela Merkel dianggap sebagai pemimpin liberal yang tersisa. Namun sebetulnya, keadaan Jerman tak buruk-buruk amat.

Wahai Kaum Liberal, Jangan Terlalu Mengkhawatirkan Jerman
Kanselir Jerman, Angela Merkel dan Presiden Parlemen Eropa Martin Schulz. AFP PHOTO / FREDERICK FLORIN

tirto.id - Ketika Angela Merkel mengumumkan keputusannya untuk kembali maju sebagai calon kanselir Jerman pada pemilu 2017, masyarakat Jerman menanggapinya dengan positif. Hasil survei Zweites Deutsches Fernsehen (ZDF), televisi publik Jerman, menunjukkan bahwa 64 persen masyarakat Jerman mendukung Merkel. Itu angka pada akhir November 2016.

Media lain, ARD, mengumumkan survei dukungan untuk Merkel pada Desember menjadi 59 persen. Pada bulan September, sebelum Merkel mengumumkan keputusannya, hasil survei ARD menunjukkan dukungan terhadap pemimpin Uni Eropa ini hanya 46 persen.

Hingga saat ini, Merkel masih dianggap layak dan kompeten untuk kembali menjadi kanselir Jerman. Hanya saja, ada kebijakannya, terutama yang menyangkut pengungsi, yang membuat jalan Merkel untuk menjalani periode keempatnya sebagai kanselir Jerman tidak akan mulus. Merkel didukung, tetapi kebijakannya dianggap tidak populer.

Dengan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat dan menguatnya pengaruh populisme di Belanda dan Perancis, Merkel dianggap sebagai benteng terakhir nilai-nilai liberal. Menurunnya dukungan terhadap Merkel dipersepsikan sebagai bahaya bagi kemanusiaan karena Jerman adalah negara yang berpengaruh dan cukup kaya untuk mengatasi krisis pengungsi.

Alternative für Deutschland (AfD), partai yang terang-terangan menolak imigrasi dan multikulturalisme, meraih dukungan dari kekecewaan masyarakat terhadap kebijakan Merkel. Yang terjadi di Amerika Serikat pada pemilu 2016 tidak akan terjadi di Jerman, tapi AfD yang saat ini tidak memiliki kursi di parlemen bisa memiliki pengaruh dalam pemerintahan setelah pemilu 2017, jika mereka mendapat cukup dukungan.

Hal ini mungkin terjadi karena bahkan orang-orang yang sepakat bahwa pengungsi harus dibantu pun menilai bahwa jumlah pengungsi yang Jerman terima—sudah lebih dari satu juta—terlalu banyak. Termasuk sukarelawan-sukarelawan di kamp-kamp pengungsian di Jerman dan anggota CSU dan SPD, dua partai yang bersama dengan CDU (partai Merkel) tergabung dalam koalisi besar yang memiliki 503 dari 630 kursi di parlemen.

Yang terbaru, Thomas Oppermann, pemimpin SPD di parlemen Jerman, berpendapat bahwa pengungsi yang masuk ke Eropa dengan perahu sebaiknya dikirim ke Libya. Menurut Oppermann, ini perlu dilakukan untuk memerangi perdagangan manusia. Bahkan di tingkat orang berpengaruh, alasan yang digunakan untuk menentang kebijakan Merkel sudah tidak masuk akal.

Mengenai pendapat Oppermann, Martin Kobler yang pernah menjadi duta besar Jerman untuk Mesir dan Irak mengatakan kepada Deutsche Welle, "Ada standar internasional yang berlaku, dan Konvensi Jenewa harus dihormati. Dan karena itulah para pengungsi tidak bisa dipulangkan untuk menghadapi situasi yang buruk sekali, seperti yang terjadi di kamp pengungsi Libya.”

Infografik Liberalisasi Jerman

Tenang, ada Martin Schulz

Kabar baiknya, opini Opperman bukanlah opini SPD. Sigmar Gabriel, Menteri Luar Negeri sekaligus Wakil Kanselir Jerman dan Ketua SPD, tahu bahwa Libya bukan tempat yang stabil untuk pengungsi. Pendapat Oppermann juga sudah ditolak oleh Martin Schulz, kandidat SPD untuk calon kanselir pada pemilu 2017. Schulz sendiri dianggap sebagai kabar baik untuk kemanusiaan.

Schulz mungkin tak akan menerima pengungsi sebanyak Merkel, tapi mereka setidaknya tak akan terlantar di bawah kepemimpinan Schulz. Para pengungsi, menurut Schulz, berhak mendapat perlindungan. Retorika yang digunakan Schulz terkait krisis pengungsi Eropa adalah "menyelesaikan masalah dari sumbernya." Schulz seharusnya juga bisa menyelesaikan krisis pengungsi dengan menyelesaikan permasalahan lain yang dialami Jerman dan Eropa: sikap skeptis terhadap Uni Eropa dan populisme.

Sebagai presiden Parlemen Eropa (2012-2017), Schulz punya pengalaman, kemampuan, dan kenalan yang ia butuhkan untuk menyelesaikan masalah ini.

“Uni Eropa berada dalam situasi yang sangat menyedihkan,” ujar Schulz seperti dikutip Süddeutsche Zeitung. “Kekuatan ekstrem dan sentrifugal di dalamnya memenangi pemilihan dan referendum. Jika kita mempertanyakan inti proyek Eropa sekarang, kita bermain-main dengan masa depan generasi selanjutnya.”

Schulz juga memiliki kemauan untuk “berkontribusi dalam menghapus jarak antar negara.” Artinya, ia punya komitmen kuat terhadap Uni Eropa.

Tentang populisme yang semakin kencang, Schulz berkomentar: “Rasa putus asa mengancam demokrasi. Ketika orang-orang merasa mereka melakukan sesuatu untuk masyarakat namun masyarakat tidak melakukan sesuatu untuk mereka, tidak menghargai mereka, mereka menjadi radikal. Ketika orang-orang tidak dilindungi demokrasi, mereka mencari alternatif. Kita tidak akan menyelesaikan apa pun dengan ekstremis sayap kanan jika hanya mengandalkan argumen yang disusun dengan sangat baik. Kadang sikap tegas dibutuhkan.”

Sebelum Schulz muncul sebagai kandidat SPD, Merkel praktis tidak memiliki pesaing berarti dalam pemilu 2017. Dengan Schulz dan Merkel sebagai calon terkuat, setidaknya yang akan menang adalah apa yang dianggap sebagai nilai-nilai Jerman.

Baca juga artikel terkait JERMAN atau tulisan lainnya dari Taufiq Nur Shiddiq

tirto.id - Politik
Reporter: Taufiq Nur Shiddiq
Penulis: Taufiq Nur Shiddiq
Editor: Maulida Sri Handayani